Istilah Islam Nusantara pertama kali muncul sebagai tema Muktamar NU ke-33 di Jombang, 2015 lalu. Sejak saat itu pro-kontra mengenai istilah baru tersebut merebak. Kini Islam Nusantara kembali ramai diperbincangkan, terutama di jagat sosial media. Perang opini dan perdebatan sengit tak terelakkan. Berbagai macam penolakan dan dukungan datang silih berganti. Bagaimana istilah Islam Nusantara menurut pandangan KH. Muhammad Najih Maimoen Zubair, Pengasuh PP. Ribath Darusshohihain, Sarang Rembang? Ikuti wawancara N Shalihin Damiri dari Sidogiri Media berikut ini.
Pandangan Kiai tentang Islam Nusantara.
Jangan mau. Aswaja saja. Nanti kalau kita (ikut) Islam Nusantara bisa di-Syiah-kan, di-liberal-kan. Sudah jelas di buku saya (buku berjudul Islam Nusantara & Konspirasi Kaum Liberal). Dia bilang Islam Nusantara menakdirkan ‘fi ’? Itu apa? Islam ‘di’ Nusantara? Itu hanya untuk mengelabui seolah-olah itu dari ulama.
Islam Nusantara ini bukan hal baru…
Yang punya gagasan Islam Nusantara kan Islam Liberal (JIL). JIL sudah tidak laku, akhirnya bikin Islam Nusantara. Ngaku-nya menghidupkan tahlilan, diba’an, itu kan cuma untuk menarik kita saja. Hakikatnya, ya, nanti menyisipkan (ajaran-ajaran) komunis, liberal, Syiah dll.
(Memang) ada sisi positif dan ada negatifnya. Ini yang kita tolak; karena negatifnya, bukan karena istilah. Kita disangka gak paham makna Islam Nusantara. Kita tahu juga maksudnya mereka, tapi karena kita tahu tujuan mereka menghidupkan istilah ini. Ini pendanaanya, kan, banyak. Amerika, China lagi. Makanya ini, kan, digodok di Amerika. Jelas sekali, mau diapakan lagi?
Islam Nusantara itu menjadi tema di Muktamar NU, Kiai.
Loh, saya ini enggak ada urusan sama Muktamar. Saya bukan Pengurus NU. Kok ditanyakan. Ini harusnya kamu tanyakan pada pengurus NU. Itu katanya, keputusannya tidak liberal. Itu, kan, omongan dari orang-orang bawahan, tetapi dari penggagas Islam Nusantara, ya liberal. Jelas sekali. Saya hanya menolak mudharat saja, bukan mau gegeran.
Kalau mau dicanangkan, ya, silakan. Silakan saja, tetapi bukan dari hati saya. Kami (sejatinya, red) tetap tidak mau. Saya bukan organisator, bukan orang pemerintah. Saya tidak melarang. Saya di sini bukan mufti bukan qadhi. Saya hanya memperjuangkan Aswaja. Ulama yang memperjuangkan Aswaja. Titik. Ini Aswaja mau dirongrong, mau dihabisi. Hanya tahlilan, shalawatan dan diba’an saja.
Yahya Tsaquf menyatakan Islam Nusantara itu Islam yang sejati, Islam Timur Tengah abal-abal. Timur Tengah itu penjajah. Itu sangat kejam sekali. Islam bukan menjajah. Islam itu membawa ajaran tauhid, kitab suci Allah. Itu yang asli.
Bagaimana masyarakat seharusnya bersikap?
Masyarakat ya, limanya (shalat wajib, red) dikukuhkan. Aswajahnya dikukuhkan menghadapi Wahabi, komunis. Islam Nusantara ini mengalihkan isu biar orang tidak peduli dengan liberal; Freeport; jutaan China masuk ke Indonesia.
Kalau bisa, ya, ditolak. Secara lisan, kalau gak mampu, ya, secara hati. Kalau diajak, ya, jangan mau. Di balik Islam Nusantara yang bahasanya kayak bagus, kayak membela Walisongo, tapi nyatanya enggak begitu.
Repotnya kaum santri itu sungkan-sungkanan. Sungkan dengan yang sepuh. Kita dibikin melempem agar gak ada amar makruf.
Walisongo dulu lunak kalau dakwah, itu kan bukan mengatas-namakan Islam. Memang kalau menghadapi orang kita (masyarakat Jawa), kalau keras tidak mau. Maunya di-emong. Itu kan hanya teknis dakwah saja, bukan sesuatu yang paten. Bahkan menurut Syekh Abul Fadhol Senori, Walisongo juga menyerang Majapahit. Kalau versi yang lain katanya nggak. Masa Syekh Abul Fadlol diragukan?
Dulu zaman Walisongo, pesantren-pesantren yang berdiri belum ada baca kitab, fikih belum lengkap. Adanya tasawuf, thariqah. Sekarang kita dipesantren, 100-200 tahun sudah mulai baca kitab. Dulu tidak ada kitabnya, sekarang sudah ada. Ya, kita tidak fanatik kitab-kitab Mesir, tapi juga ada Fathul Muin dari Malibari, toh walaupun ilmunya juga dari dataran Mesir.
Baca juga: Islam Tetap Akan Menjadi Rujukan
Sunan Kali Jogo menggunakan wayang itu aslinya, kan, semua Walisongo melarang. Tapi dibiarkan karena di daerah Jawa Tengah tidak suka kalau tidak ada wayangnya. ‘Wes, biarkan dulu. Nanti anak cucu kita yang akan mengatakan hal itu haram karena sudah senang mengaji.’
Bila Anda sudah mendengar omongannya Yahya Tsaquf tentang Islam Nusantara, ya, itulah sejatinya Islam Nusantara. Alhamdulillah Allah sudah membongkar melalui ucapan dia. Kalau Anda masih menerima dan ragu tentang kesesatannya, ya, Anda sangat tolol. Sudah diperingatkan lewat Yahya, kok. Omongan sudah keterlaluan itu, naudzubillah. Itu bukan omongan santri.