Para salafus shalih sangat menjaga etika dalam menyikapi perbedaan pendapat. Tidak ada rasa ingin menfitnah sesama muslim terkait pendapat dan pemikirannya. Bahkan para salafus shalih tersebut menjadi teladan dalam rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Fenomena ini berbanding terbalik dengan sikap sebagian kita yang begitu fanatik terhadap pendapat tertentu dan menolak pendapat yang berbeda.

Sayyidina Ali ketika menjabat sebagai Khalifah berhadapan dengan kaum Khawarij. Kelompok itu bukan hanya sesat, tetapi juga brutal dengan menghalalkan perampokan dan pembunuhan terhadap umat Islam yang berbeda paham. Kelompok Khawarij jelas telah memenuhi syarat-syarat untuk diperangi, akan tetapi Sayyidina Ali tidak serta merta memerangi mereka. Beliau masih menasihati mereka, memberi kesempatan mereka untuk bertobat. Sisa-sisa dari kelompok itu yang kemudian diperangi oleh Sayyidina Ali karena tidak mau berhenti berbuat kerusakan, tidak mau bertobat dan terus melawan pemerintah.

Khalifah Umar bin Abdul-Aziz juga memeliki sikap yang sama terkait dengan aliran sesat. Pada tahun 100 H., di Madinah muncul sekelompok aliran sesat yang dipimpin oleh Syaudzab. Maka Umar bin Abdul-Aziz menginstruksikan kepada gubernurnya di Madinah untuk membiarkan mereka meyakini apapun, sepanjang keyakinan mereka tidak mendorong mereka pada tindakan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Bahkan Umar bin Abdul-Aziz mendakwahi Syaudzab melalui jalur debat ilmiah. Beliau meminta Syaudzab mengirimkan orang terbaiknya guna berdebat mengenai akidahnya. Dua orang terbaik dikirim dan berdebat dengan Umar bin Abdul-Aziz. Keduanya kalah, salah satunya tobat, sedangkan yang lain tetap sesat. (Durusut-Târîkh al-Islâmî, 2/66)

Dalam konteks ini, barangkali kita bisa merujuk pada alasan mengapa Nabi tidak memerangi orang-orang munafik. Orang-orang munafik jelas merupakan musuh-musuh Islam yang berada di dalam lingkungan umat Islam, berkumpul dan berbaur bersama mereka. Para sahabat tidak tahu siapa saja orang-orang munafik yang berkumpul bersama mereka, namun Nabi e mengetahui identitas mereka satu persatu.

Lalu kenapa Rasul saw tidak memerintahkan para sahabat beliau untuk memerangi orang-orang munafik itu, padahal beliau mengetahui identitas masing-masing dari mereka. Ketika ditanya mengenai hal ini, Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad mengajak kaum untuk berperang, tapi setelah dia menang, dia malah memerangi orang-orang yang telah membantunya itu.” (Subulul-Hudâ war-Rasyâd, 5/467). Dalam riwayat lain Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin ada orang mengatakan bahwa Muhammad telah memerangi para sahabatnya sendiri.” (Al-Bidâyah wan Nihâyah, 5/25).

Maka umat Islam yang memiliki faham berbeda dengan Ahlusunah wal Jamaah selama tidak berbuat kerusakan tidak boleh diperangi dan merusak properti mereka. Malah hal itu akan menimbulkan mafsadah lebih besar; pertama, umat Islam Ahlusunah wal Jamaah Indonesia akan dinilai dunia sebagai kelompok separatis, tidak toleran, dan memerangi saudaranya sendiri. Kedua, akan ada simpati yang luar biasa mengalir deras kepada aliran sesat yang kita serang, dan itu bisa sangat memperkuat mereka secara mental, materi, sekaligus pengikut. Ketiga, akan menumbuhkan perseteruan yang berkepanjangan dari generasi ke generasi.

Kisah-kisah di atas adalah perbedaan dalam ranah akidah. Sedangkan dalam khilafiyah ijtihadiyah Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku tidak menyukai melainkan ada khilafiyah di kalangan para sahabat Rasulullah. Karena kalau semua mereka memiliki satu pendapat, sungguh akan menyulitkan umat Islam yang datang setelah mereka. Para sahabat merupakan panutan, jika seseorang mengambil pendapat mereka, maka terdapat kelapangan di dalamnya.”

Dikisahkan juga dalam biografi Imam Malik bahwa Abu Ja’far al-Mansur bermusyawarah dengannya agar menjadikan kitab Muwatha’ sebagai panduan masyarakat dan meninggalkan ijtihad dan pandangan selain dari kitab Muwatha’. Imam Malik menolaknya seraya berkata; “Wahai Amir Mukminin jangan lakukan itu, karena sesungguhnya mereka telah memiliki pendapat, dan mendengar hadis, meriwayatkan riwayat, setiap kaum memiliki pandangan masing-masing, mereka mengamalkannya. Maka memaksakan pendapat kepada mereka adalah keliru, biarkanlah mereka dan biarkan pula setiap daerah untuk diri mereka.

Pembahasan ini berkembang lebih meluas; bahwa imam-imam tidak mencela orang yang berbeda dengan mereka, dan tidak sembrono menuduh bidah, atau keluar dari kebenaran. Saling menghormati perbedaan yang terjadi dalam ranah ijtihad. Imam Nawawi berkata, “Para ulama hanya mengingkari persoalan yang telah jelas diingkari, adapun persoalan khilafiyah, tidak boleh saling mengingkari, karena salah satu dua mazhab, keduanya mendapat pahala.

Saling hormat sesama imam madzhab betul-betul dicontohkan secara gamblang kepada kita dalam kisah hidup mereka. Imam Syafi’i berkata, “Aku membuka lembaran kertas di depan Imam Malik dengan perlahan-lahan agar Imam Malik tidak mendengarnya karena begitu besar kewibawaannya. Imam Syafi’i shalat subuh di dekat makam Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membaca qunut subuh karena menghormati Abu Hanifah. Bukan hanya menghormati sesama mereka ketika hidup, namun juga setelah wafat.

Spread the love