مِنْ عَلاماتِ مَوْتِ القَلْبِ عَدَمُ الحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ المُوَافَقَاتِ. وتَرْكُ النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزََّلَّاتِ

Di antara tanda matinya hati adalah tidak ada perasaan sedih apabila terlewatkan kesempatan beramal dan tidak adanya penyesalan atas bermacam pelanggaran yang telah engkau lakukan.

Pada pembahasan kali ini, Syekh Ibnu Athaillah membawa istilah ‘hati mati’. Lantas bagaimana meneliti hati yang masih hidup atau telah mati? Syekh Ramadhan al-Buthi menjelaskannya sebagai berikut, “Hati yang hidup adalah hati yang masih indah dengan hiasan cinta, takzim serta khauf kepada Allah. Adapun hati yang mati adalah hati yang telah meniadakan semua hal tersebut.”

Tentu yang dimaksud dengan ‘hati’ di sini bukanlah sebongkah daging yang biasa dibicarakan para medis. ‘Hati’ di sini lebih mengarah pada dimensi batin yang menjadi sumber kebaikan ataupun keburukan.

Rasulullah menyampaikan,

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad. Namun, apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Untuk mendeteksi hati yang mati, Syekh Ibnu Athaillah telah memberikan dua indikator besar. Pertama, tidak ada perasaan sedih bila terlewatkan kesempatan beramal. Kedua, tidak adanya penyesalan atas bermacam pelanggaran yang telah dilakukan. Kedua faktor ini akan menjadi instrumen evaluasi diri. Apakah hati ini masih hidup atau telah mati?

Namun, apabila kita lebih jeli meneliti, boleh jadi akan terbesit sebuah pertanyaan besar yang perlu mendapatkan jawaban. Perhatikan indikator pertama, “Tidak ada perasaan sedih apabila terlewatkan kesempatan beramal.” Dengan indikiator semacam ini, maka orang yang tidak mengerjakan amal baik, shalat misalnya, akan tetapi di dalam hatinya masih terdapat rasa sedih, hatinya belum dikatakan mati.

Atau indikator kedua, “Tidak adanya penyesalan atas bermacam pelanggaran yang telah dilakukan.” Dengan artian, orang yang banyak melanggar aturan Allah sekalipun, tetapi dia masih menyesal, maka hatinya belumlah mati.

Baca juga: Konteks Penolakan Imam Syafii Terhadap Ilmu Kalam

Maka jawabnya adalah, bahwa manusia diberi keutamaan oleh Allah untuk memiliki hati yang luar biasa. Hati ini bisa dipenuhi dengan cahaya keimanan serta cinta kepada Allah, yang akan menjadikan pemiliknya lebih mulia dari para malaikat. Manusia dengan perangkat kerasnya, akan mampu menembus dimensi lunak makrifatullah.

Sebaliknya, manusia juga hidup dengan kekuatan yang sangat berbatas. Dengan lemahnya kontrol terhadap hati, manusia pun bisa lebih hina dari pada hewan yang kita anggap paling hina sekalipun; anjing. Mengapa demikian? Karena tidak ada satu nash pun yang mengatakan bahwa ada anjing masuk neraka. Sedangkan nash yang mengatakan bahwa ada anjing yang masuk surga karena kesetiaan kepada majikannya sudah jelas; anjing pemuda Ashhabul-Kahfi.

Dengan kekuatan yang berbatas, manusia akan banyak berperang melawan hawa nafsu, terpedaya tipu daya setan, serta terjerumus dalam kesesatan. Maka kalah-menang dalam peperangan tak bertepi ini adalah sebuah kelaziman.

Ketika hati dipenuhi iman, kemenangan akan mudah didapat, manusia bisa lebih baik dari pada malaikat. Dan ketika hati kosong dari iman, dia akan hancur dibinasakan, manusia akan lebih hina dari pada binatang. Karena manusia memang diciptakan lemah. (An-Nisa’ [4]: 28)

Baca juga Ketika Barat Menciptakan Tuhannya Sendiri

Karena fluktuasi iman di dalam hati adalah hal yang fitrah, terkadang naik terkadang turun, maka Allah tidaklah menghakimi hidup atau matinya hati dari perbuatan seseorang. Apabila fulan meninggalkan perbuatan baik maka hatinya mati. Apabila fulan mengerjakan perbuatan buruk, maka hatinya mati. Tidak demikian!

Allah tidak melihat seketika perbuatan manusia. Karena berbuat salah adalah keniscayaan. “Setiap anak Adam itu pasti bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” (al-Hadis)

Yang Allah lihat jauh kepada bagaimana manusia bersikap setelah dia berbuat. Apabila dia berbuat baik maka Allah akan melihat apakah setelah kebaikan itu akan dihiasi dengan kebaikan-kebaikan yang lain. Atau malah sebaliknya, kebaikan itu malah dihancurkan dengan penyakit sombong, riya, ataupun ujub.

Lalu apa hikmah adanya benturan antara naik turunnya iman ini? Di sini Allah ingin menyampaikan bahwa jika kita berbuat baik, bersyukur adalah jalan terbaik. Bahkan seandainya kita telah bersyukur, bersyukurlah lagi karena kita masih diberi hidayah dan kesempatan untuk bersyukur. Maka syukur kita pun adalah syukur yang perlu disyukuri.

Dan seandainya kita berbuat buruk. Jangan lantas keburukan itu semakin menyekat jarak kita dengan Allah. Apabila orang lain terus menunggu keburukan kita maka Allah akan terus menunggu taubat kita. Bukankah sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat? Wallahu A’lam.

Spread the love