Sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya, pembahasan pada tulisan ini tetap menyoroti hadis dhaif dalam kajian Ilmu Hadis yang kemudian berseberangan dengan konsep dalam Ilmu Fikih. Perseberangan ini memang sempat mencuat di tengah kehidupan beragama kita, khususnya di Indonesia. Seringkali kita temukan kegaduhan beragama, bukan hanya kegaduhan politik dalam perebutan kekuasaan. Ini lantaran klaim dari kalangan yang mengatasnamakan pengikut ahli Hadis yang sering melontarkan kata bi’dah dan sesat pengamal amalan yang dinilainya lemah. Ambil contoh, doa qunut di shalat shubuh dan mengumandangkan adzan di telinga bayi yang baru lahir. Ini sempat menjadi viral di medsos, ketika seorang artis penganut keagamaan tertentu melontarkan kata bid’ah dengan alasan hadisnya dhaif.
Hal umum yang menjadi sorotan utama dalam kajian Hadis adalah mengenai kualitas rawi. Inilah yang kemudian melahirkan ilmu al-Jarh wat-Ta’dil. Karena ilmu ini lahir belakangan, rujukan utama untuk menentukan kualitas rawi adalah dengan melihat komentar para kritikus hadis dan rawi atau yang disebut naqid. Komentar mereka kemudian dikenal dengan alfazul-jarh wat-ta’dil. Pengkaji hadis belakangan, sorotan utama dalam menentukan kualitas hadis melalui metodologi penelitian hadis semuanya mengacu pada apa yang disampaikan para naqid, khususnya yang terkumpul dalam Kutubur-Rijal, semacam Tarikhul-Kabir yang ditulis oleh Imam al-Bukhari. Kitab paling populer adalah Tahdzib al-Kamal, oleh al-Mizzi dan Taqrib at-Tahdzib oleh Ibn Hajar al- ‘Asqalani.
Dalam kajian kualitas rawi ini, akan kita temukan beberapa keganjalan. Pertama, ditemukannya pertentangan vonis antara satu naqid dengan naqid lainnya terhadap satu orang rawi (tanaqud al-jarh wa at-ta’dil). Dalam hal ini saja, kritikus memiliki banyak pandangan. Di antara mereka ada yang menyatakan al-jarh muqaddam ‘ala at-ta’dil, penilaian negatif lebih didahulukan daripada penilaian positif, dan ini dinilai paling kuat. Ini pun dengan catatan apabila penilaian negatif memiliki tafsir, tidak mubham. Harus jelas arahnya kemana, ke sifat ‘adalah atau dhabth?
Akan tetapi, naqid yang menyatakan tsiqah mesti juga menjadi pertimbangan, tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari itulah ada yang memandang dari dua belah pihak. Menyatakan bahwa Hadis ini Dhaif karena terdapat rawi yang dinyatakan Laysa bi Tsiqah oleh Yahya bin Ma’in, misalnya, dengan mengabaikan Ibn Hibban yang memasukkan rawi dimaksud dalam daftar tsiqah, tentu jauh dari jalur yang tepat. Terlebih, ini dilakukan oleh peneliti modern yang tidak bergelar muhaddis, hanya sebagai kritikus yang mestinya hanya mengikuti dari apa yang dikutip dari para naqid dalam melakukan studi kritis.
Kedua, kualitas para naqid sendiri. Dalam kajian Ilmu Hadis naqid terbagi menjadi tiga, Mutasahil, Mutawassith dan Muta’annit. Mutasahil adalah para naqid yang dinilai gampang menyatakan tsiqah para rawi, kebalikan dari Muta’annit yang rumit dan pelit untuk menyatakan tsiqah pada rawi. Persoalan ini sebenarnya sudah diselesaikan dengan konsep yang ditawarkan, bahwa Muta’annit yang menyatakan jarh perlu dikaji ulang, kabalikan Mutasahil yang menyatakan tsiqah. Akan tetapi, bagaimana pun ini persoalan yang memang harus diakui terjadi perselisihan. Orang yang menilai tsiqah, meski ia sendiri dinilai semberono tetap menjadi pendapat yang tidak bisa diabaikan. Inipun belum melihat kualitas dari naqid itu sendiri.
Ketiga, persoalan rawi yang terjangkit pemikiran bid’ah atau dikenal riwayah al-bida’. Memang ada kriteria untuk menerima hadis dari orang yang dinyatakan terjangkit bid’ah, seperti tidak mengajak-ajak pada kebid’ahan dan menganggap kebohongan sebagai dosa besar dalam keyakinannya. Akan tetapi, justru riwayat dari rawi terindikasi syiah juga ditemukan di kalangan hadis-hadis Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Keempat, menyikapi vonis jarh oleh para naqid pada rawi Dha’if. Banyak ragam lafal jarh yang digunakan oleh naqidin, sehingga menyatukan semua jenis lafal jarh dalam satu tingkatan secara umum jelas di luar jalur yang benar. Ada jenis Dha’if dengan lafal jarh yang ringan, ada pula yang tidak parah dan ada pula yang sangat parah mendekati Mawdhu’. Menolak semuanya, dengan tanpa melihat pemilahan, jelas kekeliruan besar.
Kelima, terkait dengan perbedaan tafsir pada alfazhul-jarh wat-ta’dil. Ketika seorang naqid menyampaikan vonis, misalnya dengan kata shalih, beberapa ulama berikutnya berbeda menyikapinya; termasuk dari hadis berkategori hasan atau shahih. Kenyataannya, terdapat ragam vonis dari para naqid yang masih multitafsir, terutama apakah hadis itu masih bisa dijadikan hujjah atau tidak, masih bisa diperkuat dengan tabi’ (yutâba’) atau syahid (yusyâhad).
Artinya, dalam ilmu hadis terdapat problem tersendiri yang membutuhkan penyelesaian. Hal ini belum pada kajian I’tibar yang mengharuskan para peniliti hadis untuk merangkum dan mengumpulkan hadis-hadis yang sajalan, baik lafal dan maknanya, melalui jalur isnad yang berbeda. Sebab, dalam ilmu hadis juga dikenal dengan penguatan kualitas hadis melalui jalur yang berbeda, sehingga hadis yang awalnya berkualitas Dhaif naik menjadi Hasan li Ghairihi dan yang Hasan menjadi Shahih li Ghairihi.
Dengan demikian, membenturkan konsep fikih dengan satu Hadis yang dinilai Dha’if oleh kritikus hadis, jelas jauh dari hasil kebenaran. Terlebih sejarah juga mengakui bahwa mujtahid pasti muhaddis karena tidak mungkin akan melakukan istinbath al-hukmi tanpa mengetahui hadis. Kemampuan selektifitas hadisnya diakui dan tentu memiliki standart dalam menyeleksi hadis, sementara muhaddis belum tentu faqih. Artinya, para Mujtahid seperti Imam Syafi’i juga memiliki kemampuan dalam al-Jarh wa at-Ta’dil, bahkan melebihi kapasitas kemampuan para naqid yang lahir kemudian.
Seorang mujtahid dalam melakukan kajian tidak hanya melihat dari kualitas dalil saja, melainkan makna tersirat dari sebuah dalil. Konsep tanaqud addalilain justru ditemukan kalangan fuqaha’, berikut penyelesaian dalam istinbath al-hukmi-nya. Dari sudut pemahaman dalil, jelas fuqaha’ adalah orangnya, bukan muhaddis yang konsentrasinya pada penghapalan dan penyeleksian hadis. Terlebih, dalam pandangan fuqaha’, mengamalkan hadis Dha’if jauh lebih baik daripada mendahulukan akal dalam menetapkan hukum.
Dari itulah, kenapa dari kalangan muhaddis justru berada dalam lingkaran madzhab? Mereka lebih memilih mengikuti madzhab tertentu daripada memproklamirkan diri sebagai mujtahid. Ambil contoh, Abu Dawud dan at-Tirmidzi yang memilih untuk mengikuti madzhab Syafi’i, meski hapalan Hadisnnya diakui dengan gelar al-Hafidz. Imam Nawawi juga bermadzhab Syafi’i, meski di bidang Hadis ia tidak diragukan lagi kemampuannya. Ibn Hajar al-‘Asqalani, pakar kritikus rawi juga bermadzhab.
Akan tetapi, vonis dha’if pada suatu hadis oleh kritikus hadis yang mengandung suatu hukum bukan berarti dibiarkan begitu saja, karena kekuatan dalil sebuah konsep fikih tetap menjadi kekuatan tersendiri dalam bangunan hukum fikih. Lantas bagaimana pandangan lebih jauh kalangan fuqaha’ menyikapi hadis Dha’if dalam kaitan sumber dalil hukum bangunan fikihnya? Insya-Allah tulisan berikutnya akan membahas ini, termasuk juga tentang fadha’il a’mal pada hadis-hadis dha’if.