Budak perempuan itu hanya bisa pasrah. Ia tak berdaya menghadapi kebengisan tuannya yang kuat itu. Sudah berjamjam sejak awal siang, ia disiksa tanpa henti.
Menjelang senja, tak ada tandatanda amarah sang tuan meredup. Namun tanpa diduga, ia menghentikan siksaannya. Masih dengan wajah tanpa penyesalan, sang tuan berkata, ”Demi Allah, hanya karena rasa bosan aku meninggalkanmu…”
Sang tuan dalam penggalan kisah di atas adalah Umar bin al-Khaththab. Seorang pemuda Quraisy. Gagah perkasa, terhormat, dan disegani di kalangan kaumnya.
Satu sifat yang cukup erat melekat dalam jiwanya adalah kecintaan dan kesetiaan kepada nenek-moyang dan ajaran para leluhur. Oleh karena itu, ia tak rela ketika seorang Muhammad, mengajak kaumnya meninggalkan ajaran leluhur Quraisy yang sangat ia cintai. Hatinya pedih saat mendengar Nabi Baru itu mulai mencela dan meremehkan tuhan-tuhan sesembahan nenek-moyang Quraisy.
Umar adalah seorang pejuang yang idealis. Segala upaya ia lakukan demi memperjuangkan apa yang ia yakini. Dakwah sang Nabi Baru tak boleh meluas. Umar berpikir ia harus mencegah agama baru itu berkembang. Umar lantas bergerak mengikuti kemana saja Muhamamd melangkah. Siapa saja yang ditemui Muhammad untuk diajak masuk Islam, harus bersiap menerima teror dan ancaman dari jagoan muda Quraisy dari Bani Adi itu.
Langkah Umar menghalangi dakwah Islam sudah masuk pada tahap keinginan membunuh Rasulullah. Memasuki tahun ke-5 H, saat umat Islam diperintah untuk hijrah ke Habasyah, Umar mulai kuatir bangsa Quraisy yang ia cintai akan tercerai berai akibat perbedaan agama ini. Dari momen ini, Umar pun memutuskan untuk bertindak lebih jauh: membunuh Muhammad! Kalau pun Bani Hasyim tak terima dan angkat senjata memusuhinya, ia tak peduli! Bagi Umar, keutuhan ajaran nenek moyang dan persatuan Quraisy adalah segalanya.
Akan tetapi, sebelum ia beraksi, ia mengalami satu fase dalam hidupnya dimana hati dan akal pikirannya tercerahkan; serta sisi lembut dalam hatinya disentuh oleh lembut hidayah dari Sang Maha Kuasa. Momen itu direkam dengan jelas oleh riwayat Laila binti Abi Hatsmah, istri dari Amir bin Rabiah al-‘Anzi, halîf (sekutu) Bani Adi.
Suami Laila adalah saudara angkat Umar. Ia bersama istrinya Laila termasuk as-Sâbiqûn al-Awwalûn, pemeluk Islam kelompok pertama. Pada suatu pagi nan cerah, Laila sedang berkemas untuk hijrah ke Habasyah. Umar yang melihatnya, tak bisa mencegah, menghalangi, apalagi berbuat kasar. Suara lirih terdengar dari mulutnya, “Semoga Allah menyertai kalian…”
Laila Ummu Abdillah segera menceritakan apa yang ia alami kepada sang suami, Amir bin Rabiah.
“Engkau menginginkan Umar memeluk Islam?” tanya Amir.
“Tentu,” jawab Laila.
“Orang itu tak akan memeluk Islam sampai keledai al-Khaththab masuk Islam!”
Menyaksikan ketulusan para shahabat yang hendak hijrah ke Habasyah, Umar tertegun. Ia mulai berpikir bahwa agama yang dianut para pengikut Muhammad adalah sebuah kebenaran nan hakiki. Ia kagum dengan ketabahan dan ketulusan yang terpancar dari wajah para shahabat. Apalagi Muhammad panutan mereka adalah sosok tanpa cela. Semua orang Quraisy tahu itu.
Berikutnya, Umar dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi ia mulai bisa menerima tanda-tanda kebenaran agama Muhammad yang memancar dari ketulusan para pengikutnya; namun di sisi lain, ia harus bertindak karena Quraisy di ambang perpecahan akibat agama baru ini.
Umar adalah pribadi yang tegas dan teguh pendirian. Tak ada kata bimbang atau ragu dalam kamus hidupnya. Ketika dihadapkan pada dua pilihan tersebut, ia secara tegas memilih untuk tetap pada pendirian semula: membela ajaran leluhur dan memusuhi agama baru pemecah belah Quraisy!
Kebetulan, dua hari sebelumnya, Abu Jahal, tokoh papan atas bangsa Quraisy yang masih sepupu ibu Umar dipermalukan oleh Hamzah, paman Muhammad. Hamzah menghajar Abu Jahal dengan busur panahnya. Bagi Umar, harga diri Abu Jahal adalah harga dirinya pula.
Maka Umar pun menghunus pedang. “Sekarang lah waktunya!” pikirnya. Ia hunus pedangnya, lalu melangkah dengan gagah menuju Muhammad.
Di tengah jalan, ia berjumpa Nu’aim bin Abdillah, kerabat Umar sesama Bani Adi. Nu’aim saat itu sudah memeluk Islam namun merahasiakan keislamannya.
“Hendak kemana Engkau, wahai Umar?” tanya Nu’aim.
“Aku ingin menemui Muhammad. Dia telah memecah belah Quraisy, mengolok-olok harapan mereka, mencela agama mereka, dan mencaci tuhan-tuhan Quraisy. Aku akan membunuhnya!”
“Jangan terburu-buru, wahai Umar. Tidakkah Engkau akan dikucilkan oleh Bani Abdi Manaf jika berani membunuh Muhammad?! Lihat saudaramu, Said bin Zaid dan adikmu Fathimah, mereka berdua telah memeluk Islam dan mengikuti Muhammad. Selesaikan urusan keluargamu terlebuh dahulu!”
Umar terkejut mendengar berita yang ia dengar. Segera ia bergegas menuju kediaman Fathimah. Ada 3 orang di rumah itu: adiknya Fathimah, suaminya Said bin Zaid, dan Khabbab bin al-Arat sedang mengajari al-Quran kepada keduanya.
Tanpa bisa dibendung, Umar langsung menghajar Said, kemudian menampar Fathimah hingga wajahnya terluka dan tubuhnya tersungkur. Satu lembar mushaf ikut terjatuh bersama Fathimah dan menarik perhatian Umar.
Saat Umar mencoba meraih mushaf itu, Fathimah marah. Ia tak rela mushaf al-Quran disentuh oleh Umar yang belum berwudu. Umar lantas wudu kemudian membaca QS Thaha 1-6 yang tertera dalam mushaf tersebut.
Thâhâ.
Kami tidak menurunkan al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang berkuasa di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
Seketika tubuh Umar bergetar. “Ini tidak mungkin ucapan manusia,” ia bergumam. Saat itu juga ia memeluk Islam. Tanpa keraguan sedikit pun.
Umar kemudian bertolak menuju rumah Shahabat al-Arqam bin Abil Arqam, tempat berkumpul para shahabat. Di sana ia berlutut di hadapan Rasulullah dan menyatakan keislamannya.
***
Keislaman Umar adalah perwujudan doa dan harapan Rasulullah. Suatu saat, beliau pernah berdoa, ”Ya Allah, muliakanlah agama Islam dengan salah satu dari dua Umar: Umar bin al-Khaththab atau ‘Amr bin Hisyam (Abu Jahal)”.
Keislaman Umar yang menyusul Hamzah membawa kemuliaan dan kejayaan bagi agama Islam di mata orang Quraisy. Jika sebelumnya para shahabat menyembunyikan agama dan keimanan mereka, kini mereka bebas menampakkan agama. Mereka merasa aman saat dua jagoan Quraisy kini berada di kubu mereka.
Umar segera bertransfromasi menjadi pembela agama nomor satu. Ia menunjukkan hal itu dengan pembelaannya yang luar biasa terhadap rekan-rekan seagama. Berkat Umar, umat Islam menjadi bebas shalat dan thawaf di Masjidil Haram.
Momen saat umat Islam kali pertama melakukan thawaf di Masjidil Haram dilengkapi dengan gelar al-Faruq yang disematkan oleh Baginda Rasul kepada shahabat barunya Umar bin al-Khaththab. Saat itu, kafir Quraisy hanya bisa memandangi dari kejauhan. Mata tajam mereka menyoroti sosok Hamzah dan Umar tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sejak Umar masuk Islam, kita senantiasa menjadi terhormat dan mulia,” ujar Abdullah bin Mas’ud.
Moh. Yasir/sidogiri
5