Sejak dokumen rahasia Tiongkok bocor, mata dunia terutama dunia Islam menyorot nasib Muslim Uighur di kawasan Xinjiang. Tak ayal, berbagai pandangan dan keterangan mengemuka mengenainya. Diketahui bahwa masalah ini memiliki akar sejarah yang panjang, bukan terjadi beberapa tahun belakangan. Namun tetap saja kecaman dialamatkan kepada otoritas Tiongkok karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ada yang berpendapat kasus ini merupakan buntut dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina. N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media berhasil mewawancarai Agung Nurwijoyo, S.Sos, M.Sc, Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Berikut laporannya.
Bisa digambarkan sekilas mengenai Muslim Uighur di Xinjiang?
Terlebih dahulu saya ingin menyinggung Xinjiang sebagai sebuah wilayah sebelum masuk ke posisi Muslim Uighur itu sendiri. Xinjiang ini berarti Daerah Baru. Satu di antara 3 wilayah sensitif bagi Tiongkok: Xinjiang, Taiwan dan Tibet (Xi Zang), selain Laut Cina Selatan tentunya.
Wilayah Xinjiang merupakan “Pintu Gerbang” masuk Tiongkok. Dia merupakan wilayah penting bagi Jalur Sutra dan kini Belt Road Initiatives (BRI). Xinjiang ini juga sangat kaya akan Sumber Daya Alam (SDA): minyak bumi dan mineral.
Ini sedikit menunjukkan peta strategis dari Xinjiang: Wilayah perebutan sejak masa Romance of 3 Kingdoms dan Era Republik. Wilayah yang dulu dikenal dengan Dogu Turkistan (Turkistan Timur) ini juga pernah merdeka di tahun 1933 dan 1944 tetapi gagal karena konflik internal dan pemberian status otonom dengan nama Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR)
Kondisinya, wilayah Xinjiang dihuni oleh Etnis Uighur yang beragama Islam. Sebagai 1 di antara 55 etnis yang diakui bagian dari RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Uighur ini memiliki kedekatan erat dengan etnis/ras Turkic (yang kini mayoritas tinggal di wilayah Asia Tengah hingga Turki) termasuk juga dalam hal bahasa dan budaya. Secara umum, Uighur memiliki perbedaan dengan etnis mayoritas Tiongkok: Han.
Belakangan masalah muslim Uighur kembali mengemuka setelah dokumen rahasia Tiongkok bocor. Agar kita memahami ini secara utuh, sebenarnya akar masalahnya apa?
Masalah Uighur ini bukan masalah yang baru terjadi satu dua tahun terakhir setelah dokumen rahasia Tiongkok bocor, di samping kamp re-edukasi bagi Uighur di Xinjiang yang dibangun Tiongkok. Bagi Tiongkok, masalah Uighur ini terkait dengan 3 evil (3 iblis) yang dihadapi Tiongkok (Separatisme, Radikalisme dan Ekstrimisme) yang berbenturan dengan 3 kepentingan utama Tiongkok (kedaulatan negara, keamanan nasional dan integrasi wilayah).
Kita tidak bisa memisahkan memang realitas ancaman politik dan keamanan yang seringkali terjadi di wilayah Xinjiang dan/atau dilakukan oleh sekelompok orang Uighur seperti misalnya Pemberontakan Baren (1990), kasus Bom di Urumqi (1992), bom di Beijing (1997), bom di Aksu (2010), serangan di Hotan (2011). Di samping itu, adanya ancaman keamanan lahir dari kelompok seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM) / Turkistan Islamic Party (TIP) dan East Turkistan Liberation Organization pun misalnya masuk dalam daftar organisasi teror Uni Eropa, AS dan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).
Selain itu, ada juga ancaman yang hadir dari kurang lebih 5000 orang. Namun, apakah ancaman dari sekelompok orang ini harus berimbas kepada satu juta etnis Uighur masuk ke dalam kamp re-edukasi?
Investigasi Amnesty International dan Human Rights Watch serta laporan PBB misalnya menunjukkan adanya pelanggaran HAM atas etnis Uighur. Kurang lebih ditemukan bahwa adanya pelanggaran terhadap budaya yang dimiliki Uighur dan entitas Muslim, penahanan dalam kamp re-edukasi tanpa pengadilan. Artinya, tidak bisa dimungkiri bahwa adanya pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur.
Di samping itu, juga ada problematika demografis dan gap ekonomi yang dihadapi etnis Uighur terutama setelah adanya kebijakan Pemerintah Tiongkok Xibu da Kaifa (Open up the west) dalam bentuk migrasi etnis Han dari Timur Tiongkok menuju Barat pada tahun 1959 (wilayah Xinjiang) seiring dengan adanya kebijakan Xibu da Kaifa (Open up the west).
Apa seluruh umat muslim di Tiongkok mengalami seperti yang dialami komunitas Uighur ini?
Tidak. Di Tiongkok kita juga mengenal eksistensi Etnis Hui yang juga dikenal dengan sebutan Cina Muslim. Namun, Hui ini memiliki budaya yang identik dengan Han sebagai etnis mayoritas (56% dari seluruh populasi), dan tidak ada perbedaan bahasa seperti halnya Uighur. Mereka tidak mengalami hal serupa Uighur.
Ada selentingan kabar, diduga ini pemberontakan, ada pula kabar bahwa ini usaha pembersihan etnis? Mana yang betul?
Terkait dengan usaha pemberontakan memang ada dilakukan oleh kelompok-kelompok teror seperti yang beberapa saya sebutkan. Namun, problemnya terkait dengan rasa ketidakadilan dan diskriminasi yang diterima oleh orang-orang Uighur di Xinjiang. Apa yang dilakukan Tiongkok terhadap Uighur di Xinjiang adalah bentuk Sinicization (Cinafikasi).
Tentu kita harus mengutuk dan berempati, namun ada kabar ini merupakan perang kekuatan AS dan Cina. Apa kabar ini berdasar?
Tentu. Kita tidak bisa melepaskan diri dari logika dalam politik Internasional: struggle for power. Bisa jadi memang isu Uighur ini digunakan oleh AS dalam memasuki babak baru perang kekuatan AS dan Cina seiring dengan keluarnya Uighur Act yang dilahirkan Kongres AS di tahun 2019. Melihat hal ini pun kita perlu jernih melihat dan tidak terjebak pada tarik-menarik kepentingan negara besar.
Muslim Indonesia atau bahkan dunia tentu merasa sakit. Apa mungkin ini jadi wasilah persatuan muslim dunia?
Kita pahami bahwa isu dunia Islam tidak hanya Uighur dan kondisi dunia Islam hari ini tidak baik-baik saja. Saya masih ragu ini akan jadi wasilah karena sejauh perkembangan isu ini, respon dunia Islam termasuk pasif dan cenderung untuk tidak menggunakan pernyataan sebagai bentuk tekanan terhadap Tiongkok.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi tragedi tersebut, baik karena nilai kemanusiaan maupun asas keimanan?
Melihat kasus Uighur tidak bisa kita sama ratakan seperti halnya kita melihat Muslim Rohingya, Palestina, Suriah, Yaman, dsb. Di samping doa yang kita panjatkan, saya rasa penting untuk kita perkaya literasi mengenai Uighur dan juga Muslim lainnya di seluruh dunia. Kekayaan literasi kita akan mempengaruhi sikap kita dalam menerima berbagai informasi yang kita dapatkan terkait dengan kondisi Uighur hari ini.
Selain itu, juga sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan pendekatan diplomasi melalui soft-diplomacy (diplomasi lembut) misalnya menggagas adanya pertukaran santri di pesantren-pesantren Indonesia dengan di wilayah Xinjiang. Hal ini akan memperkaya khazanah Islam rahmatan lil alamin.