Ini tentang sumber mata air semesta. Seperti diistilahkan oleh Syekh Alim Sukmana. Kakek buyutku sendiri. “Emang kakek itu keturunan Arab ya, Bi? Kok dipanggil syekh?” Suatu ketika aku bertanya pada Abi. “Itu karena kakek buyutmu alim dan sangat sepuh, Drun Badrun.”
“Oh…”
Kanjeng Rasul itu sumber mata air semesta. Pancarannya adalah inti kehidupan. Turunnya adalah kerahmatan. Dan alirannya adalah keberkahan.
Jasmani siapa yang bisa hidup tanpa tetesan-tetesan mata air semesta? Dan rohani siapa yang bisa hidup tanpa tetesan-tetesan syafaat Kanjeng Rasul?
“Cerita hikmah Syekh Alim kakek buyutku dimulai.”
Sumber mata air semesta tentu tidak bisa langsung dinikmati oleh setiap manusia. Butuh instrumen perantara menembus belantara, bahkan menembus luas samudera. Itulah dia sahabat Kanjeng Rasul. Ashhabi kan-nujum. Limaniq-tadaytum ihtadaytum.
Baca Juga: Tiba-Tiba Saja
Sahabat Kanjeng Rasul itu yang akan bertebaran membawa jutaan volume bah air semesta. Kuantitas mereka tidak banyak. Tapi jangan tanyakan kualitasnya. Satu sahabat saja mampu memberi minum satu negeri. Mereka hadir menjelma sumber mata air Zamzam, dinikmati orang Makkah dan dunia. Mereka hadir sebagai sumber mata air Nil di Mesir. Gangga di India. Dan Umbulan di Jawa. Kulluhum udul.
Generasi selanjutnya adalah tabiin. Jumlah mereka lebih banyak dari shahabat. Namun daya tampungnya kebih kecil dari mereka. Mereka tak ubahnya pabrik-pabrik air minum dalam kemasan. Mengemas ulang pancaran sumber mata air shahabat. Agar lebih mudah dipahami dan dikonsumsi. Untuk selanjutnya didistribusikan pada generasi salaf selanjutnya.
Generasi salaf itu adalah retail-retail besar semacam Toko Basmalah. Ehem…
“Mbah buyutku berdehem saat mendengus Basmalah. Sepertinya tenggorokan beliau gatal.”
Responsip aku ambilkan beliau segelas kecil Santri. “Ehem…” Gantian aku yang kegatalan.
Oke lanjut!
Generasi selanjutnya adalah retail-retail besar. Menyediakan berkarton-karton air mineral dalam berbagai ukuran. Ada yang besar. Ada yang kecil. Sesuai orang yang mau meminumnya. Maka karton-karton itulah pesantren-pesantren, ribath-ribath, majlis taklim-majlis taklim. Berbeda-beda ukuran. Macam-macam. Tapi isinya bersambung pada Kanjeng Rasul sang sumber mata air semesta.
Baca Juga: Fenomena Kiai Nyeleneh
Dari toko retail itu air kembali didistribusikan ke toko-toko yang lebih kecil. Yang ada di perempatan jalan. Di pintu gang. Hingga yang ada di ujung desa. Menyisir semua lokal dakwah. Toko itu adalah masjid-masjid, mushalla-mushalla, dan langgar-langgar diantara kerumunan.
Kemudian air diecer satu-satu. Menyebar ke rumah-rumah. Menyegarkan dahaga-dahaga. Melenyapkan gurat susah.
Beliau kembali terhenti sejenak. Sekadar meneguk beberapa mililiter kubik air.”
Tidakkah kau bayangkan bila air itu tidak sampai pada kita? Baik yang dikemas atau yang mengalir bebas di alam lepas?
Bagaimana nasib jutaan petani itu? Bagaimana susahnya mamak-mamak rumah tangga itu? Bagaimana pusingnya dinas perairan kota itu? Bagaimana?
Tidakkah kau bayangkan bila air itu sampai pada kita dalam keadaan keruh? Terkontaminasi nalar-nalar liar pipa rongsokan? Untuk membajak sawah sih iya. Tapi untuk konsumsi akal dan hati?
Belum lagi problematika si Pecinta Buta Syi’i. Yang mendaku pengikut setia ahlu bait Kanjeng Rasul. Apa pantas dia menghina para sahabat? Padahal dirinya belum tentu masuk setetes gelas ini.
“Mbah buyut mengangkat gelas Santri yang terminum seujung jari.”
Itu pun kalau setetes. Itu pun jernih. Hihih…
M. Muhsin Bahri/sidogiri