اِصبِر عَلى مُرِّ الجَفا مِن مُعَلِّمٍ فَإِنَّ رُسوبَ العِلمِ في نَفَراتِهِ
وَمَن لَم يَذُق مُرَّ التَعَلُّمِ ساعَةً تَذَرَّعَ ذُلَّ الجَهلِ طولَ حَياتِهِ
Telanlah pahitnya didikan keras gurumu dengan penuh kesabaran… karena endapan ilmu adalah buah dari berbagai didikan keras beliau. Orang yang tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu… bersiaplah menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
– Imam asy-Syafi’i-
Pemidanaan dan penganiayaan terhadap guru oleh wali murid, bahkan oleh muridnya sendiri, adalah tragedi paling tragis dalam sejarah pendidikan kita selama ini. Meskipun hanya beberapa kasus, namun hal itu tak ubahnya puncak gunung es yang meskipun tampak kecil di bagian atas, tapi bagian yang tak terlihat di bawahnya jauh lebih besar. Semakin ke bawah, semakin besar.
Meskipun hanya beberapa oknum, namun sangat mungkin hal itu bakal menjadi preseden buruk di kemudian hari. Buktinya, semakin hari, semakin sering kita mendengar guru yang dipidanakan atau dianiaya karena menghukum muridnya, berita yang nyaris tidak pernah terdengar pada era kita di tahun 90-an dulu.
Bangsa kita rupanya sedang berancang-ancang untuk melupakan kalimat “pahlawan tanpa tanda jasa” sebagai slogan yang terus menerus dihembuskan di telinga anak-anak bangsa. Kita harus menangisi hal itu, melebihi tangis kita terhadap krisis kepercayaan berkepanjangan terhadap pemerintahan. Kebijakan dan undang-undang terkait pendidikan selama ini telah gagal melestarikan nilai-nilai budaya ketimuran yang sangat menghormati guru.
Tentu, murid ataupun wali murid, bukan satu-satunya pihak yang mesti disalahkan dalam hal ini. Seluruh pihak yang terkait dengan pendidikan, wa bil khusus pemerintah dan segala kebijakan pendidikan nasionalnya, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dengan muncul tragedi-tragedi mengerikan ini. Termasuk dalam pihak ini adalah para guru itu sendiri, karena merekalah sebenarnya ujung tombak dari berhasil atau gagalnya pendidikan bangsa.
Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan non formal keagamaan yang dilaksanakan oleh swadaya masyarakat di luar sistem pendidikan nasional, ternyata lebih kental dengan budaya ketimuran daripada pendidikan yang dilaksanakan secara resmi oleh pemerintah. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan nasional memiliki kesalahan substansial sehingga gagal mempertahankan nilai-nilai luhur pendidikan yang sebelumnya telah terbentuk secara mandiri di masyarakat kita.
Oleh karena itu, barangkali ada baiknya, jika kebijakan-kebijakan pendidikan nasional melirik pendidikan non formal keagamaan seperti pesantren, ngaji langgaran, juga madrasah diniyah sebagai salah satu referensi kebijakan. Tentu bukan dalam hal kurikulum dan teknisteknis pendidikan, namun dalam hal pembentukan karakteristik dan nilainilai etika hubungan guru dan murid.
Perlu diketahui, rata-rata pesantren di Indonesia menjadikan kitab Ta’lîmulMuta’allim sebagai rujukan utama dalam hal pemahaman etika dan nilai-nilai dalam pendidikan. Selama berabadabad, pendidikan ala Ta’lîmul-Muta’allim yang diperagakan oleh pesantren telah terbukti melahirkan para ulama yang menjadi guru panutan bagi bangsa kita ini. Tidak hanya di Jawa dan Madura, tapi juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan lain sebagainya.
Jika diukur dengan nalar pendidikan yang umum saat ini, sangat mungkin beberapa bagian detail dari ‘ajaran’ Ta’lîm al-Muta’allim akan menjadi bahan tertawaan orang. Hal itu, karena basis nalar pendidikan umum adalah skill dan kompetensi, sedangkan basis nilai pendidikan Ta’lîm adalah spiritualitas dan keyakinan hati.
Oleh karena itu, pesantren selalu membangun keyakinan santri terhadap tiga unsur penting dalam pendidikan. Yang pertama, keyakinan dan kemantapan hati terhadap materi dan kitab yang dipelajari; yang kedua, keyakinan dan kemantapan hati terhadap pengarang kitab yang dipelajari; yang ketiga, keyakinan dan kemantapan hati terhadap guru yang mengajarkan kitabkitab tersebut. Selain menumbuhkan benih-benih spiritualitas dalam diri peserta didik, keyakinan itu juga melahirkan semangat kepatuhan dan rasa takzim terhadap guru dan ilmu yang mereka pelajari.
Orang-orang pesantren diajari untuk memuliakan kitab-kitab yang dipelajari, menciumnya setelah mengaji, membawanya di dada, berwudu saat akan mempelajari, meletakkannya di tempat yang terhormat, dan semacamnya. Bagi mereka, penghormatan terhadap fisik kitab merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap isinya, yaitu ajaran agama yang terkandung di dalamnya.
Hal yang sama juga dilakukan kepada guru yang mengajarkan, juga para ulama yang telah menulis kitabkitab tersebut (mushannif). Tidak hanya memuliakan, tapi juga membangun ikatan batin dengan mereka, misalnya dengan membacakan Fatihah untuk para guru dan mushannif sebelum dan sesudah belajar. Kaum santri terbiasa mencatat secara lengkap asahan makna yang didiktekan oleh guru saat ngaji kitab, meskipun si santri sudah alim dan sangat paham terhadap teks yang dibaca oleh gurunya.
Sakralitas seperti inilah yang nyaris tidak ada dalam pendidikan di luar pesantren. Alih-alih hendak ditradisikan, terbersit dalam pikiran pun sepertinya tidak pernah. Padahal tanpa hal itu, citacita pendidikan karakter dan tumbuhnya spiritualitas melalui kebijakan pendidikan nasional boleh jadi hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Alih-alih melahirkan spiritualitas dan ketakziman, pengarang materi pelajaran agama sekalipun masih diposisikan (bahkan berposisi) sebagai para penulis yang sedang memburu royalti. Para guru agama sekalipun masih diposisikan (bahkan berposisi) seperti karyawan atau pegawai. Materi pelajaran agama sekalipun hanyalah dianggap sebagai seonggok kertas yang berisi informasi-informasi, tidak ada bedanya dengan koran atau kertas-kertas yang lain. Kalau sudah tidak terpakai, mungkin kertas-kertas itu akan dibuang ke tempat sampah, atau dijadikan bungkus barang-barang, atau dijual kiloan pengepul kertas bekas, lalu ke pedagang toko kelontong. Sehingga, tidak jarag kita menemukan kertas bertuliskan al-Quran dan Hadis yang akhirnya menjadi bungkus kacang, bawang hingga petis. Padahal fenomena ini tidak kalah tragis dari kasus penganiyaan dan kriminalisasi terhadap guru. Tahukah kita bahwa dalam tradisi pesantren, menjadikan kertas bertuliskan alQuran, Hadis, atau ilmu syariat, sebagai bungkus kacang merupakan perbuatan yang ‘minimal’ berhukum haram, atau bahkan dalam kondisi tertentu bisa menyebabkan kemurtadan!?. Naûdzu billâh min dzâlik.
Baca juga: Lilin Kecil Untuk Anak-Anak Kita
Jadi, ada beberapa akar dari kebijakan pendidikan nasional kita yang sangat mendesak untuk diperbaiki, atau bahkan direvolusi. Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka jangan pernah bermimpi anak-anak bangsa ini di kemudian hari akan menghormati guruguru mereka sebagai para pahlawan tanpa tanda jasa.
Boleh jadi, bangsa kita mulai latah dengan filosofi pendidikan Barat, sehingga terobsesi oleh untuk melaksanakan pendidikan yang menyenangkan dan sesuai selera. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Imam asy-Syafi’i, pendidikan kadangkala harus mengajari anak menelan halhal yang pahit agar mereka tumbuh Wsebagai generasi yang tangguh.