“Si vis pacem, para bellum.” Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang (dengan segala muslihat nya).
Bukankah demikian pepatah Romawi berkelakar? Kecuali kalimat terakhir di dalam kurung. Itu murni dari saya. Setelah mengamati berbagai peperangan, menipu musuh adalah sebuah kejujuran, dan jujur pada musuh adalah sebuah penghianatan. Itulah peperangan.
Dunia kembali begidik beberapa hari terakhir dengan isu yang memanas antara Amerika dan Iran, atau isu yang selalu panas antara Israel dan Palestina. Bahkan isu yang hanya hangat-hangat ketiak seperti antara Indonesia dengan Tiongkok di Natuna.
Maka sebenarnya, hukum rimba itu tetap berlaku hingga saat ini. Hanya saja mereka lebih santun dengan membawa nama kemanusiaan dan perserikatan bangsa-bangsa. Maka benar, bila kita ingin mendapatkan kedamaian, kita harus selalu siap berperang, dengan segala muslihatnya.
Saya teringat bagaimana adu muslihat antara Rasulullah dengan musuh-musuh Allah dalam perang Ahzab, sebagai rentetan tipu muslihat di tanah Badar dan tanah Uhud. Awalnya, Quraisy Mekkah menggunakan muslihat dengan membentuk sebuah koalisi besar antara musyrikin, munafiqin, dan Yahudi Arab. Tergabung 10.000 pasukan siap tempur mengepung Madinah. Muslihat ini dibalas oleh Rasulullah dengan membentengi Madinah dengan parit besar di sisi utara, satu-satunya jalan menuju Madinah. Sisi barat dan timur tidak dapat ditembus karena geografis berupa pegunungan, dan sisi selatan ditahan oleh benteng Bani Quraidzah, Yahudi Madinah yang sudah mengikat perjanjian dengan Rasulullah.
Tidak habis akal, kaum Ahzab melancarkan muslihat kedua. Mereka membujuk klan Bani Quraidzah agar mau membuka pintu dengan iming-iming bahwa mereka akan berhasil menghancurkan kota Madinah, sehingga Bani Quraidzah akan terlepas dari perjanjian dengan Rasulullah.
Berhasil. Kaab bin Asad, pemimpin Bani Quraidzah menyetujui persekongkolan itu. Hanya saja, mata-mata umat Islam mengendus muslihat ini. Maka Rasulullah kembali membalas muslihat mereka dengan muslihat yang lain.
Rasulullah mengutus Nuaim bin Mas’ud al-Asyja’i, tokoh musyrikin Bani Ghatfan berpengaruh yang baru masuk Islam. Untungnya, belum ada yang mengetahui keislamannya selain Rasulullah. Maka dia berangkat menuju klan Bani Quraidzah.
“Wahai Bani Quraidzah, orang Quraisy Mekkah hanya mempedaya kalian. Mereka meminta kalian membuka pintu agar mereka bisa masuk ke Madinah. Iya kalau mereka menang melawan Muhammad. Kalau mereka kalah, mereka akan kabur meninggalkan kalian karena mereka tinggal jauh di Mekkah, sedangkan kalian akan dibantai oleh Muhammad dan pasukannya karena kalian berada dekat dengan mereka. Bila tidak percaya, coba kalian minta jaminan kepada mereka bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian.”
Benar saja, hasutan Nuaim bin Mas’ud berhasil mempengaruhi Bani Quraidzah. Setelah itu, dia datang pada pimpinan musyrik Mekkah dan juga menghasut hal yang sama kepada mereka.
“Bani Quraidzah itu tidak benar-benar ingin membuka pintu bentengnya. Mereka hanya ingin mendapatkan uang jaminan dari kalian karena mereka masih terikat perjanjian dengan Muhammad. Setelah mereka mendapatkan uang jaminan, mereka tidak akan membuka pintu. Kalau tidak percaya, kalian datangi mereka sekarang. Minta mereka agar langsung membuka pintu mereka. Pasti mereka tidak akan mau.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh utusan Rasulullah ini, orang Quraisy segera mengirim utusan kepada Bani Quraidzah, meminta agar mereka membuka pintu sekarang juga. Mereka tidak ingin menunda-nunda perang dengan Muhammad.
“Benar kata Nuaim, mereka hanya ingin memanfaatkan kita,” kata Bani Quraidzah.
“Baik, kami akan membuka pintu ini tapi setelah kalian memberikan kami uang jaminan karena kami tidak tahu apakah kalian akan meninggalkan kami setelah ini atau tidak.”
Quraisy Mekkah pun berkata, “Benar kata Nuaim, mereka hanya ingin mendapatkan uang jaminan saja.”
Maka seketika koalisi mereka hancur di sisi khandaq yang membentengi Madinah.
Begitulah perang. Penuh muslihat. Operasi senyap di antara petang malam. Bagaimana dengan Natuna? Semoga Indonesia selalu dijaga oleh Allah.
M. Muhsin Bahri/sidogiri