Syekh Muhammad bin Salim al-Baihani (w. 1972) dalam bukunya, “Ishlahul-Mujtama,” mengisahkan perdebatannya dengan seorang aktivis kesetaraan gender. Dalam perdebatan, aktivis itu bicara menggebu-gebu dalam mendukung gagasannya. Setelah ia selesai berbicara, al-Baihani berkata, “Amma al-an, faskuti wa ana atakallam” (Sekarang, diamlah kamu [perempuan], dan saya akan bicara). Sontak si aktivis langsung marah. Dia marah karena al-Baihani memanggilnya memakai kata ganti (dhamir) untuk wanita. Maka al-Baihani berkata, “Bagaimana Anda bisa memperjuangkan kesetaraan gender, kalau dipanggil dengan kata ganti untuk perempuan saja sudah marah-marah?”

Perdebatan pun selesai dan hadirin ramai-ramai menertawakan aktivis itu. Pengalaman yang dikisahkan al-Baihani di atas merupakan gambaran akan naifnya gagasan para aktivis pengusung ide kesetaraan gender, yang tiada henti memaksakan kesetaraan gender ke tengah-tengah umat Islam. Padahal usaha menyetarakan gender itu absurd, karena gender adalah hal kodrati yang berada di luar domain manusia. Itulah sebabnya kenapa setiap pemikiran yang dimunculkan untuk menyokong kesetaraan gender selalu berakhir rungkad; ada banyak problem yang mengitarinya.

Satu gambaran kecil dari problem itu, adalah bahwa para pengusung kesetaraan gender ini belum benar-benar memahami hakikat pemikiran yang mereka usung. Padahal telah jelas bagi siapapun bahwa segala unsur alam ini tercipta secara berbeda-beda. Karena itu usaha menyetarakan perlakuan, kebijakan, atau apapun, pasti melahirkan ketidakadilan. Jika manusia secara kodrati tercipta dengan gender yang berbeda, maka menyetarakan perlakuan, kebijakan, hukum, dan apapun pada hakikatnya adalah kezaliman. Bayangkan misalnya Anda punya dua anak dengan usia yang berbeda-beda; anak pertama berusia lima bulan, sedangkan anak kedua berusia lima tahun. Jika misalnya Anda mencoba menyetarakan perlakuan terhadap keduanya, misalnya dengan memberi jagung goreng kepada keduanya, atau dengan memberi baju dengan ukuran yang sama, maka sudah pasti Anda telah menzalimi salah satu dari keduanya. Dari sini jelas bahwa penyetaraan itu pada hakikatnya adalah kezaliman.

Karena itu, dalam Islam tidak dikenal konsep “kesetaraan gender”, namun yang diberlakukan dalam Islam adalah “keadilan gender”, dalam arti bahwa Islam memberikan kebijakan, hukum, perlakuan, dan tugas-tugas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, karena secara fitrah keduanya tercipta dalam beragam perbedaan, baik secara fisik maupun psikis. Jika aspek-aspek yang berbeda dalam gender itu diperlakukan secara setara, maka sudah pasti Islam akan menzalimi salah satu gender atau keduanya. Ringkasnya, pemilahan, pembedaan, dan pengkhususan oleh Islam yang diperuntukkan wanita, baik dalam hal ibadah, muamalah, dan lain sebagainya, tidaklah dimaksudkan kecuali demi tercapainya keadilan gender. Karena sekali lagi, penyetaraan gender adalah kata lain dari kezaliman gender.

Spread the love