كَانَ اللهُ وَلَا شَيْئَ مَعَهُ وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah ada tanpa apapun bersama-Nya. Dia saat ini sebagaimana Dia selayaknya.”
Kalimat pertama dari kalam hikmah tersebut sebenarnya dikutip dari sebuah hadis shahih. Imam Bukhari meriwayatkannya dengan tiga redaksi, yaitu
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْئٌ غَيْرُهُ
كَانَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَبْلَ كُلِّ شَيْئٍ
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْئٌ قَبْلَهُ
Meskipun redaksinya berbeda tapi maksud dari ketiga hadis tersebut tentulah sama. Ada keterkaitan di antara ketiganya, bahkan hadis ketiga menjadi kelaziman dari hadis pertama dan kedua. Maksudnya, ketika hadis pertama menyatakan bahwa Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain-Nya dan dan hadis kedua menyatakan bahwa Allah ada sebelum segala sesuatu ada, maka tentu secara mafhûm awlawî menurut hadis ketiga Allah ada dan segala sesuatu tidak ada sebelum-Nya. Hakikat yang demikian ini yaitu bahwa Allah ada sebelum segala sesuatu ada telah diperkuat dalam firman-Nya:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ [الزمر : 62]
“Allah adalah Pencita segala sesuatu.” (QS: Az-Zumar 62)
Berdasarkan dalil ilmiyah, dalil aqli dan dalil naqli, para ulama sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah diciptakan dan baru. Sedangkan sifat qidam merupakan sifat yang khusus dimiliki oleh Allah. Secara panjang lebar para ulama mematahkan statemen para filsuf kuno yang berargumentasi bahwa alam qadim sebagaimana Allah qadim. Menurut mereka, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada sebelum adanya ruang dan waktu. Melaui aspek inilah mereka kemudian berkesimpulan bahwa alam qadim. Sementara, jika dilihat dari aspek bahwa secara dzatnya (juz’iy), keberadaan alam itu butuh kepada Tuhan, maka alam itu bisa dihukumi baru (hâdits).
Sayangnya, pandangan para filsuf itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, sifat lemah (‘ajzu) yang terjadi pada tiap dzat (juz’iy) alam karena sifat barunya pasti juga terjadi pada alam secara temporal (zamaniy). Bahkan, seharusnya sifat lemah (‘ajzu) yang terjadi pada tiap dzat (juz’iy) alam itu bermula dari sifat lemah yang terjadi pada alam secara temporal (zamaniy). Maka, selain tidak berlandaskan bukti yang konkrit, nalar mereka juga memiliki banyak sisi kelemahan.
Adapun tujuan utama disampaikannya kalimat pertama dari kalam hikmah tersebut oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari adalah untuk memperkuat keyakinan bahwa secara hakikat Allah ada sebelum adanya segala sesuatu dan tanpa disertai apapun selain-Nya.
Kalimat kedua dari kalam hikmah tersebut, yaitu “Dia saat ini sebagaimana Dia selayaknya” sebenarnya juga punya maksud yang sama dengan kalimat pertama dari kalam hikmah tersebut, bahkan kalimat pertamalah yang berfungsi memperkuat maksud dari kalimat kedua. Gambarannya adalah apabila dalam zaman Azali yaitu zaman lalu yang qadim, sebelum penciptaan semesta, Allah ada tanpa disertai apapun bersama-Nya, maka sampai saat ini pun tetap demikian, artinya Allah ada tanpa disertai apapun bersama-Nya. Tidak ada bedanya, baik di saat yang telah lalu (mâdhî), saat ini (hâdhir), ataupun di saat yang akan datang (mustaqbal), hakikat bahwa Allah ada tanpa disertai apapun bersama-Nya tidak akan pernah berubah.
Mungkin pernyataan semacam ini masih menyisakan banyak tanda tanya dalam hati beberapa orang. Salah satunya adalah tentang fakta bahwa saat ini juga dunia ini dipenuhi dengan berbagai ragam benda seperti langit, bumi, bintang-bintang, dan binatang yang semua itu dapat kita saksikan secara nyata ada bersamaan dengan adanya Allah.
Sebelum menjawab hal itu, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu. Apakah semua benda yang diciptakan oleh Allah sebagaimana yang kita saksikan saat ini pantas untuk dikatakan wujud secara hakikat sebagaimana wujud Allah? Apakah semua benda pantas menyandang sifat wujud yang dimiliki Allah?
Jawabannya tentu tidak. Jika anda memaksa mengatakan ia, maka itu artinya anda berani mengatakan bahwa anak kecil yang dibantu berdiri oleh orang tuanya dengan cara dipegang kedua tangannya, mampu berdiri sendiri sebagaimana orang tuanya berdiri. Jika memang demkian, maka hal ini tak bisa diterima. Sebab, anak kecil dalam kondisi yang sangat lemah sekali tentu tidak mampu berdiri. Dia hanya mampu berdiri jika dibantu oleh orang tuanya dengan cara dipegang kedua tangannya. Dia akan bertahan berdiri selagi orang tuanya memegang kedua tangannya dan mengangkatnya sehingga anak kecil itu nampak mampu berdiri sendiri sebagaimana orang tuanya. Namun, jika orang tuanya melepas kedua tangan anak itu maka ia pasti terjatuh. Oleh karena itulah, kemampuan berdiri yang ada pada anak kecil itu disebabkan dan dibuktikan dengan bantuan orang tuanya. Tidak bisa dikatakan bahwa anak kecil itu mampu berdiri sendiri bersama orang tuanya.
Baca juga; Bagaimana cara terbaik berlindung kepada Allah
Maka, demikian pulalah yang terjadi antara makhluk dan khâlik (Allah). Allah menganugerahkan kepada makhluk sifat wujud yang sementara. Allahlah yang senantiasa memberikan nikmat berupa sifat wujud itu kepada makhluk-Nya. Jadi, keberlangsungan wujud makhluk di dunia adalah berkat nikmat yang diberikan oleh Allah tanpa henti. Sehingga, apabila Allah menghentikan nikmat sifat wujud itu niscaya semua makhluk pasti musnah tak tersisa. Maka bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa makhluk memiliki sifat wujud sebagaimana sifat wujud yang dimiliki oleh Allah?!
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS: Fathir, 41)
Adapun pelajaran penting yang tersimpan di dalam kalam hikmah tersebut adalah membatasi sifat ketuhanan hanya kepada Allah, bahwa Allah Maha Esa, Maha Kuasa atas segala-galanya. Hanya kepada-Nya kita mengharapkan kebaikan dan hanya kepada-Nya kita menghawatirkan mara bahaya.
Ali Wafa Yasin/sidogiri