Hari-Hari kita belakangan ini tampak sangat didominasi oleh warna-warni perpolitikan nasional, dalam rangka pemilihan Kepala Daerah serentak 2018 ini. Kini, hiruk-pikuknya tidak saja menggema di warung-warung kopi pojok kampung, namun juga terdengar dari genggaman tangan dan saku kita, melalui obrolan group-group dunia maya di ponsel.
Apapun itu, pesta demokrasi tentu dimaksudkan untuk menghasilkan kepala daerah atau pemimpin yang ideal. Namun tampaknya, kebanyakan orang terlarut dalam euforia itu lebih karena berbagai motivasi lain, yang bahkan tujuan “mencari pemimpin ideal” itu tampak sama sekali bukan perhitungan bagi mereka. Ironis memang.
Pemimpin ideal, berkualitas, pro rakyat, mengusung nilainilai keadilan, punya visi-misi yang kuat, dan semacamnya, saat ini tampaknya hanya bisa kita dapati dalam jargon-jargon kampanye dan pencitraan belaka, atau di forum-forum debat antar-calon pemimpin rakyat, yang untuk menemuinya di dunia nyata tampak hanya sebatas utopia. Bagaimanapun, ini sungguh suatu malapetaka.
Boleh jadi, sumber malapetaka itu muncul dari begitu langkanya calon pemimpin yang benar-benar berasal dari aspirasi rakyat, yang benar-benar mencerminkan hati nurani mereka, melainkan kebanyakan mereka muncul dari egoisme pribadi atau egosentrisme partai. Jika calon pemimpin itu dilahirkan dari ambisi pribadi atau nafsu berkuasa suatu golongan, sudah pasti benih-benih pemimpin ideal yang diimpikan itu sudah mati sebelum sempat tumbuh.
Namun apakah itu merupakan satu-satunya sumber malapetaka ini? Jawabannya tentu saja tidak. Apa yang telah kita saksikan sejak sekian lama menunjukkan bahwa betapa masalah negeri ini tidak hanya terletak pada kelas elite, sebagaimana yang sering kita saksikan di televisi. Masalah bangsa dengan penduduk ratusan juta yang tak kunjung menemukan pemimpin idealnya ini, justru meluas dan merata, mulai dari akar rumput hingga puncak kekuasaan.
Sekadar contoh. Dalam tema yang tengah kita diskusikan ini, tak berarti problem kepemimpinan bangsa terletak hanya pada mindset miring para calon penguasa saja. Banyak dari masyarakat akar rumput yang jelas-jelas menjalani pesta demokrasi sekadar untuk memenuhi ambisi pragmatisme sesaat. Dalam konteks pemilihan calon Kepala Desa sekalipun, menyuap calon pemilih secara rata sudah bukan hal yang tabu, dilakukan secara ‘wajar’, dan bahkan sudah sangat lazim.
Jika sistem cacat seperti ini yang menjadi jalan kita dalam usaha membangun bangsa dan negara, maka sesungguhnya kita sedang berusaha menggali jurang yang akan menjerumuskan kita sendiri. Pucuk kekuasaan tak bisa diharapkan sebab mereka hanya perduli dengan kekuasaannya, sedang masyarakat akar rumput kehilangan kekuatan karena kekuatan itu telah mereka jual.
Baca juga; Haji dan Risalah Peradaban
Ketika masyarakat telah menjual harga diri dan idealisme mereka, maka bukan hanya kekuatan lahiriah dan nilai tawar politik mereka saja yang lemah, bahkan kekuatan batin mereka pun ikut lenyap, sehingga secara lahir batin mereka sudah tak punya kekuatan apaapa, sulit untuk mengubah keadaan, dan tinggal meratapi nasib buruk yang tak bisa terhindarkan.