Sejak kecil, Cut Nyak Dien mendapatkan didikan dan pengajaran agama langsung dari orang tuanya, sehingga ia tumbuh menjadi perempuan yang patuh terhadap ajaran-ajaran agama Islam.
Ketika berusia 12 tahun, orang tua Cut Nyak Dien menikahkannya dengan seorang bangsawan dan putra kepala pemerintahan kesultanan Aceh yang bernama Teuku Cek Ibrahim Lam Nga. Namun, sayangnya pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena Teuku Cek Ibrahim Lam Nga meninggal saat berjuang melawan Belanda. Tewasnya sang suami membuat Cut Nyak Dhien sangat marah kepada pihak Belanda dan berjanji akan menghancurkan Belanda sampai tuntas.
Berselang beberapa waktu kemudian, Cut Nyak Dien dilamar oleh seorang lelaki bernama Teuku Umar. Awalnya, ia menolak lamaran tersebut, namun akhirnya ia menerimanya karena Teuku Umar mempersilakan Cut Nyak Dien ikut bertempur melawan penjajah. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang anak perempuan bernama Cut Gambang.
Teuku Umar, yang juga merupakan seorang pejuang bersama Cut Nyak Dien, melakukan gerilya dalam menghadapi penjajahan Belanda. Namun, Teuku Umar juga harus gugur di medan perang setelah terkena peluru musuh yang menembus dadanya dalam penyerangan Meulaboh pada 11 Februari 1899.
Gugurnya suami Cut Nyak Dien tidak membuat kobaran semangatnya dalam melawan penjajah Belanda padam. Sebaliknya, ia semakin tidak gentar melanjutkan perlawanan. Ia melanjutkan perjuangan kedua suaminya melawan penjajah Belanda dengan sisa pasukan dan persenjataan yang ada.
Museum Rumah Cut Nyak Dien Saat ini, sejarah Aceh dan perjuangan Cut Nyak Dien terdokumentasikan di sebuah museum yang dilestarikan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, yaitu Museum Rumah Cut Nyak Dien. “Museum Rumah Cut Nyak Dien ini sebenarnya bekas tapak rumah beliau. Pada masa penjajahan Belanda, rumah Cut Nyak Dien yang asli dibakar habis oleh pasukan Belanda hingga tinggal sumurnya saja. Kemudian, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ingin merenovasi rumah tersebut. Maka, pada tahun 1983 kita melakukan renovasi atau rehabilitasi terhadap bekas rumah Cut Nyak Dien itu yang sekarang telah menjadi bagian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB),” ungkap Bapak Nurmatias, Kepala BPCB Aceh.
Museum ini terletak di tempat yang sangat strategis, persis di sisi jalan raya, membuatnya mudah ditemukan, tepatnya di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, sekitar sepuluh kilometer dari Kota Banda Aceh. Museum Rumah Cut Nyak Dien berbentuk rumah panggung sebagaimana rumah adat Aceh, ditopang oleh sekitar 65 tiang kayu. Ukurannya berkisar 25 m x 17 m dengan bahan kayu dan beratapkan rumbia.
Ketika memasuki museum tersebut, pengunjung terlebih dahulu akan dikenalkan dengan silsilah keluarga dari Cut Nyak Dien yang terpampang jelas di dinding ruangan depan. Memasuki serambi depan, pengunjung disuguhkan dengan beragam pajangan foto yang dilengkapi penjelasannya mengenai sejarah dan perjuangan Cut Nyak Dien, seakan mengajak pengunjung untuk bernostalgia akan kejadian tersebut. Setelah itu, pengunjung akan melihat banyak ruangan yang begitu luas yang dihubungkan dengan pintu-pintu. Ruangan tersebut meliputi tempat berdiskusi para pahlawan zaman dahulu, kamar tidur Cut Nyak Dien, hingga koleksi-koleksi senjata yang digunakan untuk berperang, seperti rencong dan parang.
Bapak Nurmatias mengungkapkan bahwa bentuk rumah Cut Nyak Dien tetap seperti apa yang ada sekarang. Pihak pengelola dari BPCB Aceh tidak mengubah sedikitpun dari bentuk aslinya kendati saat ini telah menjadi museum dan sarana budaya karena berkaitan dengan cagar budaya yang ada di Aceh. “Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Cut Nyak Dien termasuk pahlawan Nasional. Oleh sebab itu, kita harus melestarikan peninggalan-peninggalan yang ada dan menyangkut nama Cut Nyak Dien agar sejarah dan perjuangannya tidak hilang ditelan zaman, salah satunya melalui pembangunan dan pelestarian bekas rumah beliau. Hal ini juga sebagai edukasi dan tambahan pengetahuan bagi generasi muda berkaitan dengan peran para pahlawan terdahulu dalam menghadapi penjajahan,” ungkapnya ketika ditemui di kantor BPCB Aceh beberapa waktu lalu.
Museum Rumah Cut Nyak Dien dibuka setiap hari, mulai pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Wisatawan yang ingin mengunjunginya tidak dikenakan biaya, tetapi tetap bisa menyumbang secara sukarela ke kotak yang telah disediakan untuk perawatan museum.