Di tengah situasi pandemi Covid-19, muncul wacana atau pendapat bahwa ibadah kurban diganti dengan uang, senilai hewan kurban. Tidak hanya alasan pandemi, efisiensi dan kebutuhan penerima kurban yang beragam juga menjadi landasan ide ini. Bagaimana pandangan ulama, soal kurban diganti dengan uang?

Idul Adha identik dengan kurban, karena di hari raya Idul Adha, umat Islam disunahkan untuk menyembelih hewan kurban. Waktunya, sejak tanggal 10 sampai tanggal 13 Dzil Hijjah; hari raya dan tasyrik.

Materi kurban adalah hewan ternak, yang jenisnya bisa kambing, sapi atau kerbau, dan unta. Al-Mahalli dalam al-Minhâj-nya menyatakan:

(ﻭَﻻَ ﺗَﺼِﺢُّ) ﺃَﻱِ اﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَّﺔُ (ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺇِﺑِﻞٍ ﻭَﺑَﻘَﺮٍ) ﻋﺮَاﺏٍ ﺃَﻭْ ﺟَﻮَاﻣِﻴْﺲَ (ﻭَﻏَﻨَﻢٍ) ﺿَﺄْﻥٍ ﺃَﻭْ ﻣَﻌْﺰٍ ﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ {ﻟِﻴَﺬْﻛُﺮُﻭا اﺳْﻢَ اﻟﻠﻪِ ﻋَﻠﻰَ ﻣَﺎ ﺭَﺯَﻗَﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻬِﻴْﻤَﺔِ اﻷْﻧْﻌَﺎﻡِ} [ اﻟﺤﺞ: 34] 

ﻭَﻷِﻧَّﻬَﺎ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓٌ ﻣُﺘَﻌَﻠِّﻘَﺔٌ ﺑِﺎﻟْﺤَﻴَﻮَاﻥِ ﻓَﺎﺧْﺘَﺼَّﺖْ ﺑِﺎﻷْﻧْﻌَﺎﻡِ ﻛَﺎﻟﺰَّﻛَﺎﺓِ 

“Tidak sah berkurban (kecuali berupa unta dan sapi) lembu atau kerbau dan (kambing), domba atau kambing, berdasakan firman Allah, “…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.” dan karena kurban merupakan ibadah yang berhubungan dengan hewan, sehingga tertentu pada hewan ternak, sebagaimana zakat.”

Termasuk juga, Syaikh an-Nawawi al-Banteni menjelaskan dalam karyanya, Riyâdhul Badî’ah dengan menulis:

(وَلَا تَصِحُّ التَّضْحِيَّةُ إِلَّا بِالْأَنْعَامِ) وَهِيَ الْإِبِلُ وَالْبَقَرُ الْأَهْلِيَّةُ وَالْغَنَمُ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْحَيَوَانِ فَاخْتَصَّتْ بِالنَّعَمِ كَالزَّكَاةِ فَلَا تُجْزِءُ بِغَيْرِهَا

“Kurban tidak sah kecuali dengan hewan ternak, yaitu unta, sapi atau kerbau, dan kambing. Hal ini karena kurban itu terkait dengan hewan maka dikhususkan dengan ternak sama seperti zakat, sehingga tidak sah selain dengan hewan ternak.”

Dengan ketentuan ini, sebenarnya sudah jelas bahwa ibadah kurban tidak bisa diganti dengan jenis lain, termasuk uang yang senilai hewan kurban. Terlebih, dalam ibadah kurban ada ketentuan bahwa hewan kurban disyaratkan harus cukup umur, melalui dua hal, salah satu gigi ada yang tanggal, sebagai tanda berganti gigi atau usia cukup. Hewan yang tidak memenuhi syarat ini, tentu tak bisa dibuat hewan kurban.

Dengan demikian, kurban yang memiliki makna ibadah berupa menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu, tentunya tak bisa diganti dengan selain hewan. Tidak boleh diganti dengan perantara lain, seperti uang atau sejenisnya seharga hewan kurban.

Hanya kemudian, di dalam bab ‘Aqîqah, ada ungkapan menyembelih hewan akikah lebih afdhal daripada bersedekah senilai hewan akikah  (wa dzabhuhâ afdhalu minat-tashadduq bi qîmatihâ). Hal ini disinggung oleh al-Mahalli dalam al-Minhâj-nya.

Pernyataan al-Mahalli ini kemudian dijelaskan oleh Imam ar-Ramli dalam Nihâyah al-Muhtâj-nya:

(ﻗَﻮْﻟُﻪُ: ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦَ اﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕِ ﺑِﻘِﻴْﻤَﺘِﻬَﺎ) ﻭَﻗَﻀِﻴَّﺔُ ﻫَﺬَا ﺃَﻥَّ اﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕِ ﺑِﻘِﻴْﻤَﺘِﻬَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻋَﻘِﻴْﻘَﺔً، ﻭَﻗَﺪْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻪُ ﻣَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻣِﻦْ ﺃَﻥَّ ﺃَﻗَﻞَّ ﻣَﺎ ﻳُﺠْﺰِﺉُ ﻋَﻦِ اﻟﺬَّﻛَﺮِ ﺷَﺎﺓٌ. ﻭَﻗَﻮْﻝُ اﻟْﻤَﺤَﻠِّﻲ ﻳَﺤْﺼُﻞُ ﺃَﺻْﻞُ اﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻓِﻲْ ﻋَﻘِﻴْﻘَﺔِ اﻟﺬَّﻛَﺮِ ﺑِﺸَﺎﺓٍ ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﻛَﺄَﺻْﻠِﻬَﺎ، ﻓَﻠَﻌَﻞَّ اﻟْﻤُﺮَاﺩَ ﺃَﻥَّ ﺛَﻮَاﺏَ اﻟﺬَّﺑْﺢِ ﻟِﻠْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔِ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦَ اﻟﺘَّﺼَﺪُّﻕِ ﺑِﻘِﻴْﻤَﺘِﻬَﺎ

(Pernyataan al-Mahalli ‘Lebih utama dibanding bersedekah senilai akikah’). Penjelasan ini berarti, bersedekah senilai akikah bakal menjadi akikah. Ini berbeda dengan apa akan datang, berupa ketentuan paling sedikit akikah untuk laki-laki adalah satu kambing.

Pendapat al-Mahalli menyebut, asal kesunnahan bisa hasil dalam akikah lelaki adalah dengan satu kambing, sebagaimana dalam kitab ar-Raudhah, seperti kitab aslinya. Bisa jadi yang dimaksud adalah bahwa pahala menyembelih untuk akikah lebih utama dibanding dengan bersedekah senilai akikah.)

Ketika ada kata afdhal dalam pendapat al-Mahalli, seolah menjadi pilihan boleh dilakukan salah satunya, hanya menyembelih akikah lebih utama, meskipun berkaitan dengan pahala, sebagaimana penjelasan ar-Ramli. Namun kemudian, apakah, rumusan al-Mahalli ini bisa berlaku pada ibadah kurban, mengingat antara akikah dan kurban memiliki banyak persamaan?

Tidak begitu juga, mengingat dalam al-Quran di atas demikian jelas disebutkan min bahîmah al-an’âm, yang artinya hewan ternak. Ibadah kurban dilaksanakan dengan menyembelih hewan dengan ketentuan yang ada, yang tak bisa diganti dengan yang lain.

Sebagaimana diketahui, dalil dan pandangan ulama atas ke-sah-an kurban dengan hewan betina didasarkan pada sebuah hadis dari Ummu Kurzin bahwa Rasulullah bersabda terkait ketentuan akikah:

عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذكْرَانًا كُنَّ أَوْ إِنَاثًا 

”Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan satu kambing. Tidak ada masalah hewan akikah itu jantan atau betina” (HR. Ahmad 27900 dan An-Nasa’i 4218).

Berdasarkan hadis ini, Imam asy-Syairazi dalam al-Muhadzdzab-nya mengatakan:

ﻭَﺇِﺫَا ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲ اﻟْﻌَﻘِﻴْﻘَﺔِ ﺑِﻬَﺬَا اﻟْﺨَﺒَﺮِ ﺩَﻝَّ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻮَاﺯِﻩِ ﻓِﻲ اﻻْﺿْﺤِﻴَّﺔِ ﻭَﻻِﻥَّ ﻟَﺤْﻢَ اﻟﺬَّﻛَﺮِ ﺃَﻃْﻴَﺐُ ﻭَﻟَﺤْﻢَ اﻻْﻧْﺜَﻰ ﺃَﺭْﻃَﺐُ

“Jika boleh menggunakan hewan betina dalam akikah berdasarkan hadis ini, berarti menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban, dan karena daging jantan lebih bagus, sedang daging betina lebih lembab” (al-Muhadzdzab 1/74).

Kurban dan akikah memang ada kemiripan, tetapi bukan berarti melalui pendapat dari al-Mahalli di atas, kemudian bisa ditarik langsung bahwa kurban boleh memilih antara menyembelih hewan kurban dan bersedekah senilai hewan kurban, sebagaimana akikah. Bedanya, kurban dengan hewan lebih utama, dibanding dengan menyedekahkan dana senilai hewan kurban. Tentu tak bisa demikian, karena ibadah kurban berkaitan dengan hewan, tidak sekedar sedekah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Nawawi Banten. Wallahu a’lam.

Spread the love