Siapapun pasti mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya Uighur dan segenap problem yang mereka hadapi, hanyalah sekelumit saja dari segunung problem yang dihadapi oleh umat Islam secara global. Selanjutnya, kita juga menyadari bahwa segunung problem yang dihadapi dunia Islam saat ini tak ubahnya gunung es, di mana yang kita lihat sesungguhnya hanyalah bagian puncaknya saja, sedangkan bagian yang jauh lebih besar yang tak terlihat tertanam di dasar samudera.
Jadi diskriminasi, penindasan, bahkan pembasmian terhadap umat Islam yang trejadi di China, Burma, Palestina, India, beberapa negara di Afrika, serta konflik-konflik antar-umat Islam yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, bahkan problem lemahnya umat Islam di Indonesia sekalipun mereka mayoritas, semua itu tak lebih dari percikan-percikan kembang api yang mencuat ke permukaan, di mana bara dan kobarannya yang sangat besar tak terlihat oleh orang kebanyakan.
Secara global bisa dikatakan, bahwa akar dari seluruh problem yang terjadi di dunia Islam itu tentu saja adalah abainya umat Islam terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Padahal sejarah telah berulangkali mengisahkan, bahwa umat Islam pasti menjadi jaya ketika mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam. Sejarah juga selalu menceritakan kisah yang sama ketika umat Islam sudah abai terhadap ajaran-ajaran Islam, yaitu bahwa mereka akan selalu terpuruk dan mudah dikalahkan oleh musuh, betapapun umat Islam kuat secara materi dan unggul secara kuantita.
Kejayaan umat Islam di zaman Khulafa’ur-Rasyidin, Umar bin Abdul-Aziz, Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih, dan para khalifah adil yang lain, semuanya selalu dimulai dengan tunduk-patuhnya umat Islam terhadap ajaran-ajaran Islam. Sedangkan kehancuran umat Islam hingga berhasil dikalahkan oleh musuh-musuh Islam, termasuk oleh imperialisme Barat, adalah karena bobroknya umat Islam dari dalam, sebab mereka telah abai terhadap ajaran-ajaran Islam, dan tertipu oleh godaan duniawi yang fana.
Itulah sebabnya dalam konteks problem dunia Islam mutakhir, seperti Uighur, Rohingya, umat Islam yang minoritas di India, dan lain sebagainya, kita justru belum melihat tanda-tanda adanya reaksi yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dari umat Islam global. Misalnya, adanya satu suara serentak dan bulat dari umat Islam secara global terhadap penindasan kepada umat Islam Uighur oleh pemerintah komunis China. Justru yang terjadi adalah umat Islam memberikan respon yang berbeda-beda dan cenderung kontradiktif terhadap problem ini; ada yang membela Uighur, ada yang adem ayem dan tidak bereaksi apa-apa, bahkan ada juga yang justru membela kebijakan China.
Fenomena tersebut hanya menunjukkan bahwa ajaran Islam yang berupa persaudaraan sesama Muslim tidak benar-benar tertanam kuat dalam diri umat. Padahal ajaran ini ditegaskan langsung dalam al-Quran, bahwa “sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara”. Begitu pula di dalam hadis, ditegaskan bahwa “orang Islam adalah saudara bagi sesama Muslim”. Doktrin yang tertanam kuat di dalam al-Quran dan hadis itupun telah diterapkan dalam kehidupan nyata oleh Baginda Nabi SAW., sehingga persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, serta persaudaraan antar-sahabat Nabi, menjadi model persaudaraan seagama yang paling ideal sepanjang sejarah.
Kokohnya bangunan persaudaran seperti itulah yang menjadi modal paling penting bagi kejayaan umat Islam, sehingga kekuatan dan soliditas umat itu dengan sendirinya membikin musuh-musuh Islam tidak punya celah untuk melemahkan mereka, dan dengan demikian mereka gentar terhadap umat Islam, tidak berani berbuat ulah, sebagaimana selalu kita saksikan di dalam episode-episode perjalanan kekhalifahan yang berwibawa. Itulah sebabnya para ulama mengatakan, bahwa persaudaraan sesama Muslim menjadi kunci kemajuan umat, dan rusaknya persaudaraan sesama Muslim juga menjadi penyebab mundur dan hancurnya umat.
Absennya nilai-nilai persaudaran dan persatuan seagama dalam diri umat ini juga terlihat sangat nyata dari rapuhnya para pemimpin negeri-negeri Islam dan tokoh-tokoh umat Islam. Semestinya, peran para pemimpin dunia Islam dan tokoh-tokoh umat Islam paling dibutuhkan perannya dalam menyelesaikan problem keumatan global, karena bagaimanapun mereka memiliki power dan bisa berbuat lebih banyak dan lebih efektif; suara mereka didengar, langkah-langkah mereka diperhitungkan, kebijakan mereka bisa memberikan dampak instan.
Sungguh disayangkan, organisasi seperti OKI hingga saat ini belum bisa memberikan dampak yang diharapkan. Lebih disayangkan lagi, ketika beberapa waktu yang lalu para pemimpin dunia Islam berkumpul untuk membahas persoalan umat Islam Uighur, ternyata Presiden Indonesia tidak hadir, padahal Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, yang suara dan keterlibatannya sangat diharapkan. Lagi pula, beberapa waktu yang lalu Presiden Indonesia oleh suatu sumber ditetapkan sebagai salah satu tokoh Muslim yang paling berpengaruh, dengan rangking yang cukup tinggi. Lalu apa artinya pengaruh itu jika tak bisa dipakai untuk membantu problem yang sedang dihadapi umat Islam?
Bahkan jika dilihat dari peta politik dunia Islam saat ini, tampaknya persatuan umat Islam dan para pemimpin umat Islam hingga saat ini masih sebatas utopia belaka, dan karena itu problem umat Islam di masa depan tampaknya akan jauh lebih rumit. Karena bagaimanapun, dunia Islam sudah terkotak-kotak dan mereka menjadikan nasionalisme sebagai pondasi utama, sedangkan agama ada di urutan nomor sekian yang posisinya kurang diperhatikan.
Akibatnya, ketika terjadi penindasan terhadap sebagian umat Islam yang dilakukan oleh suatu negara, para pemimpin dunia Islam tidak akan mengambil risiko dengan bertindak secara spontan. Bahkan mereka akan meninjau terlebih dahulu sebelum bertindak: apakah negara penindas itu memiliki hubungan bilateral dengan kita? Apakah kita punya hubungan bisnis dengan mereka? Apakah kita rutin menerima hibah dari mereka? Atau apakah kita punya hutang kepada mereka?
Tentu, sudah maklum jika lembeknya pemerintah Indonesia terkait persoalan umat Islam Uighur ini karena hubungan Indonesia dengan China, terkait investasi dan utang yang digelontorkan oleh China ke Indonesia. Akhirnya para petinggi pemerintah hanya mengatakan, “kami tidak akan melakukan intervensi terhadap persoalan domestik negara lain”. Hal yang sama juga menjadi jawaban kenapa negara-negara Islam tidak memiliki taring terkait dengna penjajahan Israel terhadap Palestina. Tentu karena hampir semua negeri-negeri Islam memiliki hubungan yang sangat erat dengan pemerintah pendukung utama Israel: Amerika.
Moh. Achyat Ahmad / sidogiri