Akses ke makam Sunan Muria bisa dibilang cukup berat dan menantang karena lokasinya terletak di puncak gunung Muria. Dibandingkan dengan makam Sunan Gunung Jati, petualangan kali ini tentu jauh lebih seru dan berkesan. Tak sembarang orang berani menempuhnya dengan berkendara. Hanya beberapa orang tertentu saja, seperti penduduk sekitar kompleks makam yang sudah terbiasa melintasinya. Semakin dekat dengan lokasi makam, semakin naik dan menanjak jalanannya serta tikungan tajam.

Jika tidak membawa alat transportasi pribadi, maka dari kota mana pun berasal, tempat transit paling pas adalah terminal bus kota Kudus. Dari sana, langsung naik angkot jurusan desa Colo, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus dengan tujuan makam Sunan Muria. Dengan begitu, sudah sampai di pasar makam Sunan Muria. Di sana, para pengunjung akan disambut ria oleh para pekerja ojek yang super semangat.

Setelah transit di pasar makam Sunan Muria, para pengunjung sebenarnya dapat melanjutkan perjalanan ke makam dengan dua pilihan. Pertama, menempuh perjalanan ke makam yang hampir mencapai 1 Km dengan berjalan kaki melalui tangga, sambil menikmati aneka jualan berupa kerajinan tangan dan jajanan yang dijajakan. Bahkan ada wisata kuliner, tempat istirahat, kamar mandi dan toilet juga. Kedua, menempuhnya dengan merelakan Rp 10.000 kepada tukang ojek terlatih yang siap membawa para pengunjung melayang terbang.

Gunung Muria mempunyai ketinggian sekitar 1.601 meter dari permukaan laut dan memiliki beberapa puncak. Sedangkan puncak yang menjadi lokasi makam Sunan Muria hanyalah salah satu dari sekian banyak puncak gunung Muria. Para pengunjung yang berhasil tiba di puncak makam Sunan Muria bisa langsung ke makam atau istirahat sejenak dan beriktikaf di masjid setelah menyegarkan diri. Tapi waspada, lokasinya yang berada di puncak gunung menyebabkan cuaca dan kondisi airnya terasa dingin menyengat.

Sebagai salah satu tokoh Walisongo, makam Sunan Muria menjadi destinasi religi terpopuler di wilayah itu. Meskipun medan tempuhnya cukup sulit, tapi tempat itu selalu ramai dengan para pengunjung yang datang dari berbagai wilayah. Padahal, mengenai identitas Sunan Muria yang sebenarnya masih penuh kontroversi. Juga, ada banyak legenda Sunan Muria yang sengaja disebarkan tanpa data yang kuat dan valid (dongeng rakyat).

Sangat populer di kalangan masyarakat bahwa Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga dari istrinya yang bernama Dewi Sarah, putri Maulana Ishak. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Menurut mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah memperoleh tiga anak, yakni Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayyah, dan Dewi Sofiah.

Menurut versi lain, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Hal ini diperkuat dengan ceramah yang disampaikan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam acara Haul Sunan Muria sebagaimana yang disampaikan oleh Sekertaris Umum Yayasan Makam Sunan Muria, Bapak Nur Khudri kepada salah satu kru Sidogiri Media. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkannya, Sunan Muria juga merupakan wali yang dibaiat sebagai penerus tarekat Sunan Bonang. Dalam versi ini, wanita yang diprediksikan sebagai istri Sunan Muria adalah Dewi Sujinah, saudari Sunan Kudus yang kemudian melahirkan seorang putra bernama “Pangeran Santri” (Sunan Ngadilangu).

Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Munculnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang.

Akan tetapi, sayang sekali, penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Makam Sunan Muria mengenai berbagai versi itu belum juga rampung sampai saat ini. Yang pasti, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria sebagai orang shalih (wali). Gaya dakwahnya moderat mengikuti Sunan Kalijaga. anggota keluarga, seperti “nelung dino” sampai “nyewu”. Hanya saja, tradisi yang bertentangan dengan syariat diganti dengan yang syariat seperti membaca al-Quran, zikir, shalawat, dan doa. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu Sinom dan Kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria. Lewat tembangtembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, cakupan dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Namun, karena ia menetap di sekitar gunung muria, maka ia dikenal dengan sebutan “Sunan Muria”.

Ali Wafa Yasin/sidogiri

Spread the love