Suatu ketika Syuraih, seorang qadhi non Arab menikahi wanita Arab bernama Zainab binti Hudair. Dalam pikiran Syuraih, ia telah menikahi seorang wanita Arab yang paling keras dan paling kaku tabiatnya. Tergambar dalam ingatannya tabiat wanita-wanita Bani Tamim yang dinilai keras hatinya.
Pikiran itu terus menghantuinya, hingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hatinya berkata, “Sebaiknya aku pergauli dulu. Jika aku dapati yang aku suka, aku akan meneruskannya, dan jika aku dapati yang tidak aku suka, aku ceraikan dia.”
Tibalah di hari pernikahannya. Rombongan wanita mengantarkan istrinya dan memasukkannya ke dalam kamar yang ia berada. Syuraih pun berkata, “Wahai fulanah, menurut sunah, ketika seorang wanita masuk menemui suaminya (pertama setelah nikah), suami shalat dua rakaat dan si istri juga shalat.” Syuraih bangkit dan shalat dua rakaat. Saat ia menoleh ke belakang, ternyata istrinya juga ikut shalat. Sehabis shalat, beberapa wanita pengantar tadi menukarkan pakaiannya dengan pakaian tidur yang telah diberi za’faran.
Saat kamar dan rumah sudah sepi, Syuraih menjulurkan tangannya. Tibatiba istrinya berkata, “Tahan dulu!” Dalam pikirannya langsung terbesit, “Malapetaka betul-betul menimpaku.”
Sang istri kemudian mengucapkan tahmid dan shalawat yang ia lanjutkan, “Aku seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak pernah melangkah kecuali untuk perkara yang diridhai Allah, sedangkan engkau pria asing yang aku tidak mengenali perilakumu. Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka, hingga aku akan melakukannya, dan apa yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”
Syuraih pun menyampaikan apa yang ia suka dan yang ia benci. Semuanya ia sampaikan, mulai perbuatan, makanan hingga perkataan yang ia suka dan ia benci. Istrinya pun melanjutkan pertanyaannya, “Siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?” Syuraih menjawab, “Aku seorang qadhi. Aku tidak suka keluargamu berkunjung.”
Malam pertama pun mereka lalui dengan suka duka. Keluarga dari pihak perempuan pun tidak berkujung, hingga sang ibunya berkunjung setelah satu tahun. Ia menanyakan keadaan diri dan istrinya. Setiap setahun sekali ibunya berkunjung. Dua puluh tahun pernikahan mereka dilalui dan Syuraih pun berkata, “Aku hidup bersamanya selama dua puluh tahun, dan aku tidak pernah sekalipun mencela dan memarahinya.”
Setiap orang, pasti ada yang disukai dan ada yang dibencinya, baik tingkah laku, makanan atau barang lainnya. Ketika dihadapkan pada apa yang ia sukai, kebahagiaan tentunya didapatnya. Sebaliknya, saat ia dihadapkan pada apa yang ia benci, rasa marah tentu membakarnya. Ini sifat alami setiap manusia sebagai efek dari dua rasa: suka dan benci.
Hal seperti inilah yang harus dipahami oleh setiap keluarga yang mengidamkan ketenangan, atau dalam bahasa umumnya, sakinah mawaddah wa rahmah. Ketika seorang istri memahami apa yang disukai dan dibenci suami, jelas suami lebih tenang. Demikian pula hal yang sama ketika suami memahami apa yang ada pada istrinya.
Langkah praktis dalam memahami suka dan benci pasangan adalah dengan menanyakan langsung kepadanya, seperti yang dilakukan oleh istri Syuraih di atas. Dengan demikian, bisa diketahui lebih jelas yang kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata. Daftar kesukaan dan kebencian ini menjadi kata kunci dalam mahligai bahagia rumah tangga.
Mengetahui daftar tersebut memang lebih baik jika terjadi di awal pernikahan. Namun demikian, bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan dengan sambil lalu. Dengan maksud lain, sinyal-sinyal suka dan benci pasti akan dipancarkan dalam keseharian saat bergaul oleh pasangan masing-masing. Bisa jadi, sinyal itu terbit dari muka ceria dan masam. Itulah yang harus dipahami oleh setiap pasangan rumah tangga.
Secara umum, yang sering dibicarakan dalam konsep rumah tangga sakinah adalah daftar suka dan benci dari suami dan istri; apa saja yang disukai suami terhadap istrinya, juga sebaliknya. Daftar itu, bisa dijadikan rujukan awal untuk mendeteksi dalam memahami karakter pasangan rumah tangga.
Ambil contoh, hal yang disukai suami paling dominan adalah sifat menerima apa adanya terhadap rezeki yang didapat suami. Suami yang dituntut untuk menafkahi istri dan anak, ia harus bekerja keras. Lelah, bingung dan bahkan sakit terkadang menjadi hal yang pasti baginya. Beban itu menjadi bertambah ketika istri tidak mau menerima apa yang dihasilkan suami. Sebaliknya, suami menjadi bahagia ketika istri memahami keadaan dan kemampuan suami dan menerima apa adanya.
Muka cemberut istri termasuk di antara hal yang dibenci suami. Bisa jadi, istri punya alasan untuk bermuka cemberut, tetapi jika itu dilakukan saat suami dalam keadaan lelah, justru menjadi bumerang dalam rumah tangga. Namun, ceria dalam setiap kondisi tentu menjadi penenang suami. Wajah ceria yang diberikan isteri pada suami akan membuat suami merasa terhibur dan kangen pada sosok istrinya.
Kemudian, sebagai contoh hal yang disukai istri paling dominan adalah suami bertanggung jawab karena suami telah didaulat untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Kepemimpinan yang diharapkan tentunya yang bisa menenteramkan jiwa, baik lahir maupun batinnya. Suami bukan bos dan atasan yang senantiasa memerintah, tetapi memimpin yang berarti mengayomi dan melindungi.
Selebihnya, kesetiaan, sabar dan dan pemaaf menjadi hal yang paling disenangi istri terhadap suaminya. Kecemburuan adalah bumbu dalam cinta yang membutuhkan kesetiaan. Marah dan mudah tersinggung adalah sifat laki-laki yang bisa diredam dengan sikap sabar dan pemaaf. Dari itu, setia, sabar dan pemaaf menjadi harapan terbesar seorang istri dari suami. Sebaliknya, menjadi hal yang tidak disukai istri.
Tentu saja, memahami karakter suka dan benci ini hanya gambaran kecil dari lika-liku rumah tangga. Masih banyak yang harus dipahami oleh setiap pasangan yang menginginkan keluarga sakinah, mawaddad wa rahmah. Terdapat beberapa resep dan teori yang disampaikan oleh banyak kalangan, untuk meraih apa yang diidamkan dalam rumah tangga. Semuanya tinggal dipahami oleh semua pasangan suami-istri.
Namun demikian, bukan berarti menikah dengan bahagia itu sulit. Menikah yang bahagia itu justru mudah. Bukankah realitanya, lebih banyak pasangan yang bisa mempertahankan pernikahan daripada membubarkannya melalui perceraian? Wallahu a’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri