Ada seorang tokoh Islam menulis di akun Twitter-nya, seperti ini: “Apanya yang waras jika cara hidup 1.400 tahun yang lalu di sejengkal tanah purba hendak diterapkan hari ini di seluruh muka bumi?”
Sebagai tulisan singkat, tentu pernyataan tersebut sangat bias dan tidak begitu jelas apa maksudnya dan siapa yang dituju, meski sudah sangat lumrah jika angka 1.400 mengarah pada periode kehidupan Nabi. Bagaimana kita menyikapinya pernyataan seperti itu?
Jawaban
Pertama, seorang tokoh yang menulis atau berbicara di sosial media, hendaknya menulis atau berbicara dengan jelas dan lugas, untuk memberikan petunjuk kepada umat terkait persoalan yang masih samar-samar bagi mereka atau untuk menjawab problem keumatan yang terjadi secara merata. Sehingga dengan demikian, umat menemui jalan terang yang mudah untuk dilalui.
Baca Juga: Apakah Nabi Pernah Sesat?
Jika seorang tokoh justru menulis sesuatu yang bias, tidak dimengerti oleh kebanyakan orang, padahal sosial media adalah media global yang bisa diakses oleh siapa saja, apalagi tulisan yang membikin orang bingung, mengganggu pemahaman orang awam, atau bahkan bisa menggoyahkan keimanan mereka, tentu hal sedemikian sangat berbahaya.
Kedua, kode 1.400 secara umum memang mengarah pada periode kehidupan Nabi, sebab begitulah lumrahnya istilah yang digunakan oleh para penulis. Dan jika memang demikian maksudnya, maka pernyataan itu sungguh sangat berbahaya, karena bisa berarti bahwa orang-orang yang meniru cara-cara hidup Rasulullah dan masyarakat Muslimin saat itu (para shahabat) dianggap tidak waras. Anggapan seperti ini tidak boleh muncul dari seorang Muslim, karena jelas berbahaya bagi keselamatan iman mereka.
Namun, jika kita mencoba melacak lebih dalam lagi dan mengerucutkan kecenderungan komentar semacam di atas, tampaknya itu lebih mengarah pada komentar terhadap simbol-simbol islami yang mulai digandrungi oleh umat Islam Indonesia, seperti jilbab dan cadar untuk perempuan atau jubah untuk laki-laki.
Baca Juga: Surga itu Tidak Penting!
Sebab umumnya, orang Islam yang liberal memang enggan dengan segala sesuatu yang berbau Arab, lalu mereka mencoba membenturkannya dengan budaya Nusantara. Namun, pada waktu yang bersamaan, mereka sangat welcome dengan budaya dan nilai-nilai Barat, karena dianggap sebagai simbol kemodernan.
Akan tetapi, mungkin juga kata-kata di atas diarahkan untuk menyerang ide khilafah yang dipasarkan oleh sebagian ormas yang ada di Indonesia (HTI). Bagaimanapun khilafah adalah sistem pemerintahan dalam Islam, tetapi ide khilafah versi HTI banyak yang tidak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh para ulama Ahlusunah wal-Jamaah dan karena itu kita juga menolaknya.
Namun, mengatakan bahwa khilafah secara umum adalah sistem kuno dan orang yang mencoba menerapkannya dianggap tidak waras, adalah komentar yang jauh dari sikap ilmiah dan bahkan tidak dewasa. Sebab sistem demokrasi yang kita gunakan hari ini adalah warisan Yunani dan jauh lebih kuno ketimbang sistem khilafah yang digunakan pada zaman Khulafaur Rasyidin. Apakah dengan demikian berarti saat ini kita semua sedang tidak waras?