Membahas takdir merupakan hal yang tak ada habisnya, sebagai orang mukallaf, wajib hukumnya meyakini dan beriman bahwa takdir baik dan takdir buruk datangnya dari Allah, sekaligus meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah.

Beriman pada takdir baik dan buruk datangnya dari Allah merupakan rukun iman yang ke enam yang wajib diimani bagi kita, orang mukmin yang mukallaf. Namun, meski setiap perbuatan manusia adalah Allah yang menciptakan bukan berarti manusia majbur dan tidak dapat berbuat apa-apa. Mengapa demikian? karena manusia diberi iradah (keinginan/kehendak oleh Allah) yang bersifat juziyah yang dapat menggunakannya untuk memilih melakukan kebaikan atau keburukan. Sehingga dengan ia menggunakan iradahnya pada kebaikan, berarti ia telah menginginkan kebaikan tersebut, maka akibat yang dihasilkan dari perbuatan baik tersebut ia diberi pahala oleh Allah. Sebaliknya ketiak ia menggunakan iradah tersebut pada perbuatan buruk, berarti ia telah memilih keburukan dan konsekuensinya tentu saja dia disiksa oleh Allah.

Baca Juga: Kupas Tuntas Asal Kata Kafir

Ada juga perbuatan manusia yang bukan atas kehendaknya sendiri, bahkan perbuatan tersebut diluar keinginan, kehendak dan kemampuan manusia itu sendiri, contohnya adalah geraknya tangan karena gemetar, apakah gerak tersebut atas dasar pilihan dan kehendak manusia itu sendiri? tentunya tidak. Inilah yang disebut dengan ith-thirari.

Beda halnya dengan pandangan kaum Qadariyyah yang meyakini bahwa Allah tidak menakdirkan segala sesuatu sejak jaman azali, mereka menganggap Allah mengetahui terjadinya takdir setelah terjadinya sesuatu tersebut. Kaum Qadariyyah ini mengatakan bahwa Allah tidak ikut campur dalam urusan perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang kuasa dan mampu menentukan untuk melangkah, memilih dan berbuat sesuai dengan keinginnya sendiri, tanpa terinvensi oleh takdir Allah.

Sebaliknya, kaum Jabbariyah berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat apa-apa, manusia dibelenggu oleh takdir dan ketentuan Allah. Sehingga dengan pendapat Jabbariyah ini seakan-akan ingin mengatakan bahwa tatkala manusia itu melakukan dosa, maka manusia itu tidak bersalah, sebab ia tidak berdaya dan kuat untuk melawan takdir (berupa melakukan dosa tersebut). Kedua pemahaman ini jelas tertolak, sebab sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa manusia oleh Allah diberi akal, fikiran dan iradah (kehendak), sehingga dengan iradah tersebut yang bersifat ikhtiyariyah manusia dapat memilih perbuatan baik atau buruk dengan konsekuensi dan balasan dari setiap perbuatannya menurut hukum syariat yang telah Allah tetapkan melalui ajaran Nabi Muhammad Saw, namun semua yang terjadi tetap dalam koridor iradahnya Allah.

Baca Juga: Mendakwahi Diri Sendiri

Nah inilah yang dikupas oleh Al-Buthi dalam kitabnya Al-Insan Musayyar am Muaqaddar (Manusia apakah berkehendak sendiri atau diatur oleh Allah?), dalam kitab ini al-Buthi menerangkan tentang Qodo’, Qodar, Ikhtiyar manusia dan hal-hal yang berkaitan.

Juga beliau menjawab syubhat-syubhat yang diutarakan oleh Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah dengan satu ayat yang sangat ringkas

{وَما تَشاؤُونَ إِلاّ أَنْ يَشاءَ اللَّهُ} [الإنسان: 76/30]

Semua yang dipaparkan oleh Al-Buthi mengerucut pada satu kesimpulan, yaitu: semua pekerjaan hamba tidak lepas dari dua perkara, 1. Af’al Al-Jabriyah, yaitu pekerjaan yang tidak ada nilai ikhtiyar sama sekali, hari kelahiran. 2. Af’al Takhyiriyah atau pekerjaan yang ada nilai ikhtiyarnya seperti, Iman dan kufur, makan dan minum, juga contoh-contoh lain yang manusia punya cara memilih tersendiri. Dan dari dua bentuk pekerjaan hamba, baik yang Jabariyah atapun yang Ikhtiyariyah semuanya masuk dalam kehendak Allah.

Wallahu A’lam

Spread the love