Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran Kerajaan Sunda Galuh berdiri pada tahun 1030-1579 M. di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.

Membicarakan Kerajaan Pajajaran pastilah tidak akan lepas dari nama Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.

Prabu Siliwangi adalah putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, ia dilahirkan pada tahun 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521).

Dari sudut pandang agama Hindu, Prabu siliwangi adalah tokoh yang berjasa mengembangkan Hindu di Jawa Barat, Khususnya Sunda. Pajajaran menjadi terkenal saat Prabu Siliwangi diangkat sebagai raja. Selama lebih dari 500 tahun, Pakuan Pajajaran berhasil menjaga ajaran Hindu tetap hidup di tatar Sunda. Dan tentu saja puncaknya, di bawah kuasa Prabu Siliwangi Pajajaran menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar di barat pulau Jawa. Namun besarnya pengaruh Hindu yang disebarkan Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak bertahan lama. Itu terbukti banyak penerus Prabu Siliwangi gagal mewariskan keyakinan Hindu kepada generasi setelahnya, dua anaknya yaitu Raden Walasungsang dan Nyai Rara Santang menjadi penganut Islam yang taat dan cucunya menjadi salah satu tokoh Wali Songo.

Prabu Siliwangi jatuh hati.

Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedheng Tapa, Nyai Subang Larang. Ki Gedheng Tapa sendiri adalah seorang penguasa Amparan Jati, Cirebon. Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi harus memenuhi beberapa syarat yang diberikan oleh guru sang calon istri, yakni Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Pertama, Subang Larang harus menjadi permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Kedua, ia diperbolehkan tetap menganut agama Islam sebagai kepercayaannya karena Subang Larang merupakan penganut Islam yang taat dan murid kesayangan Syaikh Hasanuddin. Prabu Siliwangi menyanggupi persyaratan yang diajukan sang Syaikh, sehingga resepsi pernikahan dilangsungkan dengan segera .

Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Subang Larang itu lahirlah tiga anak, yaitu Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang). Ketiganya dibesarkan dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda dari orang tuanya. Sang ibu dengan Islamnya dan sang ayah dengan Hindunya. Meski Islam telah diperkenalkan di kerajaannya, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat.

Putra sulung Nyai Subang Larang, Prabu Walasungsang ditetapkan sebagai putra mahkota, namun tak lama setelah itu, sang Ibu meninggal dunia. Secara mengejutkan Prabu Walasunggang memutuskan untuk meninggalkan istana. Ia pergi dalam sebuah pengembaraan mendalami agama Islam.

Kepergian Walasungsang itu membuat gempar seisi istana. Bagaimana tidak, putra tertua yang telah ditunjuk meneruskan Pajajaran memilih untuk keluar istana. Rara Santang yang dekat dengan kakaknya itu juga merasa sangat kehilangan. Tidak lama ia pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari Walasungsang. Melepaskan seluruh kemewahan istana yang selama ini didapatkan.

Pada mulanya Rara Santang pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Di sana ia bertemu dengan Nyai Indang Saketi, dia menyarankan agar Rara Santang menemui Ki Ajar Saketi di Argaliwung, setelah bertemu, Ki Ajar Saketi menyuruh Rara Santang pergi ke Gunung Mara Api (Marapi) di Ciamis. Di sanalah Rara Santang bertemu sang kakak yang ternyata sudah menikah dengan penduduk setempat, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon.

Tiba di Amparan Jati, mereka disambut langsung oleh penguasa di sana, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah kakek Rara Santang dan Walasungsang sendiri. Amparan Jati saat itu telah menjadi wilayah penyebaran Islam pertama di tatar Sunda.

Di sana, adik-kakak itu diperkenalkan kepada Syaikh Datuk Kahfi, penyebar Islam pertama di Sunda. Keduanya pun diangkat menjadi murid sang ulama dan mempelajari lebih dalam tentang agama Islam. Syaikh Datuk Kahfi lalu memberi Walasungsang gelar Ki Somadullah, dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Dirasa mampu, Ki Somadullah oleh gurunya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan Islam.

Setelah berhasil membangun Kebon Pasisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syaikh Datuk Kahfi pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun mengikuti saran gurunya tersebut. Di Tanah Suci, keduanya menetap di rumah Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi.

Ketika sedang melangsungkan ibadah di Makkah ini, Syarifah Mudaim bertemu dengan jodohnya yaitu Syarif Abdullah Maulana Huda (menurut salah satu versi). Bersama kakaknya, Ki Shomadullah, dibawalah Syarifah Mudaim menghadap Maulana Huda. Sang syarif langsung jatuh hati, dan segera meminang sang gadis, Syarifah Mudaim menerima lamaran itu, dengan syarat bahwa jika dari pernikahannya menurunkan anak lelaki maka dia akan dikirimkan ke tanah leluhurnya untuk menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda.

Setelah pernikahannya, Syarifah Mudaim ikut Abdullah Maulana Huda ke negaranya. Sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati untuk melanjutkan dakwahnya. Seperti diketahui dari pernikahannya itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Sesuai kesepakatan, setelah menginjak usia yang cukup untuk menyebarkan ilmu agama Syarif Hidayatullah meninggalkan kedua orang tuanya untuk menyebarkan Islam di Tatar Sunda yang di kemudian hari, ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, wali penyebar Islam terbesar di Jawa Barat.

Fauzan Imron/sidogiri

Spread the love