Sunah dan bidah merupakan dua hal yang perlu kita pahami secara kaffah. Karena keduanya memiliki perbedaan makna. Jika salah dalam memahami arti dan esensi dari dua hal tersebut, maka akan menimbulkan kekeliruan pemahaman dan amal kita sehari-hari. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa setiap perkara baru adalah bidah. Hingga mereka pun memfonis bahwa setiap orang yang melakukan bidah adalah ahli neraka. Ironisnya, -sebagaimana yang terjadi dalam sejarah orang-orang wahabi. Mereka membunuh seluruh ulama Ahlusunah wal jamaah. Dengan cara membidahkannya lalu mengkafirkan dan menganggap darah mereka halal.
Bidah secara etimologi adalah membuat hal baru yang tidak pernah ada contoh sebelumnya. Sedangkan secara terminologi (syarak) adalah membuat hal baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah ﷺ. Kendati definisi bidah secara terminologi sudah banyak diketahui oleh para ulama, mereka tetap berbeda dalam pembagian bidah.
Syekh Izzudin bin Abdussalam dalam kitabnya Qowa’idul-Ahkam berkata sebagai berikut: “Bidah adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah. Bidah terbagi menjadi lima, bidah wajibah, bidah muharramah, bidah mandubah, bidah makruhah, bidah mubahah.” Beliau menambahkan bahwa cara untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bidah pada kaidah-kaidah syariat. Apabila bidah itu masuk dalam kaidah wajib maka menjadi bidah wajibah. Apabila masuk dalam kaidah haram, maka menjadi bidah muharramah. Apabila masuk dalam kaidah sunnah, maka menjadi bidah mandubah. Dan apabila masuk dalam kaidah mubah, maka menjadi bidah mubahah.”
Sedangkan dalam masalah sunah, mayoritas orang menganggap bahwa sunah hanyalah apa yang Nabi kerjakan saja. Perihal pekerjaan yang datang dari selain Nabi (seperti para sahabat) maka bukan termasuk sunah.
Baca Juga: Maulid Di Antara Bidah Dan Maslahah
Perlu kita ketahui bahwa sunah (Arab: Sunnah), menurut para leksikograf (ahli perkamusan) bahasa Arab, berarti cara, jalan, aturan, model, pola bertindak atau menjalani hidup. Begitu pula dijelaskan dalam satu keterangan bahwa kata as-sunnah secara etimologis (lughawi) memiliki arti at-thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan prilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminologis, as-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Dalam konteks ini, Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari mengatakan:
“Sunnah seperti dikatakan oleh Abul-Baqaa’ dalam kitab al-Kulliyyat, as-sunnah secara kebahasaan adalah jalan, meskipun tidak diridhai. Sedangkan as-sunnah menurut syarak ialah nama bagi jalan dan prilaku yang diridhai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ atau orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam berargama seperti para shahabat –radliyallahu ‘anhum, berdasarkan sabda Nabi ﷺ “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafau-Rasyidin sesudahku”.
Dalam al-Quran, kata sunnah atau sunan (jamak dari kata sunnah) digunakan sebanyak 16 kali. Dalam seluruh kasus ini, kata ini digunakan dalam pengertian aturan, model kehidupan, dan garis perilaku yang baku.” Oleh karena itu, ketika Allah ﷻ memerintahkan kaum muslimin menaati Nabi dan menjadikan kehidupannya sebagai model yang baik, ungkapan “sunnah Nabi” pun mulai digunakan. Penggunaan ini dimulai pada masa hidup Nabi dan dilakukan oleh Beliau sendiri.
Baca Juga: Periode Nabi Periode Terbaik
Perlu kita ketahui pula bahwa sunah terbagi menjadi empat bagian. 1. Sunnah Qauliyyah 2. Sunnah Fi’liyah 3. Sunnah Taqririyyah 4. Sunnah Washfiyyah. Namun ulama ushul tidak menganggap Sunnah Washfiyyah sebagai sunnah, karena tidak dapat diambil faidah untuk hukum amaliyah. Namun dalam hal ini hanya akan dijelaskan tentang sunah taqririyah, karena modelnya serupa dengan bidah, di mana pekerjaan yang ada bukan dari Nabi langsung, melainkan dari orang lain.
Sunah taqririyah ialah sunah yang berupa ketetapan Nabi ﷺ atas apa yang dilakukan oleh para sahabat. Baik berupa ucapan atau pekerjaan. Sebab diamnya Nabi ﷺ, tidak ada keingkaran atau dengan persetujuan dan anggapan baik dari Nabi ﷺ. Ketetapan dan persetujuan ini datang dari Nabi ﷺ sendiri.
Sunnah taqririyah itu seperti ada salah seorang sahabat yang mengatakan atau mengerjakan sesuatu dimulai dari dirinya, dengan tanpa ada sanad dari al-Quran atau Hadis. Kemudian mereka melaporkan hal tersebut pada Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ tidak mengingkarinya. Terkadang Nabi ﷺ menetapkan laporan tersebut dengan perkataan atau pekerjaan, memberi kabar gembira, mendoakan orang yang mengerjakannya dan lain sebagainya. Pada intinya, semua itu menunjukkan pada bolehnya pekerjaan dan perkataan tersebut. Hingga hal itu pun menjadi sunah Nabi ﷺ. Dengan ini, dapat diketahui akan bolehnya sesuatu yang telah ditetapkan Nabi ﷺ atau selain Nabi ﷺ, seperti para Imam. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahli syariat.
Dari penjelasan ini, sangat jelas bagi kita akan hubungan kuat antara sunah taqririyah dan paham bidah. Secara sepintas, sunnah taqririyah mungkin seperti bidah. Lalu ketika kabar ini sampai pada Nabi ﷺ, Beliau memperbolehkan pekerjaan tersebut pada pelakunya. Seandainya setiap bidah itu sesat dalam agama dan tidak boleh dikerjakan maka Nabi ﷺ akan mengingkari perbuatan para sahabat yang tidak ada penjelasan dalam al-Quran dan Hadis. Akan tetapi orang yang menganggap sunah Rasulullah ﷺ akan mengetahui bahwa ketetapan Nabi ﷺ itu berlandaskan atas banyaknya pekerjaan dan perkataan yang muncul dari mereka. Sekalipun hanya masuk pada keumuman dalil syar’i atau kembali pada qaidah syar’iyah.
Oleh: Dede Febiyan Hidayat