Di internet banyak kita dapati meme dari pernyataan seorang tokoh yang kira-kira bunyinya sebagai berikut: “Kebenaran kita berkemungkinan salah. Kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.” Meme ini banyak tersebar melalui sosial media, baik di akun-akun pribadi maupun di grup-grup. Bagaimana seharusnya kita memahami dan menanggapinya?

Jawaban

Kata-kata itu tidak bisa diberlakukan secara umum, dan karenanya ia memiliki batasan-batasan penerapannya sendiri. Pembatasan itu adalah niscaya, sebab jika tidak tentu itu bisa merelatifkan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah tetap dalam agama (tsawabit). Karenanya kata-kata itu tidak boleh berlaku dalam aspek-aspek dari ajaran keagamaan yang didasarkan pada dalil qath’i (definitif dan bersifat pasti).

Karena dalam aspek-aspek yang fundamental dalam agama seperti rukun-rukun iman dan Islam, tak ada pilihan lain bagi seorang Muslim selain meyakininya sebagai kebenaran. Misalnya, tentang bahwa shalat lima waktu itu wajib, puasa di bulan Ramadan itu wajib, mencuri itu haram, minum khamr itu haram, jual beli itu halal, riba itu haram, dan hal-hal dalam agama yang sudah final semacamnya. Maka tak peduli siapapun yang mengatakannya, ia harus diterima sebagai kebenaran.

Konsekuensinya, jika ada seorang yang meragukan atau mengingkari hukum-hukum qath’i dalam agama, maka ia bisa kafir, jika ajaran agama itu termasuk hal yang aksioma (al-ma’lum minad-din bidh-dharurah), dan berakibat fasik jika bukan termasuk ajaran agama yang aksiomatis. Karena itu hal ini penting untuk diperhatikan oleh setiap Muslim, agar mereka tak terjebak di dalam kesesatan.

Adapun penerapan yang benar untuk kata-kata di atas adalah pada wilayah cabang agama atau furu’ul-fiqhiyyah, yang menjadi wilayah ijtihad para ulama, karena hukum-hukum yang masuk dalam tipe ini didasarkan pada dalil zhanni, sehingga perbedaan pendapat antar para mujtahid atau para ulama adalah hal yang lazim, namun meski berbeda pendapat, mereka tetap saling menoleransi satu sama lain, sebab karakter dari dalil zhanni adalah bisa memunculkan banyak pemaknaan dan pemahaman yang berbeda-beda.

Nah, pada aspek inilah kita biasa mendengar ujaran para ahli fikih, “Ra’yuna shawabun wa yahtamilul-khatha’, wa ra’yu ghairina khatha’un yahtamilush-shawab” (pendapat kami benar tapi berkemungkinan salah. Sedang pendapat selain kami salah, tapi berkemungkinan benar).

Pernyataan para ahli fikih tersebut tampak mirip dengan pernyataan tokoh yang ada dalam deskripsi masalah di atas, karena memang pernyataan tokoh itu sebetulnya hanya menyadur perkataan para ulama ahli fikih, sehingga penerapannya pun mesti diletakkan di tempat yang sama, yakni dalam masalah furu’ fikih, atau dalam masalah apapun yang bukan merupakan ajaran agama yang qath’i.

Sebab jika masalah itu sudah qath’i, maka jelas tidak akan ditemukan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebab memang itu bukanlah ruang untuk berijtihad, sebagaimana kesepakatan para ahli fikih dan ahli ushul.

Baca juga: Paham Relativisme Sangsikan Tafsir al-Quran

Baca

Spread the love