Alkisah, sebuah keluarga terbangun dengan anggota seorang lelaki bersama ibunya yang sudah tua, istri dan anak perempuan yang masih kecil. Sang ibu sudah tua dengan kondisi penglihatan rabun dan pendengaran yang terganggu. Otot-ototnya pun mulai lemah, sehingga sulit memegang apa pun. Saat makan makanan berceceran dan membuat rusuh tempat makan. Melihat kondisi itu, sang anak dan istrinya merasa jijik dan tidak nyaman saat makan bersama. Sebab itu, sang ibu dipindah dari tempat makan ke meja pojok dan makan sendirian.
Karena kondisinya sudah demikian renta, sering ia memecahkan piring dan gelas suguhannya. Sang anak marah besar melihat kondisi itu. Amarah memuncak dengan segala ocehan dari sang menantu. Keesokan harinya, sang anak membuatkan piring dan sendok dari kayu dengan harap piring kayu tak pecah lagi. Putri kecilnya, selalu memperhatikan dengan baik apa yang dilakukan orang tuanya terhadap sang nenek.
Setelah beberapa lama, sang putri kecilnya mengumpulkan beberapa batang kayu dan meminta sebuah pisau. Sang ayah mengira, apa yang dilakukan sang putri adalah tugas dari sekolah. Keesokan harinya, sang ayah bertanya, “Buat apa, wahai Putriku?”
Jawaban mengejutkan dari sang putri, “Oh ya, Yah. Saya sedang membuat piring dan sendok kayu.”
“Bukankah piring dan sendok kayu untuk nenek, sudah ada?”
“Bukan untuk nenek, Yah, tapi untuk Ayah dan Ibu jika sudah sudah tua nanti,” jawaban sang putri dengan senyum bangga.
Terkejut dengan jawaban polos sang putri, saling pandang dengan istrinya. Mereka menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya adalah keliru. Apa yang ia lakukan pada ibunya akan juga dirasakannya kelak ketika sudah tua.
Setelah kejadian itu, sang anak dan menantunya selalu perhatian pada sang ibu tua. Saat makan, mereka memapahnya ke meja makan bersama, dan saat ada sisa makanan di pinggir mulutnya mereka menyekanya dengan tisu. Penuh kasih sayang mereka merawat sang ibu, dan sang putri terus memperhatikan apa yang dilakukan orang tuanya.
***
Meniru adalah proses pembelajaran alami semua makhluk hidup. Meniru bukanlah sebuah tindakan keliru, tapi meniru tindakan buruklah yang keliru, termasuk juga memberi contoh dan teladan yang keliru. Jika kemudian anak meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, suatu hal yang wajar. Akan tetapi, bagi orang tua ini harus diwaspadai, karena setiap apa yang dilakukan di hadapan anak akan ditangkap yang kemudian diresepon dengan konkret melalui aksi nyata.
Sebuah pepatah umum sering kita dengar, “Buah tidak akan jauh dari pohonnya”. Pepatah ini bukan hanya terkait dengan watak anak yang umum dipersepsikan sebagai turunan atau genetik dari orang tuanya, seperti saat marah dan mengucapkan sesuatu. Akan tetapi, ini terkait dengan pembentukan karakter anak dalam lingkungan keluarga yang jauh lebih berpengaruh pada sikap dan pola pikir anak melebihi faktor turunan, karena keluarga adalah lingkup awal tempat sang anak mendapatkan nilai pendidikan, pengajaran dan pola hidup. Di lingkup itulah kepribadian dan karakter anak dibentuk, baik dilakukan secara sadar atau tidak oleh orang tua.
Anak memang seorang peniru ulung. Setiap saat, pandangan anak selalu mengamati, telinganya menyimak, dan pikirannya mencerna apa pun yang dilakukan orang tuanya. Itu sebabnya, tidak heran jika anak tumbuh menjadi sosok yang sangat mirip dengan orang tua dalam versi kecil. Sebab, hal yang paling mungkin dapat diserap dan dipelajari oleh anak adalah kebiasaan orang tua. Kecenderungan anak untuk meniru kebiasaan orang tua, terutama ayah dan ibunya, lebih besar jika dibanding anggota keluarga lainnya, termasuk kakek dan neneknya. Keberadaan orang tua yang intensitas pertemuannya lebih banyak, terutama pada usia balita, sangat memungkinkan penyerapan dilakukan oleh anak.
Pada akhirnya, apa saja yang dilakukan orang tua akan diserap melalui pengamatan dan pendengaran yang kemudian terjadi peniruan dan terus melekat pada pikirannya sebelum menjadi karakter pada anak. Respon konkret akan dilakukan sang anak, seperti yang tergambar dalam kisah di atas. Dengan demikian, ayah dan ibu adalah agen terbesar dalam pembentukan karakter anak, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يهَُوِّدَانِهِ أَوْ ينَُصِّرَانِهِ أَوْ يَُجِّسَانِهِ.
“Setiap bayi yang dilahirkan membawa fitrah, hanya kedua orang tuanya menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR. Bukhari dan Ahmad)
Sejak anak bisa melihat, anak mulai meniru ekspresi wajah orang yang menyapanya, dan orang tua adalah orang pertama yang akan menyapanya. Ketika orang tua tersenyum, anak ikut tersenyum. Ketika orang tua menyulurkan lidah, sang anak pun akan melakukan hal sama. Demikian semua yang ada di sekitarnya ditiru, karena dengan meniru sang anak bisa belajar dan tahu tentang sekitarnya.
Dari itulah, sebagai orang tua kita harus waspada, karena kita secara tidak langsung menjadi model utama dan objek peniruan oleh anak-anak kita. Apapun perbuatan dan perilaku kita di hadapan anak-anak kita akan ditiru dan itu bisa mungkin berbalik pada kita. Kita juga akan merasakan akibat dari apa yang telah kita berikan pada anakanak kita. Ketenangan hidup keluarga tentu juga berkaitan dengan anak yang akan meneruskan estafet kehidupan.
Hal ini bukan hanya pada tataran sikap dan akhlak, melainkan pula pada pola pendidikan beribadah. Anak akan meniru bagaimana kita shalat, saat mengaji dan bersedekah pada tetangga. Saat kita shalat di hadapan anak secara kontinu, anak akan punya pikiran bahwa shalat adalah wajib, sehingga tidak perlu susah mengajarkan anak cara rukuk dan sujud. Usia 6 tahun yang mengharuskan orang tua untuk memerintahkan anaknya untuk shalat, insya-Allah tidak akan mengalami kesulitan.
Jika demikian, masa peniruan anak ini adalah kesempatan emas bagi orang tua untuk memperkenalkan mereka pada akhlak dan nilai yang patut dalam kehidupan. Mengajarkan mereka bagaimana seharusnya bertindak dan berperilaku baik serta tidak melakukan tindakan yang cela. Dalam hal beragama pun akan dapat diserap oleh mereka manakala kita sebagai orang tua memberikan contoh dan tauladan yang tepat dalam beragama. Anak akan tahu dan mengerti agama dari ibadah orang tuanya melalui pengamatan mereka.
Dengan demikian, sejak dini mereka akan memiliki dasar pemahaman hidup yang baik untuk masa depannya. Justru sangat fatal sekali akibatnya, jika perilaku orang tua tak terkontrol saat marah, menyakiti dan mendengar kata-kata kotor dan kasar sehingga membangun konsep pemikiran yang salah pada dirinya. Mereka cenderung tidak terkontrol dan justru akan susah mengendalikannya. Semoga Allah menjaga anak-anak kita agar menjadi anak yang shalih atau shalihah, serta ikhtiar kita memberi teladan yang baik dicatat sebagai amal yang baik pula. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri