………..
Orang-orang yang sedang menapaki jalan menuju Allah mendapatkan hidayah dengan perantara cahaya-cahaya dari riyâdhah dan mujâhadah, sementara orang-orang yang telah sampai di puncak kewalian memiliki cahaya-cahaya karena menyaksikan Allah. Golongan pertama adalah dimiliki oleh cahaya-cahaya, sedangkan golongan kedua memiliki cahaya-cahaya karena mereka hanyalah milik Allah, bukan milik selain-Nya.
(Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.) (QS. Al-An’am [6]: 91)
Dalam mengomentari kalam hikmah tersebut, Syekh Said Ramadhan al-Buthi memaparkannya dengan singkat tanpa panjang lebar, tidak seperti ketika mengomentari dua kalam hikmah sebelumnya. Karena menurut beliau, kalam hikmah ini dan dua kalam hikmah sebelumnya berada pada topik yang sama yaitu menjelaskan tentang perbedaan kondisi dan fase yang dialami oleh dua golongan tersebut; orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam (al-‘ârifûn) dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah (almahjûbûn).
Maksud dari cahaya-cahaya “tawajjuh” disini adalah cahaya-cahaya yang didapatkan oleh seorang salik dari proses riyâdhah dan mujâhadah yang ia jadikan sebagai perantara untuk berupaya menemukan dan menyaksikan Allah. Misalnya, cahaya hidayah yang dihasilkan dengan cara melihat ciptaan untuk mengetahui siapa penciptanya, “Siapakah yang menciptakan semua ini? Siapa pula yang telah mengatur semua ini sedemikian sempurna dengan tanpa contoh dan bandingannya?” Setelah itu, si salik kemudian sadar bahwa sudah semestinya setiap ciptaan pasti ada yang menciptakan dan Sang Pencipta itu tentu harus sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun. Sehingga pada saat itulah, cahaya-cahaya itu akan menunjukkan salik kepada Allah dan menuntunnya hingga tiba di puncak kewalian.
Allah menciptakan akal untuk manusia agar difungsikan sebagai alat untuk mencoba menemukan dan menyaksikan-Nya di dalam hati mereka ataupun di alam nyata, akan tetapi akal saja tidak cukup. Sebab, akal hanyalah alat yang menjalankan proses berfikir, sedangkan yang mengoprasikannya adalah manusia, pemilik akal, yang sering salah dalam segala hal, baik dalam cara berfikir ataupun dalam bertindak. Maka dari itu, akal saja tidak cukup, harus disertai dengan ilmu Mantik yang menuntun manusia untuk berfikir dan menyimpulkan secara tepat dan benar dan harus disertai dengan ilmu-ilmu syariat, baik dari al-Quran ataupun Hadis, yang mengawal proses berfikir itu agar tidak melenceng dari lintasan-lintasan syariat di luar nalar (akal).
Sedangkan yang dimaksud dengan cahaya-cahaya “muwâjahah” adalah cahaya-cahaya yang muncul dari hati orang-orang yang telah berpijak di puncak kewalian itu sendiri setelah menemukan dan menyaksikan Allah (tajalliyât). Artinya, dalam kondisi semacam ini, mereka benar-benar tenggelam dalam samudera maqam fana’. Pandangan mereka terhadap segala sesuatu selain Allah menjadi kosong dan sirna, bahkan mereka kehilangan naluri kemanusiaan serta perasaan. Jadi, yang terlihat saat itu bagi mereka hanyalah Allah. Dari proses inilah, dari dalam diri mereka kemudian terpancar cahaya-cahaya ilahi akibat sangatnya dekat dengan Allah. Beda halnya dengan golongan sebelumnya yang masih berada dalam kegelapan kebingungan dan berupaya menemukan Allah dalam kegalapan itu dengan susah payah mencari cahaya sebagai perantara.
Dengan demikian, semakin gamblang bahwa Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari kembali mengungkit nampaknya perbedaan dan jarak antara dua fase tersebut dengan menyampaikan kalam hikmah di atas. Dan dengan keterangan ini pula, semakin terang bahwa golongan pertama adalah orangorang yang dimiliki cahaya-cahaya, dalam artian diperbudak oleh cahayacahaya karena susah payah mereka dalam memperolehnya. Sedangkan golongan kedua, merekalah yang memiliki cahaya-cahaya, dengan artian cahaya-cahaya itu adalah anugerah bagi mereka dari Allah, karena mereka hanyalah milik Allah, bukan milik selain-Nya.
Adapun petikan QS. Al-An’am [6]: 91 dimaksudkan untuk memperkuat kalam hikmah tersebut dengan aspek teologi yang terkandung di dalamnya yaitu semakin jelasnya keesaan Allah. Golongan kedua yang berada pada maqam haqqul-yaqîn dan tenggelam dalam maqam fana’ memandang kosong segala sesuatu selain Allah serta menganggapnya sebagai permainan dan kesesatan belaka, yang mana kedua sifat ini (permainan dan kesesatan) merupakan karakter dari orang-orang yang terhijabi (al-mahjûbîn). Oleh karena itu, arti paling tepat yang dimaksudkan dari petikan QS. Al-An’am [6]: 91 adalah “Katakanlah, “Menghadaplah kepada Allah, jangan kepada cahaya-cahaya atau sesuatu selain Allah!” Wallâhu A’lam!
Diasuh oleh: KH. Hasbulloh Mun’im Kholili Pembina Pengajian IASS (Ikatan Alumni Santri Sidogiri)