Masjid Agung Keraton Surakarta Hadiningrat kami kunjungi setelah sempat mampir beberapa jenak di halaman Pagelaran Sasana Sumewa, bagian paling utara dari Keraton Surakarta. Bagian itu berhadapan langsung dengan Alun-alun Lor Keraton Solo yang sangat luas. Jika saja alun-alun itu dirawat baik, tentu akan mengesankan.
Lokasi Masjid Agung Keraton Surakarta Hadiningrat, yang bernama resmi Mesjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat, berada di sisi Barat Alun-alun Lor, menghadap ke Timur. Masjid keraton ini dipisahkan dengan Jalan Alun-alun Utara oleh Pasar Klewer Solo.
Area parkir kendaraan berada di sisi kiri kanan halaman depan gerbang masjid, sehingga area depan gerbang cukup lapang, meski masih ada bus besar parkir dan ada beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di sana. Akan sangat elok jika area di depan gerbang benar-benar bersih, sehingga keanggunan gerbang bisa benar-benar dinikmati.
Gerbang depan Masjid Agung Keraton Surakarta Hadiningrat yang elok dengan kubah-kubah menara, jam bundar sederhana pada rumahan di puncak gerbang yang dikeliling bintang bersudut sebelas, lambang mahkota dengan padi kapas dan bulang bintang, kaligrafi Arab di tembok kanan kiri, dan empat pengeras suara.
Memandang lurus ke depan terlihat bangunan Masjid Agung Keraton Surakarta Hadiningrat bergaya tajug beratap tumpang tiga, dan di tengahnya adalah limasan berpuncak mustaka berupa susunan kubah yang ukurannya semakin mengecil ke atas. Gaya bangunan tradisional khas Jawa untuk masjid. Setelah melewati gerbang masjid, barulah areanya benar-benar bersih dari pedagang. Di sisi sebelah kiri kanan halaman terdapat bangunan berbentuk pendopo tanggung yang disebut Pagongan, tempat disimpannya gamelan keraton yang baru dimainkan pada waktu perayaan Sekaten.
Baca Juga: Masjid Agung Banten, Pusat Destinasi Religi Kaya Histori
Di sisi sebelah kanan adalah menara masjid setinggi 33 meter yang didirikan pada 1928 semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana XI, dengan dek pandang dimana delapan pengeras suara dipasang berkeliling. Jumlah pengeras suara itu tak sebanyak dulu. Tembok setinggi 3,25 meter dibangun oleh Sunan Pakubuwana VIII pada 1858, mengelilingi masjid seluas 19.180 m2 ini. Selain gapura paduraksa dengan tiga pintu masuk di atas, ada pula dua gapura kecil di sisi Utara dan Selatan.
Masjid Agung Surakarta, dahulu masjid ini bernama Masjid Ageng Keraton Hadiningrat dan dibangun oleh Pakubuwono III pada sekitar tahun 1749. Terletak di sekitar Alun-alun Utara Keraton Surakarta, tepatnya di bagian barat, masjid ini memiliki posisi penting dalam penyebaran Agama Islam di Solo.
Pembangunan masjid ini tidak terlepas dari peran penting yang dipegang oleh seorang raja pada saat itu. Ketika itu, raja tidak hanya menjadi pemangku kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, tapi juga sebagai penyiar agama. Selain itu, pemilihan lokasi masjid yang dekat dengan keraton terinspirasi dari Masjid Agung Demak yang juga dibangun di dekat keraton dan alun-alun keraton.
Berdiri di atas lahan seluas hampir 1 hektare, bangunan utama masjid yang berukuran 34,2 meter x 33,5 meter mampu menampung sekitar 2.000 jamaah. Sepanjang perjalanannya, masjid ini telah melalui beberapa penambahan dan renovasi.
Bangunan yang pertama dibuat adalah bagian utama masjid. Penambahan pertama dilakukan oleh Pakubuwono IV, yang memberikan kubah di bagian atas masjid. Tidak seperti kubah pada umumnya yang bergaya Timur Tengah, kubah pada masjid ini bergaya Jawa. Bentuknya menyerupai paku bumi.
Penambahan berikutnya dilakukan oleh Pakubuwono X. Pakubuwono membangun sebuah menara di sekitar masjid serta sebuah jam matahari untuk menentukan waktu solat. Pintu masuk masjid pun mengalami perubahan pada masa Pakubuwono X. Pintu bercorak gapuran bangunan Jawa beratap limasan diganti menjadi bercorak Timur Tengah – terdiri dari tiga pintu, dengan pintu yang berada di tengah lebih luas dari kedua pintu yang mengapitnya.
Baca Juga: Masjid Istiqlal, Masjid Kebanggaan Umat Islam Di Indonesia
Sementara, Pakubuwono XIII membangun kolam yang mengitari bangunan utama masjid. Pembangunan kolam ini dimaksudkan agar setiap orang yang akan masuk ke dalam masjid dalam keadaan bersih. Tapi, karena berbagai alasan, kolam ini tidak lagi difungsikan. Selain itu, Pakubuwono XIII juga membangun ruang keputren dan serambi di bagian depan.
Penambahan terakhir dilakukan oleh Pemerintah Surakarta. Masih di area masjid, ditambahkan beberapa bangunan dengan fungsi berbeda. Ada perpustakaan, kantor pengelola, dan poliklinik.
Pada masa lalu, pengurus masjid ini merupakan anggota abdi dalem keraton. Setiap pengurus diharuskan terlebih dahulu menuntut ilmu di Madrasah Mambaul Ulum – yang terletak di antara masjid dengan Pasar Klewer. Tapi kini, hanya kepala pengurus masjid yang menjadi abdi dalem keraton – dengan gelar Tafsir Anom. Sementara, Madrasah Mambaul Ulum dikelola oleh Departemen Agama dan dijadikan pendidikan untuk masyarakat umum.
Masih di sekitar masjid, tepatnya di sebelah utara, terdapat sebuah pemukiman yang bernama Kampung Gedung Selirang. Pemukiman ini sengaja dibangun untuk tempat tinggal para pengurus masjid.
Sampai saat ini, Masjid Agung Surakarta masih menjadi pusat tradisi Islam di Keraton Surakarta. Masjid ini masih menjadi tempat penyelenggaraan berbagai ritual yang terkait dengan agama, seperti sekaten dan maulid nabi, yang salah satu rangkaian acaranya adalah pembagian 1.000 serabi dari raja kepada masyarakat.
M. Baihaqi/sidogiri