Pada tanggal 3 Jumadal Akhirah Harun ar-Rasyid wafat di usia 44 tahun (ada yang berpendapat 45 tahun), usia yang cukup muda untuk ukuran pemimpin negara. Setelah berkuasa selama kurang lebih 23 tahun, beliau wafat di kota Thus (sekarang Masyhad, Iran) saat memimpin tentara untuk menggempur pemberontak pimpinan Rafi’ bin alLaist yang mencoba mempengaruhi rakyat Samarkand untuk memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah. Namun sebelum sampai, Harun ar-Rasyid sudah meninggal, penyebabnya adalah Infeksi pencernaan, bahkan sampai perut dililit sutra karena terlalu banyak berpikir akan suksesornya yang mengakibatkan makan kurang teratur.
Pada masa-masa akhir kepemimpinannya Harun ar-Rasyid merasakan ada tanda benih-benih konflik diantara anak-anaknya, hal ini dianggap wajar karena al-Amin merupakan anak dari Ibu yang bernama Zubaidah dan al-Makmun dari ibu yang bernama Marajil yang merupakan budak Persia. Konflik Arab-Persia di masa setelah Harun ar-Rasyid sangat mungkin terjadi. Hal inilah yang terus menghantui pikiran Harun ar-Rasyid.
Sebagai antisipasi perebutan kekuasaan di masa yang akan datang, Harun ar-Rasyid menuliskan wasiat yang ditempelkan pada dinding Ka’bah, isinya adalah penerus tahta setelah Harun ar-Rasyid adalah Muhammad al-Amin dan al-Makmun menjadi Gubenur untuk wilayah Khurasan dan sekitarnya, dan sukesor al-Amin adalah al-Makmun. Setelah Harun ar-Rasyid wafat dan Khalifah al-Amin dilantik, secara mengejutkan al-Amin memecat al-Makmun, tentu keputusan ini banyak ditentang dikarenakan menyalahi wasiat dari sang ayah, namun al-Amin tetap pada keputusannya dengan alasan dia adalah Khalifah dan bisa melakukan apa saja termasuk memecat al-Makmun sesuai dengan kemaslahatan. Tak hanya memecat al-Makmun dia juga mengangkat putranya Musa sebagai suksesor, padahal saat itu Musa masih menyusu pada ibunya, keputusan kontroversial ini disebabkan intervensi Perdana Mentri al-Amin, yaitu al-Fadl bin ar-Rabi’ yang takut kehilangan posisinya bila singgasana kekhalifahan diduduki oleh al-Makmun.
Sejumlah penasihatnya mencoba mengingatkan Khalifah al-Amin akan wasiat ayahanda Harun ar-Rasyid yang tersimpan di dinding Ka’bah. Khalifah al-Amin bukannya menuruti nasihat ini malah meminta naskah itu diambil dari dalam Ka’bah dan dibawa ke Baghdad.
Begitu Khalifah al-Amin menerima naskah tersebut, lantas dia merobeknya. Maka, segala wasiat, sumpah, dan kesepakatan antara sang ayahanda Harun ar-Rasyid dan kedua putranya di depan Ka’bah menjadi berantakan dan inilah awal mula konflik terbuka antara al-Amin dan al-Makmun.
Al-Amin berkuasa sekitar 4 tahun, awal masa pemerintahannya diisi foya-foya membangun lapangan di sisi istana, mengoleksi hewan-hewan buas, sedangkan dua tahun terakhir dipenuhi dengan perang suadara, hal ini yang membuat perekonomian Dinasti Abbasiyah stagnan.
Akhir dari Koflik
Pasukan setia al-Makmun dari Khurasan di bawah kepemimpinan Jenderal Tahir bin Husain mengalahkan pasukan Khalifah al-Amin, dan kepala sang khalifah dipenggal dan ditancapkan di gerbang kota al-Anbar. Lantas tubuhnya diseret dengan tali, dan akhirnya kepalanya dikirimkan ke al-Makmun. Maka, berakhirlah perang saudara kedua putra Harun ar-Rasyid. Dan kekuasaan beralih dari al-Amin kepada al-Makmun persis seperti yang tertera dalam sumpah dan kesepakatan mereka berdua dulu di depan Ka’bah. Namun, caranya bukan seperti yang dikehendaki ayahanda mereka, Harun ar-Rasyid. Kekuasaan beralih lewat pertempuran ribuan pasukan sesama Muslim dan dipenggalnya kepala khalifah keenam Abbasiyah. Setelah itu al-Makmun menjabat sebagai khalifah selama kurang lebih 20 tahun.
Fauzan imron/sidogiri