Secara literal, berdasarkan pernyataan di atas, setiap orang yang belajar secara autodidak maka sebenarnya dia sedang menyambung sanad pada setan. Tentu saja, setan tidak akan mengajarkan kebenaran. Spesialisasi setan adalah ajaran kesesatan. Hal ini seolah membatasi proses transfer keilmuan hanya melalui sistem tatap muka serta terkesan menutup ruang kreasi para pelajar untuk berinovasi dalam ilmu yang digeluti tanpa tergantung pada guru. Namun, sebelum terlalu jauh menyimpulkan, ada beberapa poin yang perlu diulas terkait maksud di balik kalimat ini.
Pertama, dalam beberapa literatur klasik, kalimat di atas disebut berasal dari dua ulama sufi tersohor. Imam al-Qusyairi dalam ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (hal. 181) menyandarkannya pada Syekh Abu Yazid al-Bisthomi dengan redaksi bahasa;
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ
Sedangkan di kitab Qilâdatul-Jawâhir fî Dzikr al-Ghauts ar-Rifâ’î wa-Atbâ’ihî alAkâbir (hal. 143), pernyataan tersebut disandarkan oleh Sayyid Muhammad Abul Huda Afandi ar-Rifa’i kepada Syekh Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir dengan memakai kalimat;
مَنْ لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa kalimat ini secara khusus diperuntukkan untuk murid yang hendak suluk di jalan Allah. Selain itu, Kata “murid” di sini merupakan istilah khusus dalam tasawuf yang disematkan pada setiap pemula yang hendak meniti jalan untuk wushul pada Allah. Dan, tentunya guru di sini juga bukanlah sembarang guru. Tugasnya tidak hanya menyampaikan ilmu. Imam al-Ghazali dalam Ayyuhâ al-Walad menuturkan, “Ketahuilah bahwa sâlik (orang yang suluk) seharusnya memiliki guru pembimbing yang bertugas untuk mengeluarkan pekerti buruk dan menggantinya dengan pekerti yang baik. Guru pendidik dalam hal ini ibarat petani yang bertugas menghilangkan duri dan tanaman pengganggu di sela-sela tumbuhan yang ditanam agar tumbuh dengan baik.”
Senada dengan penjelasan ini, Imam Abdul Wahhab asy-Sya’rani menyampaikan dalam Lathâiful-Minan wal-Akhlaq (hal. 151), “Fungsi guru hanyalah untuk memperpendek jalan yang hendak dilalui murid. Siapa pun menempuh jalan tersebut tanpa seorang guru maka ia akan tersesat dan telah menyia-nyiakan umur tanpa tercapainya tujuan. Sebab, guru ibarat penunjuk jalan bagi para jamaah haji ke kota Makkah di malam yang gelap gulita” Lebih tegas lagi, Imam al-Qusyairi ar-Risâlah al–Qusyairiyyah, “Seorang murid harus terdidik melalui guru. Jika ia tidak memiliki guru, selamanya ia tidak akan memperoleh keberuntungan.”
|BACA JUGA: MEWASPADAI PERPECAHAN UMAT
Kedua, kendatipun cakupan maknanya lebih sempit, tetapi hal ini tidak menafikan keharusan berguru dalam ilmu syariat secara umum. Logikanya cukup sederhana. Ilmu syariat adalah aturan yang berasal dari Tuhan. Informan tunggalnya adalah para utusan-Nya. Oleh karena itu, mau tidak mau, ilmu syariat harus dipelajari dari seorang guru yang memiliki mata rantai keilmuan yang bersambung dengan sang utusan. Di sisi lain, ilmu syariat dipelajari untuk diyakini atau diamalkan. Tidak hanya sebagai penambah wawasan dan sumber inspirasi yang tak mengikat. Sebatas tahu tidaklah cukup sebelum diikuti pengamalan. Sementara, penerapan ilmu syariat harus sesuai dengan praktik yang diteladankan oleh para ulama. Mempelajarinya secara otodidak sangat berisiko memunculkan pemahaman baru atau bahkan praktek baru yang malah berlawanan dengan syariat itu sendiri. Memilih guru pun juga tidak boleh asal-asalan. Berguru pada orang yang tidak kompeten atau tidak jelas sanad keilmuannya sama saja dengan berguru pada setan. Imam Ibnu Sirin pernah berkata, “Ilmu ini agama maka lihatlah dari siapa kalian mempelajari agama kalian.”
Ketiga, belajar Autodidak melalui lembaran-lembaran buku tidak diperkenankan saat mempelajari ilmu syariat dasar yang wajib diketahui. Keberadaan guru amat diperlukan di sini untuk menghindari kesalahpahaman yang berakibat fatal. Selebihnya, bisa dipelajari sendiri selama memiliki ilmu penunjang yang lengkap untuk membaca dan memahami dari sumber-sumber yang mu’tabar (diakui) serta direkomendasikan oleh para ulama. Minimal, bisa membaca dan memahami kitab kuning yang menjadi referensi dominan dalam ilmu syariat Islam. Tentunya dengan pengawasan guru, proses pendalaman akan lebih cepat dan terarah. Di sinilah, kebiasaan berkonsultasi, bertukar pikiran dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pandangan selama masih di ranah ilmiah sangat menentukan alur pemikiran dan pemahaman seseorang dengan tetap mengacu pada pendapat mayoritas dan konsensus para ulama.
Syekh Badruddin bin Jamaah memaparkan dalam Tadzkiratus-Sâmi’ wal-Mutakallim, “Berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk mencari guru yang memiliki pemahaman sempurna tentang ilmu syariat dan sering bermusyawarah dan berkumpul dengan para ulama terpercaya di zamannya. Jangan berguru pada orang yang belajar dari lembaran-lembaran buku dan tidak berguru pada ulama-ulama yang cerdas.”
Walhasil, sosok seorang guru dalam mempelajari ilmu syariat secara umum sangatlah diperlukan demi menjaga keutuhan ajaran dan keseragaman paham dalam Islam, sekaligus menghindari timbulnya kerancuan dan keberagaman pandangan di ranah yang tidak menerima perselisihan, baik berupa model keyakinan maupun bentuk penerapan.





