Jika mayoritas umat Islam menganggap perayaan maulid Nabi sebagai bidah hasanah, maka seharusnya orang-orang Salafi-Wahabi menganggapnya sebagai maslahah mursalah. Mereka memang menolak keras keberadaan bidah hasanah. Namun, sebagai gantinya, mereka menyebut hal-hal baik yang tak ada pada masa Nabi sebagai maslahah mursalah.
Perayaan Maulid Nabi yang berisi pembacaan shalawat, sejarah, sanjungan kepada Nabi, bersedekah, ceramah agama, dan semacamnya, jelas-jelas mengandung unsur maslahah yang tidak terbantahkan. Apalagi, jika dikaitkan dengan kecenderungan generasi muda kita yang saat ini begitu semangat merayakan Hari Valentine, Tahun Baru Masehi dan perayaan-perayaan lain yang isinya jelas-jelas negatif. Maka, momen-momen peringatan hari besar Islam menjadi penting, sebagai sarana untuk menggiring naluri mereka agar menjadi lebih islami dan positif.
Mengenai hal itu, perhatikanlah pernyataan dari Syekh Mubassyir ath-Thirazi yang banyak dikutip oleh website-website di Timur Tengah. Beliau adalah ulama kesohor yang menjadi motor perjuangan kaum Muslimin Turkistan melawan penjajahan Rusia:
إنَّ الاِحْتِفَالَ بِذِكْرٰى المَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبًا أسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَّ مِنَ الِاحْتِفَالَاتِ الضَّارَّةِ فِيْ هَذِهِ الأَيَّامِ
“Perayaan Maulid menjadi hal mendasar yang harus dilakukan untuk mengimbangi atau melawan arus perayaan-perayaan negative yang banyak bermunculan pada masa sekarang.”
Sebagai pejuang, Syekh Mubassyir ath-Thirazi, tentu sangat memahami bahwa keterpurukan umat Islam bukan disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan lebih disebabkan oleh faktor internal umat yang mudah terpengaruh dengan budaya-budaya yang diekspor oleh Barat. Betapa banyak perayaan negatif yang ditiru oleh kalangan muda kita dari tradisi orang-orang Barat saat ini, sehingga kecenderungan mereka menjadi lebih mirip dengan Barat ketimbang dengan Islam. Hal ini yang menyebabkan pemuda-pemuda kita menjadi lemah, lambat laun kehilangan jati diri dan militansi keislamannya.
Apakah hanya karena tidak pernah ada pada masa Nabi, lalu kita menutup mata terhadap maslahat besar yang ada pada Maulid Nabi?
Perayaan Maulid Nabi memang tidak ada pada Nabi, meskipun secara tidak langsung beliau telah meletakkan landasan dasarnya melalui sunahnya puasa hari Senin. Perayaan Maulid Nabi mungkin juga belum ada pada masa ulama salaf, di tiga abad pertama. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak bisa dijadikan dalih untuk menolak maulid. Sebab, betapa banyak hal-hal yang tidak ada masa-masa awal Islam, namun semua orang sepakat bahwa hal tersebut merupakan suatu yang baik.
Kalau Maulid Nabi dianggap menyimpang hanya karena alasan tidak ada pada masa generasi salaf, maka kita juga bisa memakai alasan yang sama, dengan menyatakan bahwa penolakan terhadap Maulid Nabi lebih menyimpang lagi karena baru muncul pada generasi akhir.
Beberapa data sejarah menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi kira-kira mulai diselenggarakan oleh umat Islam pada Abad Keenam Hijriah, atau sekitar 800 tahun yang lalu. Menurut Imam Ibnu Katsir, salah satu murid terbaik dari Imam Ibnu Taimiyah, pelopor dari Maulid Nabi adalah Raja Muzhaffaruddin (549-630 H), penguasa Irbil yang dikenal sebagai ipar dan sahabat dekat Shalahuddin al-Ayyubi, panglima agung yang berhasil mengusir pasukan Salib dari daratan Syria. Dalam kitabnya al-Bidâyah wan-Nihâyah, Ibnu Katsir menyanjung Raja Muzhaffar sebagai penguasa yang alim dan adil, serta memiliki banyak sekali atsâr hasanah (jasa peninggalan yang baik). Dan, di antara peninggalan terbaik beliau yang disebutkan oleh Ibnu Katsir adalah al-Maulid asy-Syarîf (perayaan maulid yang mulia) setiap bulan Rabiul Awal.
Sejak Abad Keenam, peringatan Maulid Nabi diselenggarakan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia. Bahkan, menjadi kegiatan resmi beberapa kerajaan Islam seperti Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Utsmani dan Kerajaan Maroko. Dalam kitab Inbâ’ul-Ghumr, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikenal sebagai pakar Hadis, cukup sering menceritakan semarak perayaan Maulid Nabi pada masa beliau, yang diselenggarakan oleh istana serta dihadiri oleh para ulama dan rakyat. Ibnu Hajar sendiri termasuk salah satu ulama yang sangat mendukung adanya perayaan Maulid Nabi, senyampang perayaan tersebut tidak tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan syariat.
Pada Abad Keenam, saat pertama kali muncul peringatan Maulid Nabi, dari sekian ribu ulama hanya ada satu ulama yang teridentifikasi memberikan catatan, yaitu Imam asy-Syathibi (590-538). Dalam kitab al-I’tishâm beliau menyatakan bahwa menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai id (hari raya) adalah bidah, karena dianggap menandingi dua hari raya yang telah disyariatkan oleh Rasulullah. Tapi, apakah umat Islam menganggap Maulid Nabi sebagai hari raya? Tentu saja tidak! Mereka hanya memanfaatkan momen kelahiran Nabi sebagai sarana untuk menumbuhkan hal-hal positif. Ketika ditanya mengenai hari raya, umat Islam pasti menjawab Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, tidak ada Hari Raya Maulid.
Ibnu Taimiyah (661-728 H) dalam Majmû’ al-Fatâwâ juga memberi catatan yang hampir sama dengan asy-Syathibi. Menurut beliau, membuat mausim (momen yang dirayakan setiap tahun) selain yang telah ditetapkan oleh syariat adalah bidah, seperti sebagian malam Rabiul Awal yang disebut sebagai malam Maulid Nabi. Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak menutup mata bahwa peringatan Maulid Nabi adalah suatu yang positif, terutama bagi masyarakat awam. Dalam kitab Iqtidhâ’ush-Shirâth al-Mustaqîm menyatakan, “Merayakan Maulid Nabi dan menjadikannya sebagai mausim, telah dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka mendapatkan pahala yang besar dalam hal itu, karena tujuan yang baik dan pengagungan terhadap Rasulullah.”
Baca juga: Memahami Makna “Moderat” dalam Islam
Itulah kira-kira alasan yang muncul pada Abad Keenam dan Ketujuh dari ulama yang kurang sependapat dengan perayaan Maulid Nabi. Lalu, pada masa-masa berikutnya, muncul pula alasan-alasan baru yang disampaikan oleh beberapa kalangan yang tidak setuju Maulid. Di antaranya: pertama, mereka menganggap peringatan Maulid Nabi sebagai tindakan membuat-buat ibadah baru. Apakah benar demikian? Tentu saja tidak. Tidak ada masyarakat kita yang menganggap peringatan Maulid sebagai tata cara beribadah, sebagaimana shalat, puasa, zakat, dan haji. Maulid Nabi hanyalah momentum yang dimanfaatkan oleh para ulama kita untuk tujuan dakwah, mengajak masyarakat untuk mencintai dan mengagungkan Rasulullah.
Kedua, perayaan Maulid di bulan Rabiul Awal sama halnya dengan bergembira atas wafatnya Rasulullah, sebab beliau juga wafat di bulan Rabiul Awal. Kritik ini disampaikan oleh Syekh Tajuddin al-Fakihani, tapi sudah dijawab oleh Imam al-Suyuthi dalam Husnul-Maqshid. Memang benar, bahwa lahirnya Rasulullah adalah nikmat terbesar dan wafatnya beliau adalah musibah terbesar. Namun, yang diajarkan oleh agama Islam adalah merayakan kelahiran, bukan meratapi kematian. Sehingga, Islam memerintahkan untuk menyembelih akikah untuk kelahiran, tidak untuk kematian. Berdasarkan prinsip ini, maka yang dianjurkan adalah menampakkan gembira atas kelahiran Rasulullah, bukan sebaliknya.
Ketiga, perayaan Maulid dianggap mengkultuskan dan mendewa-dewakan Rasulullah Muhammad, padahal Rasulullah menyatakan:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Nasrani terhadap Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR al-Bukhari)
Tuduhan ini juga tidak benar, sebab sanjungan terhadap Nabi dalam Maulid tidak pernah memposisikan beliau seperti halnya Nabi Isa dalam tradisi Natal Kristen. Isi Maulid Nabi adalah sanjungan kepada beliau sebagai manusia paling mulia dengan ungkapan-ungkapan sastra yang tentu saja memukau. Dan, hal itu sudah lumrah dilakukan oleh beberapa pujangga Sahabat, semisal Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawwahah dan Ka’ab bin Zuhair. Mereka justru mendapat apresiasi dari Rasulullah.
Keempat, dalam perayaan Maulid kadangkala terjadi campur baur lelaki-wanita, penggunaan alat musik yang haram, sedekah yang dilakukan karena malu, dan lain-lain. Alasan-alasan ini tentu saja tidak bisa dijadikan dalih untuk menolak maulid, sebab semua itu hanyalah awâridh yang tidak kaitannya dengan inti maulid dan semestinya bisa dihindari. Menurut Imam as-Suyuthi, kalaupun campur baur lelaki-wanita itu terjadi dalam salat Jumat sekalipun, maka hukumnya tetap haram, namun salat Jumatnya tetap wajib. Begitu pula dalam maulid.
Ahmad Dairobi/sidogiri