Pernikahan adalah bagian dari syariah Allah yang tentunya memiliki tujuan. Tujuan tersebut tentu juga tidak hanya berkaitan dengan keberlangsungan ras manusia di dunia, karena ras hewan pun masih bisa terjaga, meski tidak melalui pernikahan. Pernikahan tidak hanya sekadar untuk mengenai garis keturuan, karena dengan pengetahuan modern hal itu bisa teratasi. Lantas apa tujuan dari nikah sebenarnya?
Untuk menggambarkan secara utuh makna pernikahan pada manusia memang sulit, karena pastinya hanya diketahui oleh Allah. Akan tetapi, kita bisa melihat dari apa yang disampaikan Allah yang tertuang dalam surah ar-Ruum ayat 21 berikut:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Ruum:21).
Ayat ini sering dibaca dan bahkan ditulis dalam lukisan kaligrafi dalam pesta pernikahan. Hampir pasti, ceramah dan sambutan dalam pernikahan para dai menyitir ayat ini. Seiring dengan ayat ini, sering juga disitir ayat 189 dalam surah al-A’raf berikut:
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. (Q.S al A’raf 7:189)
Dalam surah ar-Ruum di atas, Allah menyebut tiga makna dalam pernikahan yang diisyaratkan dengan penciptaan manusia yang berpasang-pasangan (azwajan). Maksud berpasangan, tentunya adalah jenis laki-laki dan perempuan, bukan sesamanya, sebab perkawinan sejati hanya bisa dilakukan beda jenis.
Apa saja tiga makna dimaksud? Pertama, pernikahan itu menentramkan. Ungkapan li taskunuu menjadi indikator pertama dalam makna sebuah pernikahan, sehingga dalam bahtera rumah tangga ada istilah sakinah. Artinya, ada perasaan nyaman, damai, hening, harmoni, tentram atau tenang dalam mahligai pernikahan.
Tenang bukan berarti bebas dari bising. Tentram bukan berarti jauh dari huru hara. Dalam keluarga, pasti ada ragam warna. Akan tetapi, secara umum pernikahan menampilkan ketenangan. Sebab itulah, mayoritas manusia melabuhkan pilihannya pada kata nikah, meski kadang harus mengeluarkan biaya mahal. Jika kemudian ada ungkapan, “Jika ingin hidup susah, menikahlah!” tak lebih karena memandang dari sisi riakriak keluarga, yang biasanya dipandang dari sudut materi bukan makna terdalam secara umum.
Kedua, tercipta mawaddah. Dalam kamus Arab, mawaddah bermakna cinta. Dalam pernikahan, cinta menjadi hikmah kedua. Ini member pengertian bahwa cinta bukan pemicu pernikahan melainkan pernikahanlah yang melahirkan cinta. Inilah yang menjadi alasan, mengapa pernikahan tanpa pacaranpun tetap langgeng hingga kakek-nenek. Melegalkan pacaran hanya karena ingin melanggengkan pacaran, terpatahkan oleh fakta empiris orang-orang terdahulu yang bisa melanggengkan rumah tangga.
Dengan cinta, ikatan pernikahan menjadi kuat. Mawaddah yang dalam satu riwayat sebagai kata kinayah dari jima’ menjadi bumbu tersedap dalam pernikahan. Meski jima’ bukan sebagai tujuan utama dalam pernikahan, tetapi percintaan dalam pernikahan memberikan warna yang tidak bisa diabaikan. Terbukti, dengan senyap perbincangan terpopuler dalam kata nikah adalah aktivitas di atas ranjang.
Ketiga, memunculkan rahmah atau kasih sayang. Gambaran utuh dalam makna sayang ada pada pernikahan, karena di dalamnya menampilkan kesejatian rasa sayang. Rasa sayanglah yang mendrorong orangtua berani berkorban untuk anak-anaknya. Seorang ayah bekerja untuk kebahagiaan keluarga di rumah, sementara ibu berkorban untuk hamil demi suami dan anak. Karena sayang pula, orangtua tidak menghitung berapa yang harus dikeluarkan untuk kebahagiaan anak, karena inti dari rahmat adalah hanya memberi kebaikan, tanpa mengharap kembali.
Soal anak inilah yang kemudian disinggung dalam satu riwayat bahwa kata rahmah merupakan bentuk kinayah dari keturunan (awlad), seiring dengan kata mawaddah yang dimaknai jima’. Dengan kehadiran anak di tengah keluarga, keharmonisan keluarga tercipta dengan sendirinya. Hal inilah yang tidak ditemukan dalam jalinan cinta terlarang, sehingga anak dianggap aib. Pembuangan bayi adalah cerminan nyata bahwa dalam cinta tanpa ikatan nikah tidak melahirkan kasih sayang.
Apapun makna yang terkandung pada keduanya, mawaddah dan rahmah diyakini sebagai pengikat kuat dalam pernikahan. Karena sayang, usia tua tidak menjadi pemicu ketidaksukaan antar pasangan, malah justru tambah sayang. Karena sayang, anak menjadi obat saat niatan pisah muncul di tengah kerikil rumah tangga.
Penciptaan manusia berpasangan sebagai tanda kekuasaan Allah, berikut ketiga makna pernikahan di atas hanya bisa dirasakan oleh orang yang berpikir. Ada ajakan untuk berpikir jernih sehingga titik tekan bahasan bukan sekAdar makna pernikahan, seperti kasih sayang dan keturunan, melainkan ada rasa syukur dan iman atas ketentuan ini. Tanpa berpikir jernih, kegiatan nikah yang diorientasikan hanya pada seksual semata, hanya akan melahirkan ide liar.
Baca juga: Kedahsyatan doa Buruk Orang Tua
Berpikir jernih ini sebenarnya sudah berjalan alami, sehingga aktivitas seksual di luar pernikahan yang legal secara agama pasti ditolak karena dapat melahirkan kekacauan. Zina dan penikahan sejenis, misalnya, semua agama pasti menolaknya, karena jelas melahirkan ketidakstabilan sosial di tengah masyarakat. Jika pun ada upaya untuk melegalkan aktivitas seksual yang terbilang liar tersebut tak lebih karena muncul dari ide liar yang hanya memandang dari sudut hak, bukan pada kewajiban.
Keluarga Muslim yang dilandasi dengan keimanan, sudah barang tentu akan mengontrol aktivitas seksual di luar ketentuan agama. Dalam bingkai penikahan yang legal, tidak hanya saat pernikahan berlangsung, tahap menuju pelaminan pun diatur sedemikian rupa. Ada khithbah, ada izin dari wali, dan lain sebagainya. Pernihakan bahkan terbilang sakral di beberapa daerah. Apakah sakralitas pernikahan itu kemudian akan dipudarkan oleh pernikahan sejenis? Semoga Allah menjaga iman dan akhlak kita bersama anak cucu kita. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri