Ketika berbicara mengenai masalah niqab atau cadar, maka hal pertama yang mesti disadari oleh semua pihak yang ‘bertikai’ adalah bahwa cadar merupakan persoalan khilafiyah. Ada ulama yang berpendapat bahwa memakai cadar bagi kaum wanita di ruang publik berhukum wajib; ada pula yang berpendapat sunnah, boleh, bahkan juga makruh. (lihat al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah: 41/134 entri Niqâb). Kenyataan khilafiyah ini harus disadari oleh segenap pihak, baik yang pro maupun yang kontra, dengan sikap dan pikiran yang tulus, obyektif dan dewasa.
Ulama kita telah memberikan haluan yang sangat penting bagi kita semua dalam menyikapi masalah-masalah khilafiyah, melalui kaidah fikih:
لَا يُنْكَرُ المُخْتَلَفُ فِيْهِ ، وَاِنَّمَا يُنْكَرُ المُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Masalah khilafiyah tidak perlu diingkari. Yang perlu diingkari itu adalah hal-hal yang menyalahi kesepakatan ulama.”
Salah satu penyakit terbesar kita sebagai umat adalah terlalu gemar meributkan persoalan-persolan khilafiyah, sehingga lalai untuk memperjuangkan hal-hal yang sudah mujma’ alaih. Terlalu sibuk memperdebatkan hal-hal yang sunnah sehingga lalai terhadap hal-hal yang wajib. Terlalu serius dalam meributkan hal-hal khilafiyah, sehingga terjatuh ke dalam pertikaian yang mujma’ alaih keharamannya. Karena itulah, tidak jarang kita temukan celetukan di linimasa media sosial “Cadar diributkan, rok mini dibiarkan!”
Dalam persoalan furuiyah-khilafiyah, ada sebuah maqalah masyhur yang ditengarai sebagai pernyataan dari Imam asy-Syafi’i:
رَأْيِيْ صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
“Pendapatku benar, tapi masih mungkin salah. Sedangkan pendapat yang lain adalah salah, tapi masih mungkin benar.”
Prinsip ini tidak berlaku untuk persoalan ushuliyah. Ibnu Nujaim dalam al-Asybâh wan-Nazhâ’ir mengutip pernyataan Imam an-Nasafi dalam al-Mushaffâ, “Jika kita ditanya mengenai mazhab (pendapat) kita dan mazhab lawan kita dalam masalah furuiyah, maka kita harus menjawab bahwa mazhab kami benar tapi mungkin salah, sedangkan mazhab lawan salah, tapi mungkin benar. Sebab, jika kita memastikan, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa seorang mujtahid bisa salah, bisa benar.”
وَإِذَا سُئِلْنَا عَنْ مُعْتَقَدِنَا وَمُعْتَقَدِ خُصُومِنَا فِي الْعَقَائِدِ يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقُولَ : الْحَقُّ مَا نَحْنُ عَلَيْهِ وَالْبَاطِلُ مَا عَلَيْهِ خُصُومُنَا
“Tapi, jika kita ditanya mengenai keyakinan kita dan keyakinan lawan kita dalam akidah, maka kita harus tegas menyatakan bahwa apa yang kita yakini adalah benar, sedangkan apa yang diyakini lawan kita adalah batil.”
Ulama-ulama kita telah meletakkan kaidah-kaidah dasar agar masalah furuiyah jangan sampai menjadi sumber perpecahan. Sebab, orang yang terjebak ke dalam perbedaan pendapat kadangkala seperti meminum air laut: semakin diminum semakin haus; semakin diperdebatkan untuk mencari kebenaran, justru semakin tidak benar; semakin dibicarakan untuk disepakati, justru semakin berpecah belah.
Pemicu dari semua itu adalah karena masalah khilafiyah seringkali keluar dari konteks ilmiah menjadi ego pribadi, ego kelompok, juga ego politik identitas. Sehingga, tujuannya bukan lagi mencari kebenaran, melainkan untuk menjatuhkan pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Mengenai apakah cadar termasuk bagian dari syariat Islam, ataukah sekadar budaya Arab, hal itu tidak bisa dilepaskan dari perbedaan pendapat ulama, seperti disebutkan di atas. Tentu saja, pendapat yang masyhur, cadar merupakan ajaran syariat Islam. Apalagi, jika berpedoman kepada pendapat sebagian ulama Mazhab Syafii yang menyatakan bahwa aurat wanita di luar shalat adalah seluruh bagian tubuhnya, tak terkecuali wajah dan telapak tangan.
Pernyataan sebagian tokoh ulama kita bahwa cadar merupakan budaya Arab, boleh jadi, sebenarnya ditujukan untuk ‘menyerang’ kelompok Salafi/ Wahabi, sebagai salah satu komunitas pengamal cadar di negeri ini. Sayangnya, dengan tanpa disadari, pernyataan tersebut justru menyerang pendapat ulama mazhab Syafii sebagai mazhab mayoritas umat Muslim Indonesia. Selain itu, pernyataan tersebut juga melukai para Habaib, keturunan Nabi Muhammad yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia. Kita tahu, banyak kaum wanita dari kalangan mereka (syarifah) memakai cadar ketika berada di ruang publik.
Jadi, persoalan sesungguhnya bukan lagi terletak pada pemakaian cadar itu sendiri. Mau memakai atau tidak, sama-sama ada dasarnya dari pendapat ulama yang mu’tabar. Memakai cadar adalah hal baik; tidak memakai cadar juga tidak apa-apa, asalkan sudah menutup bagian tubuh yang disepakati sebagai aurat oleh para ulama.
Yang perlu kita sayangkan adalah kebencian yang berlebihan terhadap kelompok lain, sehingga menghilangkan sikap inshâf atau obyektivitas dalam menilai sesuatu. Ada sebagian orang yang terlalu bernafsu untuk memusuhi golongan Salafi/Wahabi, sehingga apapun yang datang dari mereka harus dicurigai; dan apapun yang menjadi ‘identitas’ mereka harus ditolak dan disalahkan. Sikap seperti ini tentu saja sangatlah merugikan, bahkan kadangkala disertai kepanikan yang menyebabkan dia menghunus senjata yang memakan tuannya sendiri.
Baca juga: Ada sayang di Balik Garang
Keantian terhadap Salafi/Wahabi jangan sampai berubah menjadi keantian terhadap pemakaian cadar, jubah, celana cingkrang, pemeliharaan jenggot, merapatkan shaf, dan hal-hal lain yang memiliki dalil yang sangat jelas dalam agama kita. Bersikaplah adil terhadap siapapun. Yang benar katakanlah benar, meskipun berlawanan dengan kebiasaan dan kecenderungan kita. Yang salah, katakanlah salah meskipun sudah berabad-abad menjadi tradisi kita.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS al-Maidah [5]: 8)
Pemakaian cadar, jubah dan semacamnya seharusnya dilihat secara adil, dilihat sebagai bentuk kesungguhan seseorang dalam menjalankan syariat agama, bukan malah ditanggapi dengan nyinyir sebagai perilaku eksklusif yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat. Ada banyak orang dari kalangan kita yang membenci wanita bercadar, sementara mereka tidak memiliki perasaan benci sedikitpun terhadap wanita yang membuka aurat. Kesesatan opini ini kadangkala sengaja dibiarkan, atau bahkan sengaja ditumbuhkan, oleh figur-figur yang menjadi panutan, disebabkan minimnya pengetahuan agama, fanatisme yang berlebihan, atau karena sangat alergi terhadap kecenderungan baik yang tidak sama dengan kebiasaan di lingkungan setempat.
Ahmad Dairobi/sidogiri