Dialog ilmiah dan perdebatan sebetulnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Setiap kali ada perbedaan pendapat dalam ranah yang cukup krusial, perdebatan dan adu argumen hampir tidak dapat dihindari. Untuk menjaga dialog semacam ini tetap berada dalam ranah ilmiah dan tidak lepas kontrol, para ulama kemudian berinisiatif untuk meletakkan beberapa asas dan aturan yang diramu dalam ilmu jadal. Mengenai hal ini, Ibnu Khaldun berkata dalam kitab Muqaddimah-nya, “Jadal adalah mengetahui adab munazharah (adu argumen) yang terjadi antara para pemuka mazhab Fikih dan kelompok yang lain. Ketika ruang perdebatan dalam membantah dan menerima itu cukup luas dan Masing-masing pihak memiliki keleluasaan dalam menjawab dan berargumentasi yang mungkin benar atau mungkin salah. Oleh karena itu, para imam memandang perlu untuk menyusun beberapa adab dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak dalam membantah dan menerima, beserta dengan keadaan pihak yang berargumentasi dan penjawab.
Dalam kitab al-Inshâf-nya, Syekh Dr. Umar Abdullah Kamil menyebutkan empat tujuan dalam berdebat. Pertama, menegakkan hujjah, menolak syubhat (kerancuan pemikiran), dan kesalahan dari suatu pernyataan atau pendapat, serta mencapai kebenaran melalui adu argumentasi dengan cara yang benar. Kedua, berdakwah. Sebab, dialog dengan kepala dingin merupakan salah satu kunci untuk mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, Allah berfirman: ‘Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.’ (QS. An-Nahl [16]: 125)
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Alusi menuturkan bahwa ayat ini mengisyaratkan tiga model metode dalam berdakwah sesuai tuntutan keadaan, dan salah satunya adalah berdebat dengan cara yang baik. Debat dengan cara terbaik menurut beliau yaitu dengan sikap lemah lembut, memilih cara termudah, dan menggunakan beberapa premis yang masyhur untuk menenangkan gejolak pemikiran lawan bicara, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim.
Ketiga, memperdekat beberapa sudut pandang dengan terjadinya dialog ilmiah, ranah perbedaan dapat dipersempit sampai pada taraf terkecil sehingga bisa memunculkan solusi yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Sebab, perbedaan pendapat sering kali berawal dari pemahaman yang kurang lengkap mengenai pokok permasalahan.
Keempat, mengungkap syubuhat dan membantah kebatilan, sebagaimana firman Allah (QS. Al-An’am [6]: 55): ‘Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran secara terperinci (agar terlihat jelas jalan kebenaran) dan agar terlihat jelas (pula) jalan para pendurhaka.’
Prinsip-prinsip utama yang harus dimiliki dalam perdebatan juga ada empat. Pertama, perdebatan tidak boleh keluar dari tujuan memperoleh kebenaran. Dengan prinsip ini, fanatisme buta dan kepentingan pribadi tidak boleh diberi tempat sedikit pun dalam perdebatan. Mengenai ciri-ciri orang yang memang bertujuan untuk mencari kebenaran, Imam al-Ghazali berkata dalam kitab Ihyâ’-nya, ‘Dalam mencari kebenaran, ia akan bersikap sebagaimana seseorang yang mencari barang hilang. Ia tidak akan pilih-pilih, apakah ia yang menemukannya sendiri ataukah orang lain yang membantu menemukannya. Ia juga akan memandangnya sebagai penolong, bukan sebagai musuh, dan ia akan berterima kasih jika ia diberitahu kesalahannya dan ditunjukkan pada perkara yang benar.’
Kedua, membatasi arah dan ruang lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan. Tanpa prinsip ini, suatu perdebatan tentu hanya akan menguras tenaga dan pikiran, serta membuang-buang waktu saja tanpa hasil yang jelas dan maksimal. Sebab itulah, dalam forum bahtsul-masail di kalangan pesantren, suatu permasalahan yang hendak dimusyawarahkan akan ditashawwuri (diperjelas poin dan arah permasalahannya) terlebih dahulu sebelum didiskusikan bersama.
Ketiga, sumber rujukan harus disepakati bersama. Rujukan utama bagi seorang muslim tentunya adalah Al-Quran dan Hadis, beserta aturan dasar dalam memahaminya, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Menyepakati landasan pemikiran dan argumentasi sebelum memulai dialog ilmiah merupakan faktor terpenting untuk mendapatkan hasil diskusi yang matang. Jika sejak awal, landasannya belum disepakati, isi perdebatan akan terus berputar-putar tanpa arah. Dengan pertimbangan inilah, para ulama yang berdebat dengan orang kafir akan lebih cenderung menggunakan dalil akli daripada naqli, atau bahkan terkadang memakai kitab suci mereka sendiri. Bahkan, sebagian ulama sering juga berargumentasi dengan pernyataan tokoh yang dijadikan rujukan oleh lawan debatnya. Metode semacam ini sangat berguna jika lawan debatnya sangat fanatik dan mengagumi tokoh tersebut. Konon, kelompok Syiah sulit diajak kembali ke Ahlusunah wal Jamaah karena mereka memiliki hadis dengan jalur periwayatan versi mereka sendiri yang tidak semuanya kita akui, sedangkan hadis-hadis yang berasal dari selain Syiah tidak mereka akui kecuali segelintir riwayat yang melalui orang-orang tertentu.
Keempat, tidak mendiskusikan masalah furuiyah sebelum menyepakati ushuliyah-nya. Hal ini sebetulnya diperlukan untuk mengidentifikasi seberapa jauh perbedaan sudut pandang yang melatarbelakangi permasalahan yang diperdebatkan. Misalnya, perdebatan yang melibatkan dua penganut mazhab Fikih yang berbeda mengenai suatu permasalahan furuiyah tentu tidak akan menemukan titik temu sebelum mereka mengetahui perbedaan ushuliah dan manhaj yang melandasi kerangka mazhab masing-masing.
Walhasil, perdebatan yang sehat merupakan salah satu cara untuk memperoleh kebenaran dengan bobot ilmiah yang cukup tinggi. Sebaliknya, jika perdebatan sudah dinilai tidak sehat akibat mengabaikan adab, prinsip, dan aturan yang seharusnya diikuti, hasil akhirnya seringkali menimbulkan kegaduhan. Konsekuensinya, perbedaan pendapat yang awalnya hanya berada di ranah ilmiah akan memicu aksi anarkis dan sikap-sikap jahiliah yang pastinya jauh dari kata ilmiah.
Moh. Zaki Ghufron/sidogiri