Menjadi pemimpin merupakan sebuah fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada manusia. Menjadi pemimpin di dunia merupakan amanah yang wajib ditunaikan sebaik mungkin. Oleh karenanya, syari’at menetapkan beberapa prinsip dasar yang wajib dimiliki oleh pemimpin tersebut, baik menjadi pemimpin dalam keluarga, masyarakat, atau bahkan kenegaraan.

Syurâ (Musyawarah)

“… sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” (QS. Asy-Syûra [42]: 38)

Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili mengutip perkataan Hafidz Ibrahim bahwa dalam Islam musyawarah merupakan kaidah keterbangunan dalam hubungan politik dan sosial terkhusus dalam permasalan kehidupan dalam mencari kemaslahatan. Syurâ (Musyawarah) merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah, tawakkal, menghindari dosa-dosa besar, memberi maaf setelah marah, memenuhi titah Ilahi, mendirikah shalat, bersedekah, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, musyawarah merupakan dasar yang begitu penting terlebih dalam masalah politik Islam.

Rasulullah juga memberikan contoh tentang berbagai macam musyawarah dengan para sahabatnya dalam segala urusan. Pada perang Badar, Rasulullah bersama sahabat bermusyawarah dalam menentukan letak perkemahan untuk tentara Islam dengan mengikuti pendapat Hubab bin Mundzir. Begitu juga setelah perang Badar, Rasulullah juga bermusyawarah bagaimana cara memperlakukan tawanan perang Badar. Dalam perang Uhud Rasulullah juga bermusyawarah ketika memutuskan keluar dari Madinah mengikuti pendapat para pemuda. Musywarah juga pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika terjadi perang Khandaq, dan lain-lain. Abu Hurairah t berkata terkait dengan seringnya Rasulullah bermusyawarah.

“Tidak ada seorang pun yang lebih sering melakukan musyawarah ketimbang Rasulullah.”

Dalam teori politik Sunni, tentang mekanisme pemerintahan, prinsip musyawarah ini sangat dikedepankan. Misalnya, berbicara tentang sistem suksesi. Walaupun beberapa golongan Sunni ada yang mengesahkan penunjukkan putera mahkota (Ahlul ‘Ahd) akan tetapi pada dasarnya, peran rakyat atau Ahlusy Syûrâ tidak dinafikan.

Al-‘Adl (Keadilan)

Adil adalah melaksanakan hukum Allah sebagaimana yang diwajibkan-Nya pada Nabi dan Rasul-Nya. Ulama berpendapat bahwa berlaku adil hukumnya wajib bagi para pemimpin bahkan Nabi. Dalam al-Quran disebutkan yang artinya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl [16]: 90)

Sebagaimana adil adalah sebuah kewajiban, berbuat zalim adalah sebuah larangan. Jadi, perintah Allah, mengandung dua sisi sekaligus, yaitu memerintahkan umat untuk berbuat adil dan melarang berbuat zalim bahkan kezaliman berkonsekuensi berupa hukuman bagi orang yang melakukannya. Al-Quran telah memperingatkan kepada setiap Muslim untuk memusuhi kesewenang-wenangan (zalim) dan menjelaskan akibat dari perbuatan tersebut (Asy-Syura [42]:42). Rasulullah dalam beberapa hadis juga mewajibkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim. Dikatakan bahwa makhluk yang paling dicintai Allah adalah Imam yang adil dan yang paling dibenci Allah adalah pemimpin yang berbuat semena-mena.

Dari sumber al-Quran dan Sunnah dapat disimpulkan bahwa, kewajiban belaku adil kepada perseorangan, masyarakat, dan penguasa. Oleh karena itu, kebijakan yang adil merupakan bagian agama. Jadi, jika tanda-tanda keadilan itu muncul dalam bentuk apapun itulah hukum Allah dan di situlah agama-Nya akan ditemukan.

Keadilan merupakan suatu entitas yang harus ditegakkan terutama oleh penguasa terhadap rakyatnya yang dipimpin. Sehingga, keadilan menjadi salah satu persyaratan bagi seorang kepala negara dan pejabat-pejabat negara lainnya. Karena keadilan itu sendiri, diyakini merupakan nilai Islam yang aktual. Karenanya, tidak ada artinya negara tanpa keadilan, walaupun ia menggunakan bendera dan symbol-simbol Islam.

Imam Ghazali dalam kitabnya, at-Tibru al-Masbûk fî Nashîhati al-Mulûk mengatakan bahwa jika seorang pemimpin berlaku adil maka kekuasaannya akan jaya, rakyatnya akan aman dan sejahtera sebagaimana kerajaan Persia yang bisa jaya selama 4000 tahun hanya karena pemimpinnya memerintah dengan adil. Fakta sejarah ini sejalan dengan sabda Rasulullah.

“Sebuah kerajaan akan kekal dengan kukufuran tapi tidak akan kekal dengan pemimpin zalim.”

Al-Hurriyah (kemerdekaan, kebebasan)

Allah menciptakan manusia dengan suatu fitrah, bebas untuk memilih, bebas untuk menyatakan pendapat dan bebas melakukan sesuatu berdasarkan pilihan dan pendapatnya. Secara jelas al-Quran mengungkapkan kebebasan dalam akidah (beragama), kebebasan berpikir, dan berpendapat. Islam melarang pemaksaan dalam agama demi terwujudnya kebebasan berkeyakinan dan beragama. Peran Rasulullah hanya mengajak dan menyeru. Rasulullah tidak membatasi kebebasan berpikir umatnya dengan dalih apapun. Sebab setelah diberi petunjuk, maka mereka sendiri yang berhak menentukan pilihan.

Kemerdakaan dan kebebasan merupakan jaminan bagi rakyat agar dapat melakasanakan hak-hak mereka. Dalam syariat, hak hak tersebut dikemas dalam lima prinsip pokok (al-Ushûl al-Khâmsah) yang menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia. Kelima prinsip tersebut adalah; jaminan atas jiwa dan kehidupan (Hifzhun-Nafs), jaminan atas agama (Hifzhud-Dîn), jaminan atas identitas dan keturunan (Hifzhun-Nasl), jaminan atas kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (Hifzhul-‘Aql), jaminan atas harta benda (Hifzhul-Mâl), dan jaminan atas kehormatan dan kedudukan (Hifzhul- ‘Ird)

Baca juga: Mencari titik Temu karakter Negara Dalam Islam

Al-Musâwah (Persamaan Hak, Egaliter)

Dalam prinsip Islam, semua orang berdiri sama tegak dalam hukum, Mendapat penghargaan yang sama di depan peradilan, dan hukum Islam berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali. Sebenarnya dalam memandang makna umum keadilan, prinsip ini sudah termasuk di dalamnya. Karena keadilan berarti menuntuk persamaan dalam pergaulan, hukum, hak, dan kepemilikan. Artinya, manusia mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan, tanggung jawab, tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal-usul, bahasa dan keyakinan.

Abu Bakar merupakan shahabat yang mempunyai prinsip ini. Hal ini tampak saat menyampaikan khutbah sesaaat setelah pelantikannya pada 13 Rabiul Awal 11 H (8 Juni 632 M).

“Orang yang lemah di antara kalian akan kuat di mata saya, sampai saya menjamin hak-hak mereka. Dan orang-orang yang merasa kuat akan tampak lemah di mata saya Insya Allah.”

Dalam prinsip ini, semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama di depan hukum. Tidak dibenarkan adanya stratifikasi sosial (kasta dan pengkelasan masyarakat). Demikian halnya tidak diperkenankan terjadinya diskriminasi dalam masyarakat, baik berdasarkan gender, perbedaan suku, kepemelukan terhadap agama, dan perbedaan ras maupun golongan.

Isom Rusydi/sidogiri

Spread the love