Pada edisi sebelumnya, dijelaskan bagaimana hukum telur hewan yang dilanjutkan dengan pembahasan hukum telur pada induk yang sudah menjadi bangkai. Kelanjutan dari pembahasan tersebut, edisi kali ini mengurai hukum telur yang telah mengalami perubahan, baik telah muncul darah maupun calon ayam atau burung pada telur.

Setidaknya ada tiga kondisi telur yang telah mengalami perubahan; gagal menetas (abor: Jawa), ada tanda pertumbuhan janin, seperti darah dan daging, sudah ada janin dan siap menetas.

Telur ayam atau burung yang sudah tumbuh darah, artinya, sudah berproses terciptanya hewan pada telur, ada dua kemungkinan; masih layak untuk janin ayam atau betul-betul rusak. Jika terjadi kerusakan pada telur, dan kemungkinan sudah tidak mungkin tercipta hewan di dalamnya, telur tersebut berhukum najis. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Nawawi Banten pada kitab Nihayah az-Zainnya:

“فائدة: إذا فسد البـيض بحيث لا يصلح للتخلق فهو نجس، وكذا بـيض الميتة وما عدا ذلك طاهر مأكول ولو من حيوان غير مأكول كالحدأة والغراب والعقاب والبومة والتمساح والسلحفاة ونحوها إلا بـيض الحيات.”

“Apa yang dapat dipahami dari hal ini adalah bahwa jika telur sudah rusak (busuk) sehingga tidak mungkin berkembang hidup, maka telur tersebut dianggap najis. Begitu pula dengan telur dari hewan yang sudah mati (telur pada bangkai). Selain itu, telur dari hewan-hewan tertentu dianggap suci dan boleh dimakan, meskipun hewan tersebut sebenarnya tidak boleh dimakan, seperti burung rajawali, gagak, elang, burung hantu, buaya, kura-kura, dan sejenisnya. Namun, terkecuali telur dari golongan ular.”

Apakah telur tersebut akan berkembang menjadi hewan atau tidak dalam kondisi demikian, tentunya harus diketahui dari ahli. Sebagaimana redaksi dalam kitab Fath al-Jawad halaman 71:

“ولو انقلبت البيضة دما كلا أو بعضا وكان غير المنقلب مائعا حرم أكلها حيث لم تصلح للتخلق لنجاسة الدم وتنجيسه لغير المنقلب المائع ويعلم ذلك بقول أهل الخبرة.”

“Jika telur telah berubah darah, baik sebagian maupun seluruhnya, dan bagian yang tidak berubah menjadi cairan, maka haram untuk memakannya. Hal ini disebabkan karena telur yang tidak dapat berkembang hidup dikategorikan najis akibat darah dan menjijikkan cairan yang tidak mengalami perubahan. Pengetahuan mengenai hal ini dapat diketahui melalui pendapat ahli.”

Dari pemahaman ini, jika telur sudah mengandung darah dan masih memungkinkan berkembang menjadi hewan, maka telur tersebut masih boleh dikonsumsi. Namun, jika telur tersebut telah rusak dan bau, seperti putih dan kuning telur sudah bercampur, menurut pendapat Ashah, hal tersebut halal untuk dikonsumsi. Namun, jika telur tersebut membusuk tanpa alasan yang jelas, seperti penyimpanan terlalu lama, atau ada penyebab tertentu, seperti induknya yang gagal mengerami, maka menurut kitab Fath al-Jawad di atas, dikatakan:

“ولو مذرت بأن احتلط بياضها بصفرتها أو أنتنت فالأصح حل أكلها لأن مجرد الاحتلاط وتغير الرائحة لا يفيد تنجيسًا ولا تحريمًا ولا فرق في ذلك كما قال الطبلاوي على التبيان بين كون الاحتلاط وتغير الرائحة بلا سبب أو بسبب حضن الدجاجة لها أو وضعها في محل أو إرسال الدخان عليها ليجيء منها الفرخ ففسدت بسبب ذلك كقطعة لحم انتنت ودودت فإنه يحل أكلها على الصحيح مع الكراهة مفردة ومع الدود الذي تولد منها قبل انفصاله عنها بخلاف دودها المنفرد عنها والذي طرأ عليها من غيرها وعاد اليها بعد انفصاله عنها فانه حينئذ لا يحل.”

“Jika telur membusuk dan putih serta kuningnya sudah bercampur, atau terjadi perubahan bau, menurut pendapat Ashah, telur tersebut halal untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena hanya pencampuran dan perubahan bau tanpa adanya darah tidak menyebabkan najis dan tidak diharamkan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Imam ath-Thablawi dalam kitab at-Tibyan. Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa pencampuran antara putih dan kuning telur tanpa sebab yang jelas atau disebabkan oleh induk yang mengerami, atau telur ditempatkan pada tempat tertentu, atau melalui pengasapan agar bisa menetas. Jika telur tersebut kemudian membusuk, misalnya karena penyimpanan terlalu lama atau adanya sebab tertentu, seperti gagalnya sang induk dalam mengeram, menurut kitab Fath al-Jawad, dijelaskan:

“ولو مذرت بأن احتلط بياضها بصفرتها أو أنتنت فالأصح حل أكلها لأن مجرد الاحتلاط وتغير الرائحة لا يفيد تنجيسًا ولا تحريمًا ولا فرق في ذلك كما قال الطبلاوي.”

“Jika telur membusuk dan putih serta kuningnya sudah bercampur, atau terjadi perubahan bau, menurut pendapat Ashah, telur tersebut halal untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena hanya pencampuran dan perubahan bau tanpa adanya darah tidak menyebabkan najis dan tidak diharamkan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Imam ath-Thablawi dalam kitab at-Tibyan.”

Selanjutnya, jika sudah tumbuh janin hewan pada telur, ulama masih memilah tergantung pada kondisi calon hewan pada telur tersebut. Pemilahannya, jika pada telur, calon hewan ditemukan belum sempurna bentuknya, masih berupa potongan daging semacam mudhghah, atau sudah berbentuk, tetapi belum hidup tertium ruh. Telur dengan calon hewan seperti ini boleh dikonsumsi. Namun demikian, jika telur tersebut berasal dari hewan yang tidak boleh dimakan, maka haram dikonsumsi. Kelanjutan redaksi di atas dalam kitab Fath al-Jawaad halaman 71-72 menyebutkan demikian:

“ولو كسرت بيضة طائر مأكول ووجد داخل جوفها فرح لم يكمل خلقه كأن صار قطعة لحم كالمضغة أو كمل خلقه لكن كسرت عنه البيضة وخرج قبل نفخ الروح فيه جاز أكله لأنه طاهر غير مستقذر كما قالوا بذلك في مضغة خرجت من حيوان مأكول من أنها طاهرة وأنها تحل بالذكاة لأمها بل الفرخ أولى بالطهارة من المضغة لأنه مستحيل من طاهر بلا خلاف بخلاف المضغة فانها مستحيلة عن المني وفيه قول بالتنجيس أما إذا كانت بيضة غير مأكول فلا يحل لك أكل ما في جوفها من الفرخ لأنه حيوان غير مأكول.”

“Jika telur burung yang dapat dimakan pecah, dan di dalamnya ditemukan calon hewan yang belum sempurna bentuknya, seperti potongan daging seperti mudghah, atau sudah sempurna bentuknya tetapi keluar sebelum ditiupkan ruh, maka boleh memakannya karena calon hewan tersebut suci dan tidak termasuk dalam kategori menjijikkan, sebagaimana disampaikan oleh para ulama terkait dengan segumpal daging yang keluar dari hewan yang boleh dimakan, yang dianggap suci. Ia halal karena proses penyembelihan induknya. Daging pada telur tentu lebih suci dari segumpal daging tersebut, karena janin pada telur mengalami perubahan bentuk dari sesuatu yang suci tanpa kontroversi, sementara daging dari hewan yang disembelih induknya merupakan perubahan dari sperma yang menurut beberapa pendapat dianggap najis. Adapun jika telur tersebut berasal dari hewan yang tidak boleh dimakan, maka tidak halal bagi kamu untuk memakan piyik yang ada di dalamnya.”

Dengan demikian, telur yang sudah mengalami perubahan, tergantung pada kondisi telur, apakah najis sehingga diharamkan untuk dikonsumsi, atau suci sehingga halal untuk dikonsumsi. Jika terdapat darah dan masih memungkinkan untuk berkembang menjadi hewan, maka telur tersebut masih dianggap suci dan boleh dikonsumsi. Namun, jika terdapat darah dan tidak memungkinkan untuk berkembang, maka telur tersebut dianggap najis dan diharamkan untuk dikonsumsi.

Jika telur membusuk tanpa adanya darah, hanya terjadi pencampuran antara kuning dan putih telur, menurut pendapat Ashah, halal untuk dikonsumsi, karena tidak dihukumi najis. Hanya saja, jika telur tersebut sudah membusuk dan berbau tidak sedap, menurut Shahih, sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi.

Jika sudah ada calon janin pada telur, jika belum tertiup ruh, maka boleh dikonsumsi, kecuali telur hewan yang tidak halal dikonsumsi. Namun, jika janin pada telur sudah hidup, maka haram dikonsumsi, kecuali setelah melalui proses penyembelihan sesuai dengan aturan dalam penyembelihan hewan.

Wallahu a’lam.

Spread the love