Ada tokoh masyarakat yang memiliki posisi penting di sebuah organisasi keagamaan besar di Indonesia, yang berpendapat bahwa cadar itu hanya sekadar budaya Arab saja. Adapun yang membuktikan terhadap hal itu, katanya, adalah bahwa di Arab, nenek-nenek yang sudah tua renta sekalipun, yang sudah tidak disyahwati sama sekali, tetap memakai cadar. Namun demikian, tokoh tersebut tidak melarang seseorang untuk menggunakan cadar, hanya saja dia berpesan kepada orang yang memakai cadar, agar jangan sampai merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling Islami, yang posisinya lebih tinggi dari mereka yang tidak memakai cadar. Bagaimana kita menanggapi pertanyaan tokoh tersebut?
Jawaban
Jawaban terhadap pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, mengatakan bahwa cadar murni sebagai budaya Arab disebabkan orang perempuan yang sudah tua renta sekalipun tetap mengenakannya, adalah tidak memiliki dasar baik dari naql maupun ‘aql. Sebab alasan tersebut masih sebatas asumsi belaka dan tidak bersifat pasti; apakah nenek-nenek Arab yang mengenakan cadar itu karena tradisi ataukah tuntutan Syar‘i? Jadi argumen seperti itu sangat mentah dan tidak bisa digunakan.
Belum lagi jika kita masuk pada kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab tafsir yang menguraikan tentang ayat hijab, disana jelas sekali diterangkan tentang potret busana perempuan jahiliah pada abad ketujuh Masehi, yang berpakaian minim, bahkan di beberapa kesempatan mentradisikan telanjang (seperti ketika pemujaan berhala) dan melegalkan prostitusi. Jadi secara fashion dan budaya, di Arab zaman jahiliah itu mirip dengan tradisi kebanyakan negara di Barat saat ini. Itulah sebabnya ketika mendengar pernyataan sedemikian, Habib Umar bin Hafidz justru bertanya, Arab mana yang seperti itu? Budaya Arab kapan? Karena sebelum datangnya syariat Islam, memakai cadar sama sekali tidak dikenal di Arab.
Kedua, sebagian orang juga mengatakan bahwa pakaian seperti cadar itu sebelumnya sudah digunakan oleh orang Kristen di Arab, jadi Islam hanya mengadopsi atau meniru saja. Klaim itu juga sangat rapuh karena dasarnya sangat tidak kuat. Bahkan kalaupun misalnya (ini sekadar pengandaian saja) ada penganut Kristen sebelum Islam yang memakai cadar, bukan berarti hukum di dalam Islam meniru Kristen, akan tetapi menetapkan apa yang telah diberlakukan di dalam Syariat Nabi Isa, atau syar‘u man qablana.
Baca juga; Cadar: Kegaduhan yang kurang pas
Karena memang umat Islam wajib meyakini 25 nabi utusan Allah, di mana akidahnya sama, hanya saja syariatnya berbeda karena perbedaan ruang dan waktu. Tentu terserah Allah untuk menetapkan syariat Nabi terdahulu di dalam umat ini, seperti puasa, khitan, sa’i, dan lain-lain. Adapun Kristen, itu bukan agama Nabi Isa, karena Kristen baru muncul 300 tahun setelah Nabi Isa wafat. Sebagaimana Yahudi juga bukan agama Nabi Musa, karena Yahudi menjadi agama pada sekitar 400 tahun setelah Nabi Musa wafat.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Sedangkan bagi umat Islam, Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Sedangkan contoh keserupaan dengan cadar, misalnya adalah kostum yang dipakai Ku Klux Klan (biasa disingkat KKK, sebuah kelompok rasis ekstrem di Amerika Serikat), yang berpakaian serba putih dan hanya terlihat kedua matanya saja (tapi desain kostum KKK ini sangat menyeramkan). Tapi meski demikian, secara makna tak berarti kostum KKK sama dengan makna dan visi cadar dalam Islam. Sebab bagaimanapun KKK tak mengenal konsep aurat. Belum lagi kelompok rasis itu baru berdiri pada 24 Desember 1865. Wallahu a’lam.