Berbagai rangkaian peristiwa belakangan ini mengingatkan kita pada tahun 2001 silam, pasca peristiwa meletusnya WTC di Amerika Serikat. Setelah peristiwa itu, AS melancarkan perang terhadap terorisme secara khusus, dan Islam radikal atau garis keras secara umum. Dan, tak cukup sampai di situ, AS juga berinisiatif memupuk tumbuh-suburnya Islam moderat, yang pada hakikatnya “Islam moderat” yang mereka maksudkan sesungguhnya adalah Islam liberal, yakni model Islam yang permisif terhadap nilai-nilai dan pandangan Barat. Maka sejak saat itu, Islam moderat telah diklaim oleh kalangan kelompok liberal. Bahkan hingga saat ini, ketika term “Islam moderat” disebutkan, maka konotasinya lebih banyak mengarah pada paham liberal, dan jauh dari makna hakiki dari kata “moderat” itu sendiri.
Fakta di atas setidaknya memberikan dua dampak buruk yang sangat berbahaya; dari sisi kebijakan pemerintah secara khusus, dan dari sisi pemahaman umat secara umum. Pertama, ketika pemerinah kemudian memaklumkan perang terhadap kelompok radikal atau Islam garis keras, terutama sejak penusukan terhadap salah satu pejabat pemerintah beberapa waktu yang lalu, maka kampanye itu bisa berbahaya, sebab ketika rumusan moderat telah bias, rancu, dan bahkan salah sasaran, maka dapat dipastikan rumusan radikal juga tidak cermat dan tidak terukur (ghairu mundhabith).
Karena itu, sebelumnya pemerintah harus berhasil merumuskan dengan tepat terlebih dahulu perihal “moderat” itu, yang di samping kanan dan kirinya wajib ada kelompok “radikal” dan “liberal”. Jika pemerintah belum merumuskan itu lalu mengambil kebijakan hanya berdasarkan asumsi atau bisikan tertentu, maka jelas itu sangat berbahaya. Karena bisa saja mereka keliru sasaran, baik dalam memetakan musuh maupun dalam merangkul kawan. Fakta bahwa hari ini pemerintah hanya berbicara tentang radikalisme, merupakan wujud dari ketiadaan pemahaman tadi. Padahal liberalisme adalah penyakit yang tak kalah berbahayanya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai rancangan undang-undang kontroversial dan isu-isu seperti legalisasi miras, LGBT, perzinahan, dan semacamnya, tak lain merupakan produk dari kalangan liberal ini.
Kedua, kita sangat berkepentingan untuk merumuskan dengan matang tentang maksud dari Islam moderat ini, lalu menyebarkannya pada umat. Sabab di tengah fenomena tarik-menarik label moderat, umat terombang-ambing oleh ombak ketidakpastian pemahaman, sehingga mereka bisa terseret badai yang menyesatkan. Sebab ketika hari ini kita berbicara tentang “Islam moderat”, maka yang terlintas di benak masyarakat awam adalah Islam yang tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, welcome terhadap tradisi Barat, bermesra dengan orang-orang kafir dan keras terhadap sesama Muslim beda ormas dan beda pemahman. Karena memang seperti itu gambaran dari Islam moderat yang dipropagandakan. Jika misalnya Islam moderat itu artinya Islam yang membiarkan umat Islam melakukan kemungkaran, maka di mana sisi moderatnya, padahal nahi mungkar adalah salah satu asas ajaran Islam dalam al-Quran dan hadis?
Dalam suatu seminar internasional, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi salah satunya menyinggung tentang at-tawassuth wal-i’tidal (moderat dan jalan tengah) yang menjadi salah satu karakteristik paham Ahlusunah wal-Jamaah. Di situ beliau menjelaskan, bahwa secara kebahasaan, maksud dari tawassuth wal-i’tidal ini adalah tegak lurus, tidak condog ke samping kiri juga tidak condong ke samping kanan. Jika telah ada kecondongan, sesedikit apapun, maka sesuatu sudah menyimpang dari karakter tawassuth wal-i’tidal. Karena itu, istilah moderat atau tawassuth wal-i’tidal yang dimaksudkan di sini tak lain adalah “pemahaman yang benar”, yang tegak lurus, dan memiliki dalil yang sangat kuat dalam agama.
Maka, “moderat” yang secara kebahasaan adalah berdiri di tengah itu, adalah istilah lain dari “pendapat yang benar menurut agama”, yang kenyataannya pendapat yang benar itu selalu ada di tengah, karena pendapat yang sesat selalu menyimpang dari jalan tengah, baik menyimpang ke kanan maupun ke kiri. Misalnya, ada kelompok yang hanya berpegang pada nash secara harfiah dan menolak penggunaan akal (seperti Khawarij), dan ada pula kelompok yang meletakkan posisi akal di atas nash (seperti Muktazilah). Maka pendapat Ahlusunah wal-Jamaah berdiri di tengah-tengah antara kelompok yang ekstrem kanan dan ekstrem kiri tersebut, yakni tetap menggunakan akal untuk memahami nash, namun memposisikan akal sebatas sebagai pelayan bagi nash. Dengan demikian, pendapat Ahlusunah di sini di sebut at-tawassuth wal-i’tidal alias moderat.
Baca juga: Inspirasi Menjadi Kaya
Misalnya lagi, ada kelompok yang mengklaim mencintai Keluarga Nabi namun sekaligus mencaci-maki atau bahkan mengkafirkan para Sahabat Nabi (Syiah atau Rafidhah). Ada lagi kelompok yang mengklaim mencintai para Sahabat Nabi namun disertai membenci pada para Keluarga Nabi (Nashibi). Maka Ahlusunah wal-Jamaah berada di tengah-tengah antara kedua kelompok sesat tersebut, yakni mencintai, menghormati, dan memuliakan Keluarga Nabi sekaligus Sahabat Nabi. Maka, dalam contoh tersebut pandangan Ahlusunah wal-Jamaah ini disebut moderat.
Dengan memahami maksud dari tawassuth wal-i’tidal atau moderat sebagai pendapat yang lurus sesuai dengan petunjuk agama, maka hal ini sesuai dengan yang digambarkan oleh Rasulullah e dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan yang lain dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau berkata: Suatu ketika Rasulullah e menmbuat garis lurus untuk kami lalu beliau bersabda, “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau membuat beberapa garis ke samping kanan dan beberapa garis ke samping kiri, lalu beliau bersabda, “Ini adalah beberapa jalan, yang pada masing-masing jalan terdapat setan-setan yang menyeru kepadanya”. Kemudaian beliau membaca ayat:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِه (الأنعام: 153)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153).
Karena itu jelaslah, bahwa mempersepsikan “moderat” dalam Islam sebagai perilaku yang toleran dengan membiarkan kemaksiatan dan kemungkaran meraja lela, atau berinisiatif memberikan penghormatan kepada perayaan atau peribadatan orang kafir dengan membawa tumpeng ke dalam gereja mereka, atau bahkan menghalalkan apa-apa yang jelas diharamkan oleh Allah dan sebaliknya, semua itu telah menyimpang dari ajaran yang benar dalam Islam, sehingga tidak termasuk dalam ketegori at-tawassuth wal-i’tidal atau moderat yang dikehendaki oleh para ulama. Perilaku dan pemahaman seperti itu justru merupakan penyimpangan dalam agama yang harus segera diluruskan.
Moh. Achyat Ahmad / sidogiri