مَا مِنْ نَفَسٍ تبُْدِيْهِ إِلَّا وَلَهُ قَدَرٌ فِيْكَ يُْضِيْهِ
“Pada setiap desahan nafas yang kau hembuskan, terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan”
Setiap nafas yang kau tarik dan kau hembus, tak lepas dari garis takdir yang telah ditetapkan. Perbuatan taat, maksiat, adanya nikmat maupun cobaan, semua termaktub dalam lembar catatan. Maka, menjaga adab atas semua itu adalah keharusan. Inilah inti dari sebuah ungkapan, “Jalan menuju Allah sebanyak desahan nafas seluruh hamba.”
Nafas adalah udara yang dihirup di dalam dada, kemudian dihempas ke luar. Tersusun dari daya tarik dan daya hempas. Kehidupan manusia sejatinya adalah kumpulan dari nafas-nafas: sehingga ia bisa bergerak, berbicara dan bekerja di luasnya udara yang terhirup.
Dalam hikmah ini Ibnu Athaillah seolah berkata, “Tahukah Anda setiap gerak-gerik tubuh; besar-kecilnya, samar-tidaknya berada di dalam genggaman qada’ & qadar Allah, dan setiap tarikan serta helaan nafas telah tercatat dalam catatan-Nya”. Maka mengerti dan meyakini hakikat takdir menjadi sangat penting di dalam konstruksi akidah Islam. Semakin mendalam, maka semakin kuat keimanan.
Bagaimanakah kita mengartikan qada’ dan qadar? Tepatkah pemahaman kita atas dua hal yang tiada kelu lidah ini mengucapkannya? Terlepas dari perdebatan panjang perihal definisi yang ada, di sini kami coba ketengahkan suatu pendapat yang agaknya lebih mudah dicerna. Bahwa qada’ adalah ilmu atau pengetahuan. Yakni pengetahuan Allah sejak tidak adanya segala sesuatu (azal) akan terjadinya sesuatu. Qadar adalah realisasi dari ilmu atau pengetahuan itu.
Sederhananya, jika dikatakan ‘Allah mentakdirkan Usman kaya’ misalnya, maksudnya adalah Allah tahu sejak zaman dahulu bahwa Usman akan terlahir menjadi orang yang kaya dan berkecukupan harta. Sedangkan keberadaan Usman pada hari ini benarbenar kaya itu merupakan qadar sebagai realisasi dari qada’ sebelumnya.
Nah, jika kita sadar bahwa qada’ adalah ilmu, dan qadar sebagai tindak lanjut dari ilmu itu sendiri, maka dengan sendirinya kita sadar bahwa qada’ sama sekali tidak terkait dengan ikhtiar dan keterpaksaan hamba. Bahwa, ilmu (qada’) Allah itu berkenaan dengan dua hal; pertama, tahunya Allah pada hal-hal yang sifatnya di luar ikhtiar dan kendali manusia, seperti terjatuh, sakit, lupa, kelahiran dan kematian. Kedua, tahunya Allah pada hal-hal yang beriringan dengan apa yang menjadi keinginan manusia bergantung pada usaha dan ikhtiarnya. Lebih jauh lagi untuk hal kedua ini, pengetahuan Allah juga meliputi apa yang dipilih oleh manusia itu sendiri di dalam urusan-urusan yang memang bersifat ikhtiâri dan sangat ditentukan oleh kesanggupan untuk melakukannya.
Ada sebuah pernyataan begini, “kalau memang sejak dulu Allah tahu bahwa aku akan bermaksiat, sama halnya dengan Allah memaksaku untuk bermaksiat.” Hal ini tidak benar, karena sejatinya ilmu tidak bisa berpengaruh dan tidak bisa menentukan. Ibaratnya, ilmu adalah cahaya yang terlihat oleh mata Anda ketika Anda sedang berada di dalam mobil misalnya. Sehingga dengan cahaya itu Anda tahu mana jalan yang baik untuk dilalui dan mana jalan curam dan terjal. Cahaya itu sama sekali tidak menentukan apakah Anda akan selamat sampai tujuan atau bahkan celaka di tengah jalan.
Ketika Anda meminta buah hati Anda belajar karena ujian kelulusan sudah di depan mata. Sedang Anda tahu pada kemampuan buah hati Anda yang di bawah rata-rata. Anda pesimis bahwa ia akan berhasil. Ternyata buah hati Anda dinyatakan tidak lulus. Apakah ketika Anda berkata: “Sebenarnya ayah tahu kalau kamu tidak akan lulus”, lantas buah hati Anda menjawab: “Berarti ayah yang menyebabkan aku tidak lulus.”
Sekali lagi perlu diingat, yang menentukan kelulusan bukanlah tahunya ayah pada potensi kelulusan anaknya. Bukan pula tahunya ayah akan ketidaklulusan buah hatinya yang menyebabkan si buah hati gagal dalam ujian sekolah. Penyebabnya jelas adalah buah hati itu sendiri; kesiapan dan dan ketidaksiapannya menghadapi ujian.
Lantas kira-kira apa pengaruh yang dirasakan seseorang dengan mengerti hakikat takdir? Jawabannya jelas, ia akan semakin enjoy menjalani alur kehidupan. Mengapa? Kita semua tahu bahwa manusia butuh bekerja demi menjaga kelangsungan hidup. Meski demikian, ia tidak boleh bergantung pada jerih payah pekerjaannya. Pekerjaan yang setiap hari dilakukan hanya ditujukan sebagai upaya kasb; menjaga etika bersama Allah; tunduk pada aturan yg telah digariskan.
Muslim sejati bangkit mencari rezeki dengan bekerja; jika sukses ia memuji Allah, serta yakin bahwa apa yang diterima adalah anugerah. Jika belum berhasil, Muslim sejati tidak bersedih, akan tetapi ia pasrah dan yakin semua telah sesuai qudrat dan irâdah Allah.
Ia pasti teringat kandungan QS. Al-Baqarah: 216 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Bahwa siapapun tidak berdaya mengatur kehendak Allah untuk senantiasa sesuai kekarepannya.
Seseorang yang tahu hakikat takdir, berani berbuat dengan resiko apapun sehingga ia berkorban di jalan Allah dengan segenap jiwa dan raga. Karena ia merasa, semua yang tertulis dalam Sijjil (catatan Tuhan) mau tidak mau pasti terjadi. Baik dilakukan dengan bermalasan atau penuh pengorbanan.
Alhasil, Muslim yang memiliki keyakinan semacam ini selalu menggunakan parameter syariat setiap akan melakukan sesuatu. Semangat inilah yang terus digelorakan oleh shahabat-shahabat Rasul, utamanya dalam memperluas dakwah Islam dalam ranah ideologi dan peradaban. Maka banyak dari shahabat Nabi tampil sebagai uswah dalam perjuangan dakwah tak kenal lelah dan tak pusing memikirkan resiko.
Kita pasti bertanya-tanya tentang rahasia yang memotivasi para Shahabat sehingga mau berkorban sedemikian rupa demi kepentingan agama, bukan? Setidaknya ada dua hal yang menjadi landasan berpikir para shahabat yang senantiasa dijadikan pijakan. Pertama, karena mereka senantiasa berpegang teguh pada perintah dan aturan Allah. Kedua, karena mereka tidak peduli dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Mereka menerima apapun itu.
Mengapa mereka tak pernah khawatir dengan hal-hal yang belum tentu terjadi? Tentu karena semua yang akan mereka hadapi didasari keyakinan mendalam bahwa semuanya adalah perwujudan dari takdir Tuhan. Mereka hanya lakon di dalam percaturan hidup. Wallahu a’lam.