لَا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضورِكَ مَعَ اللهِ فيهِ. لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجودِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلتِكَ في وُجودِ ذِكْرِهِ. فَعَسى أَنْ يَرْفَعَكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجودِ غَفْلةٍ إلى ذِكْرٍ مَعَ وُجودِ يَقَظَةٍ. وَمِنْ ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ يَقَظَةٍ إلى ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ حُضورٍ. وَمِنْ ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ حُضورٍ إلى ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ غَيْبَةٍ عَمّا سِوَى المَذْكورِ. (وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيز)
“Jangan engkau tinggalkan berzikir kepada Allah sebab jiwamu belum bisa hadir bersama-Nya. Karena kealpaamu yang tidak disertai zikir, jauh lebih parah dari pada kealpaan yang disertai zikir. Boleh jadi, Allah akan mengangkat derajatmu dari zikir dengan kealpaan (ghaflah), menuju zikir dengan kesadaran (yaqazhah). Dari zikir dengan kesadaran, menuju zikir dengan hadirnya jiwa (hudhur). Lalu menuju zikir yang tiada hadir selain Dzat al-Madzkur (Allah).”
Yang dimaksud oleh Syekh Ibnu Athaillah dengan kara ‘zikir’ di dalam kalam hikmahnya di atas, adalah sebagaimana kata ‘zikir’ yang banyak disebutkan di dalam al-Quran, di mana kita sangat dianjurkan untuk mendawami-nya. Yaitu aktifitas ruhaniyah yang menjadikan seseorang tidak alpa kepada Allah. Hatinya selalu berinteraksi dengan Dzat Yang Mahagaib. Allah berfirman di dalam al-Quran:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
‘’Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (QS. Al-A’raf [7]: 205)
Namun demikian, zikir hati (ingat kepada Allah) sulit terealisasi tanpa melalui zikir lisan (membaca zikir) terlebih dahulu. Meski tidak semua orang yang lisannya berzikir, hatinya juga ingat kepada Sang Khalik. Karena dengan beragam situasi dan kondisi, banyak ditemukan seorang hamba yang lisannya lincah menyebut nama Allah, tapi hatinya terlena dengan keindahan fana. Lisannya berzikir di dalam satu dimensi. Tapi hatinya terbuai di dalam dimensi lain.
Apabila kita mengalami kondisi seperti ini, maka apa yang harus kita lakukan? Di sinilah Syekh Ibnu Athaillah memberikan pengarahan. “Jangan engkau tinggalkan berzikir kepada Allah karena jiwamu belum bisa hadir bersama-Nya. Karena kealpaamu yang tidak disertai zikir, jauh lebih parah dari pada kealpaan yang disertai zikir.”
Mengapa tetap berzikir dengan kealpaan lebih baik dari pada meninggalkannya? Setidaknya ada tiga alasan yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Zaruk, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ramadan al-Buthi dalam kitabnya, al-Hikam al-Athaiyah Syarhun wa Tahlilun.
Pertama, dengan berzikir lisan, setidaknya seorang hamba masih terkoneksi kepada Allah, meski tidak seutuhnya. Berbeda ketika seorang hamba lalai dalam keadaan tidak berzikir lisan, maka kealpaannya adalah total.
Kedua, dengan berzikir lisan, seorang hamba telah menghiasi raganya dengan perhiasan ibadah, meski ibadah tersebut belum tenggelam ke dalam jiwa.
Ketiga, dengan berzikir lisan, setidaknya dapat menstimulus jiwa agar ikut berzikir kepada Allah. Lisan yang mengucapkan, telinga yang mendengarkan, lalu merangsang dan menjalar kepada anggota lain.
Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Rasulullah kepada salah satu shahabatnya. Suatu hari, salah seorang shahabat datang menyampaikan perihal agama kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sungguh syariat agama ini sudah sangat banyak. Maka kabarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa menguatkan aku,” pinta shahabat tadi. Maka Rasulullah pun menjawab. “Selalu basahilah bibirmu dengan zikir kepada Allah.”
Pada tahapan selanjutnya, dengan tetap sabar berzikir dengan lisan, meski hati belum bisa hadir seutuhnya, maka sangat besar harapan, kerasnya kealpaan jiwa akan hancur akibat keistikamahan zikir lisan.
Ketika seorang hamba telah istikamah dengan zikir lisan dalam kealpaan (ghaflah), lalu dia mendapatkan anugerah dari Allah dengan zikir lisan dalam keadaan sadar (yaqazhah), maka akan sangat besar kemungkinan Allah akan terus menaikkan derajatnya, dengan maunah-Nya, menjadi orang yang bisa berzikir serta menghadirkan jiwa raganya bersama Allah (hudhur).
Dari sini, terkadang kita masih mendengar seorang hamba mengeluhkan apa yang dia rasakan. “Saya sudah bisa berkonsentrasi dalam zikir. Lisan mantap melafalkan. Hati pun mengerti dan paham terhadap makna yang diucapkan. Akan tetapi, sampai saat ini saya belum bisa merasakan nikmatnya zikir.”
Apabila kita menemukan fenomena sedemikian, maka bisa dipastikan hamba tadi masih dalam tingkatan yaqadhah, belum pada tingkatan hudhur. Maka bertahan dan terus meningkatkan konsentrasi serta kesabaran, akan memudahkannya untuk menghadirkan segenap jiwa raga keharibaan Allah dalam berzikir.
Dan ketika lisan tidak hanya berucap. Hati tidak hanya mengeja makna kata per kata. Melainkan zikir yang diucapkan telah menumbuhkan rasa cinta, takut, segan, pengagungan serta beragam rasa yang sulit diungkapkan. Berzikir serasa membawa kita ke dunia fantasi dengan Allah sebagai fokus utama. Tak ada lagi yang ada selain Allah Yang Mahaada. Maka saat itulah puncak zikir seorang hamba kepada tuhannya. Menghadirkan seluruh milik kepada Dzat Yang Satu.
Itulah yang bisa kita pahami dari akhir kalam hikmah Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Boleh jadi, Allah akan mengangkat derajatmu dari zikir dengan kealpaan, menuju zikir dengan kesadaran. Dari zikir dengan kesadaran, menuju zikir dengan hadirnya jiwa. Lalu menuju zikir yang tiada hadir selain Dzat al-Madhkur (Allah).” Semoga bermanfaat.
Baca juga: Polemik Bendera HTI