Telah menggema hampir di setiap nasihat nikah bahwa perpisahan adalah hal yang sangat dibenci oleh Sang Penguasa hati, sehingga beberapa pasangan suami istri kerap kali terpaksa memilih bertahan di dalam sebuah ikatan yang dari hari ke hari semakin saling menyakiti. Ditakut-takuti dengan ancaman sebuah kemurkaan dari Sang Maha Kasih. Nasihat fenomenal tentang perpisahan tersebut pada dasarnya didasari atas hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Shahabat Ibnu Umar yang berbunyi, “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah thalâq (cerai/perpisahan)”. Hadis ini termaktub dalam kitab Sunan Ibnu Majah. Sebagian besar orang⸻mulai dari orang awam, penceramah, hingga manusia biasa⸻ memaknai hadis ini dengan sederhana saja, yakni perpisahan itu dibenci oleh Allah dan manusia yang memutuskan berpisah dijamin mendapatkan murka-Nya. Pertanyaannya: Benarkah makna hadis ini sesederhana itu, sedangkan pernikahan bukanlah cerita yang sederhana?

Pertanyaan mendasar di atas muncul karena beberapa fakta yang tergambar dengan jelas bahwa banyak ditemui kekerasan dalam rumah tangga, ketakcocokan hubungan yang tidak menemui jalan keluar, sampai kasus-kasus perselingkuhan yang mendadak menjadi kegemaran, sehingga ikatan pernikahan yang seyogianya membahagiakan berubah menjadi detik-detik yang dipenuhi penderitaan. Jika memang sudah seperti ini, benarkah perpisahan masih menjadi hal yang dibenci oleh Sang Pemilik hati? Bukankah Allah tak menyukai tindakan aniaya? Terlebih lagi, Nabi Muhammad telah dengan gamblang melarang para suami memukul istrinya, padahal di ujung hari meminta ‘jatah’ darinya. Derajat hadis ini juga tidak tanggung-tanggung, sebab hadis ini sahih sekaligus diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Abu Dawud, dan Imam Ibnu Majah.

Oleh sebab itu, agar ditemui makna yang tak hanya benar, tetapi juga tepat diperlukan penulusuran terhadap asbâbul-wurûd (sebab-sebab kemunculan sebuah hadis)dari hadis tentang perpisahan yang dibenci tersebut. Selanjutnya, dicari relasi antara latar belakang kemunculannya dan isi yang terkandung di dalamnya. Terakhir, disempurnakan dengan dalil-dalil yang menguatkan relasi antara latar belakang dan isi.

Asal-Usul Cerai Dibenci

Di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, Imam Baihaqi menjelaskan bahwa asal-usul dari hadis tentang cerai yang dibenci oleh Allah bersumber dari riwayat Muharrib bin Ditsar. Ia menuturkan bahwa pada masa Nabi Muhammad, terdapat seorang pria yang menikahi seorang wanita lalu menceraikannya begitu saja.

Akhirnya Nabi Muhammad bertanya, “Apakah engkau telah menikah?”

Sang pria menjawab, “Sudah.”

“Lalu, apa yang terjadi?”

“Aku telah menceraikannya.”

“Apakah ada sesuatu yang mencurigakan dari istrimu?”

“Tidak,” jawab sang pria.

Setelah itu, pria tersebut menikah lagi dengan wanita lainnya dan menceraikannya lagi. Pola seperti ini terus berulang sampai tiga kali dan Nabi Muhammad juga selalu menanggapinya dengan pola yang sama juga. Hingga pada akhirnya Nabi Muhammad berkata, “Sesungguhnya perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian.”

Mengamati latar belakang kisah di atas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa penyebab pernyataan Nabi tentang kebencian Allah bukan karena perceraiannya, tetapi karena sikap pria yang mempermainkan ikatan suci pernikahan. Jika memang yang dibenci Allah adalah perceraiannya, maka sejak awal Nabi Muhammad akan langsung mengatakannya tanpa perlu bertanya alasan sang pria menceraikan istrinya. Namun, kenyataannya, Nabi Muhammad selalu mempertanyakan alasannya terlebih dahulu dan menunggu hal itu berulang hingga tiga kali. Ditambah lagi, sang pria menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Hal ini kian menguatkan bahwa alasan utama perceraian menjadi hal yang dibenci adalah karena unsur bermain-main dalam ikatan suci.

Pandangan ini juga didukung dengan keberadaan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 20 hingga 21 yang berbunyi: “Dan kalau kalian ingin mengganti seorang istri dengan istri yang lain, sementara kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang ditinggalkan), maka janganlah mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan dan dosa yang nyata? Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari kalian?” Ayat ini mengisyaratkan tentang sikap laki-laki yang pandai bersilat lidah⸻mengarang cerita agar bisa bercerai⸻untuk mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya⸻yang hendak diceraikan⸻guna menikahi perempuan yang sedang diincar. Tindakan semacam itu tidak disukai oleh Allah, sehingga Allah memberikan kalimat tanya retoris yang berupa ‘Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali’. Ungkapan mitsaqan ghalidlan (janji yang kuat) juga kian meneguhkan bahwa pernikahan adalah sebuah janji yang sudah selaiknya tak akan pernah diingkari (apalagi jika itu adalah janji yang kuat) dan tak boleh dijadikan lahan permainan dengan pola kawin-cerai-kawin-cerai-kawin-cerai.

Jadi, Bisakah Cerai Dimaklumi?

Tibalah di ujung pembahasan tentang perceraian yang dibenci oleh Allah, yakni pertanyaan utama yang berupa Bisakah cerai dimaklumi? Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bisa dengan syarat memenuhi kriteria yang membuatnya bisa dimaklumi. Sebut saja seperti yang disebutkan oleh mazhab Hanbali yang merinci talak menjadi 4 hukum, yaitu talak yang dihukumi wajib; talak yang dihukumi haram; talak yang dihukumi makruh; dan talak yang dihukumi sunnah. Keberagaman hukum disebabkan oleh keberagaman sebab yang melatari terjadinya talak. Sederhananya, cerai bisa saja menjadi hal yang dianjurkan dan juga bisa menjadi hal yang tak boleh dilakukan.

Akhir kata, hadis tentang ‘perpisahan adalah perkara halal yang dibenci Allah’ sejatinya tidak bertujuan untuk melarang perpisahan, tetapi untuk mewanti-wanti siapapun yang hendak mempermainkan pernikahan.

Akhmad Idris\Sidogiri

Spread the love