Ketika tidak ada satupun negara Islam di dunia yang menjadi negara super power, maka akan terus berlanjut adanya komunitas Muslim yang tertindas di sepanjang sejarah dengan tanpa pembelaan yang kuat. Apalagi, jika puluhan negara Islam di dunia ini hanyalah memikirkan kepentingan ‘pribadinya’, tanpa memiliki kepedulian terhadap nasib saudara-saudaranya sesama Muslim di belahan dunia lain. Muslim Uighur boleh jadi akan mengalami nasib yang sangat buruk, jika negara-negara Islam di dunia tidak melakukan pembelaan terhadap Uighur, dan melakukan tekanan diplomatik kepada pemerintahan China.

Uighur dan beberapa komunitas Muslim di dunia memang sedang berjuang untuk merdeka dari penjajahan negara yang menguasainya. Perjuangan kemerdekaan itu dilatarbelakangi oleh faktor sejarah yang panjang dan berliku: karena perbedaan latar belakang agama, etnis, budaya, serta  proses pengintegrasian wilayah yang sedari awal memang penuh dengan ketidakadilan. Karena itulah mereka merasa punya hak untuk merdeka. Mereka tidak pernah merasa sebagai bagian dari negara yang mengklaimnya, baik secara kultural maupun secara struktural.

Masing-masing pihak tentu punya klaim untuk menjustifikasi sikap mereka. Namun demikian, persekusi dan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintahan China terhadap etnis Uighur telah melampaui batas. Pelarangan terhadap Muslim Uighur untuk melakukan kegiatan-kegiatan ibadah serta pemaksaan untuk meninggalkan identitas budaya asli mereka merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat berat, bahkan dalam pandangan orang-orang ateis sekalipun.

Pemerintahan China sedang berupaya menutup-nutupi pelanggaran hak asasi itu—sebagaimana upaya pemerintahan Myanmar dalam tragendi pembantaian terhadap etnis Rohingya. Namun demikian, ini adalah era digital dan media sosial. Serapat apapun mereka menutupi dan selantang apapun mereka membantah, teknologi informasi akan menyingkap kedustaan mereka serta mempermalukan mereka di hadapan dunia.

Setiap orang Islam tentu saja berkewajiban untuk peduli dengan nasib Uighur, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Yang sedang menjadi pejabat, gunakanlah langkah-langkah diplomatik. Yang punya kekayaan materi, berikanlah bantuan-bantuan materi. Yang tidak punya apa-apa, bantulah dengan suara.

Kita patut mengapresiasi perang urat syaraf yang ditunjukkan oleh sebagian kaum Muslimin melalui unjuk rasa, kecaman dan semacamnya. Hal itu merupakan langkah jitu untuk menambah tekanan terhadap China. Buktinya, cuitan Mesut Ozil di Twitter dan Instagram, cukup memberi tamparan kepada pemerintahan China, sehingga mereka memberikan respons yang cukup serius terkait hal itu. Seandainya tindakan Ozil itu ramai-ramai dilakukan oleh figur-figur internasional yang lain, tentu akan menjadi psywar yang hebat. Setidaknya, pemerintahan China akan memiliki beban psikologis yang berat untuk bertindak sewenang-wenang terhadap Muslim Uighur.

Juga akan menjadi psywar yang  hebat dengan pemerintahan China jika ada ujaran-ujaran yang diramaikan melalui  media sosial untuk mulai berpikir memboikot produk-produk China, terutama oleh figur-figur publik. Apa mungkin? Mungkin atau tidak adalah urusan lain. Urusan kita adalah menciptakan opini untuk memberikan tekanan psikologis kepada pihak China agar tidak semena-mena. Oleh karena itu, kita tidak perlu peduli-peduli amat dengan komentar sebagian orang yang mungkin akan menertawakan wacana ini, misalnya dengan alasan bahwa umat manusia di belahan dunia manapun, ‘nyaris tidak bisa hidup’ dengan tanpa produk China.

Tentu sangatlah disayangkan ketika ada sebagian orang dari umat Islam sendiri yang justru nyinyir terhadap aksi-aksi pembelaan itu. Misalnya, dengan dalih bahwa konflik Uighur bukan konflik agama, melainkan konflik separatisme. Cara berpikir seperti ini biasanya hanyalah ‘lipstik’ untuk menutupi tumpulnya naluri ukhuwah dari hati mereka.

Barangkali merupakan suatu yang wajar jika ada seseorang hendak melihat latar belakang konflik secara utuh, namun jangan sampai hal itu justru menjadi alasan untuk mematahkan semangat ukhuwah. Seseorang boleh-boleh saja berpikir bahwa konflik Palestina adalah urusan konflik teritori, bukan konflik antara Islam dan Yahudi; konflik Rohingya adalah konflik kependudukan, bukan konflik antara Islam dan Budha; dan begitu seterusnya. Namun demikian, pikiran seperti itu jangan sampai dia gunakan sebagai alat untuk mementahkan semangat pembelaan terhadap saudara-saudara Muslim kita yang sedang tertindas.

Apapun latar belakang dan akar dari konflik itu, mereka tetaplah saudara-saudara kita yang sedang tertindas. Apalagi jika penindasan itu sudah menyangkut urusan akidah, ibadah dan identitas budaya. Itu adalah nilai-nilai kehidupan yang disepakati dunia sebagai hak yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan otoritas apapun. Rasa kemanusiaan saja sudah cukup untuk membuat kita merasa iba kepada mereka, apalagi jika ditambah dengan perasaan ukhuwah.

Ada juga orang yang meragukan terjadinya pelanggaran hak asasi di sana, padahal sudah menjadi isu internasional yang menjadi perbincangan serius dalam urusan diplomatik berbagai negara. Keraguan itu lebih disebabkan karena ketidakpekaan terhadap penderitaan sesama Muslim. Santernya isu penindasan itu di dunia internasional sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan naluri ukhuwah, ghairah keagamaan, juga rasa kemanusiaan, untuk Muslim Uighur. Untuk sebuah persoalan yang sama, ada orang yang menjadi peka dalam mencari pijakan dalam membela; ada pula orang yang menjadi tumpul dan mencari-cari alasan untuk nyinyir. Yang membedakan adalah apa yang menjadi isi hati dan otak mereka.

Sebagai perbandingan: dalam agama kita, ada perbuatan yang berhukum sunnah dan berhukum makruh. Kedua hukum itu sama-sama bisa dijadikan pijakan untuk dua sikap yang justru bertolak belakang. Ada orang yang menjadikan hukum sunnah sebagai motivasi untuk melakukannya; dan hukum makruh sebagai motivasi untuk meninggalkannya. Ada pula orang yang sebaliknya: menjadikan hukum sunnah sebagai dalih untuk meninggalkannya; dan hukum makruh sebagai dalih untuk melakukannya.

 Fakta yang sama dijadikan pijakan untuk dua sikap yang saling bertolak belakang. Yang membedakan adalah karena yang satu religius, dan yang satunya lagi sedang terbius…

Ahmad Dairobi/Sidogiri

Spread the love