مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ، وَلَا كَثُرَ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ رَاغِبٍ
‘’Amal perbuatan yang lahir dari hati zâhid (orang zuhud) akan sangat bernilai, sedangkan amal perbuatan dari orang yang penuh kecintaan dunia tidak akan berarti apa-apa.”
Kalam hikmah Syekh Ibnu Athaillah kali ini merupakan perbandingan antara amal perbuatan yang lahir dari pribadi yang zâhid dengan perbuatan yang lahir dari sosok pecinta dunia. Dan ternyata, kualitas amal seorang zâhid jauh lebih tinggi dari pada amal pecinta dunia, meski secara kuantitas terbilang kecil.
Sebelum menjelaskan lebih jauh, mungkin masih ada yang belum paham betul arti zâhid. Dalam kitabnya, Syekh Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa zâhid adalah orang yang bersifat zuhud. Sedangkan sifat zuhud adalah sifat yang mendorong seseorang tidak lagi menghiraukan segala hal selain Allah. Yang ada di dalam hati dan pikirannya hanya Allah. Akan tetapi, sifat zuhud tidak mengharuskan seseorang menjauh dari dunia. Karena mau tidak mau saat ini kita masih berada di alam dunia. Hanya saja, sifat zuhud akan membuat pemiliknya menjadikan dunia sebatas mampir di dalam saku, tidak sampai masuk ke dalam hati. Begitulah zâhid.
Zâhid akan tetap bekerja mencari nafkah di saat waktunya mencari nafkah. Akan tetapi, dia mencari nafkah sebatas menunaikan kewajiban, tanpa harus bersusah payah tanpa mengenal waktu. Apabila azan sudah berkumandang, maka zâhid akan bersegera menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba kepada sang pencipta.
Zâhid tidak pula menghiraukan dunia secuilpun. Bahkan seandainya dia harus bermandikan intan permata, hal itu tidak akan menggoyahkan akal dan hatinya. Dan sikap inilah yang selalu diajarkan oleh Rasulullah kepada para shahabatnya. Beliau selalu mewanti-wanti agar hati mereka bersih dari fitnah cinta dunia dan segala macam tipu dayanya.
Suatu ketika Rasulullah berjalan di sebuah pasar. Beliau diikuti oleh banyak shahabat di kanan kiri beliau. Tiba-tiba Rasulullah menemukan seekor anak kambing yang mati dengan kedua telinga yang kecil. Setelah itu, beliau mengangkat anak kambing tersebut seraya bertanya, “Siapakah di antara kalian yang mau membeli kambing ini seharga satu dirham?” Para shahabat menjawab, “Tentu kami tidak ingin membelinya ya Rasulullah. Untuk apa membeli kambing yang telah menjadi bangkai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ada di antara kalian yang ingin memilikinya tanpa harus membayar?” Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya kambing itu masih hidup, maka kambing tersebut cacat, yaitu telinganya yang kecil. Terlebih lagi kini ia telah menjadi bangkai.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu di sisi Allah nilainya lebih hina daripada hinanya bangkai anak kambing ini di mata kalian.”
Begitulah Rasulullah mengumpamakan hinanya dunia dengan hinanya bangkai anak kambing. Jangankan untuk dibeli, bahkan seandainya diberikan secara gratispun tidak ada orang yang menerima.
Selain itu, Rasulullah juga pernah bersabda:
عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ الله :مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Maka tatkala seorang zâhid beribadah menghadap kepada Allah, meski hal itu terlihat sangat sedikit dan kecil, akan tetapi ibadah itu akan bernilai begitu besar di hadapan-Nya. Bayangkan saja, ketika seorang zâhid melaksanakan dua rakaat shalat sunnah. Dia akan memurnikan hatinya dari semua perkara selain Allah. Dia akan berpindah dari dari alam dunia kepada alam musyahadah di hadapan Sang Pencipta. Tatkala dia membaca surah Fatihah, dia akan membacanya dengan totalitas, mencurahkan seluruh pikiran, hati dan jiwanya hanya kepada Allah. Setiap ayatnya akan ditadabburi. Sehingga dia akan tenggelam di dalam indahnya berkomunikasi dengan Allah. Begitulah orang yang hilang urat cintanya kepada perkara selain Allah.
Hal itu semua bisa terjadi tiada lain karena hati zâhid betul-betul dicurahkan hanya kepada Allah. Hati yang menjadi tonggak rasa, cinta, bahagia dan duka, telah sepenuhnya diserahkan kepada Dzat Yang Memiliki Hati. Maka tentu ucapan, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya milik Allah tuhan semesta alam,” bukanlah sekadar ucapan yang lancar meliwati lisan, tanpa membekas di dalam hati.
Hal ini sangat berbeda dengan manusia dengan hati penuh kecintaan kepada dunia. Di mana hatinya selalu dibebani dengan urusan dunia. Selalu dipenuhi dengan keinginan-keinginan dan nafsu, cinta jabatan dan kekuasaan, berharap mendapatkan pangkat dan kedudukan. Bertambahkan harta dan kenikmatan.
Maka hati orang-orang yang sedemikian ini akan selalu dipenjara oleh nafsu duniawi. Dia akan selalu berusaha tunduk dan tawadhuk pada rajanya. Bergerak maju ataupun mundur, sekiranya mendapatkan perhatian dari atasannya. Yang pada akhirnya hanya berharap ada percikan harta ataupun tahta yang bisa didapatkan.
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).”
Baca juga: Menyelami Lautan HIkmah Tafakur Alam Semesta
Baca juga: Hikmah Qashar
Baca juga: Merenungi Hikmah Dari Kata Nikah