Dalam kajian ilmu Hadis, metode seorang murid dalam mendapatkan riwayat dari gurunya itu ada delapan. Pertama, as-samâ’, yakni seorang guru yang membaca dan didengarkan oleh muridnya. Periwayatan dengan metode ini dibenarkan oleh para ulama tanpa ada khilaf. Kedua, al-qirâ’ah ‘alasy-syaikh, yakni muridnya yang membaca, sedangkan gurunya hanya mendengarkan. Metode ini juga dibenarkan oleh para ulama tanpa ada khilaf. Sebagian ulama yang memiliki penilaian sangat ketat saja yang tidak membolehkan.
Ketiga, al-ijâzah, yaitu seorang guru memberikan ijazah kepada muridnya, baik itu materinya sudah ditentukan ataupun tidak. Dalam praktinya, metode al-ijâzah ini terdapat beberapa macam, di antaranya seorang guru mengijazahkan suatu kitab tertentu kepada seseorang yang juga tertentu, semisal guru tersebut berkata, “Aku mengijazahkan kepadamu kitab Shahîh al-Bukhâri.” Praktik selanjutnya adalah seorang guru mengijazahkan materi yang tidak tertentu kepada seseorang secara tertentu, semisal dengan perkataan, “Aku mengijazahkan kepadamu seluruh riwayat yang pernah aku dengar.” Ada juga praktik mengijazahkan materi yang tidak diketahui secara pasti oleh orang yang menerima ijazah, semisal, “Aku mengijazahkan kepadamu satu kitab sunan.” padahal guru tersebut memiliki banyak riwayat kitab sunan. Terakhir, praktik ijazah yang diberikan kepada orang yang belum ada, semisal, “Aku mengijazahkan kepada Fulan dan anak-anaknya” sementara orang yang menerima ijazah belum memiliki anak. Hukum menyampaikan dan mengamalkan riwayat yang didapat dengan metode al-ijâzah melalui praktik yang pertama tadi diperbolehkan, sedangkan menyampaikan riwayat yang didapat dari praktik-praktik ijazah yang lain masih diperselisihkan oleh para ulama.
Keempat, al-munâwalah, praktik metode ini adalah seorang guru memberikan kitabnya kepada murid dan berkata, “Ini riwayatku dari fulan. Riwayatkanlah kitab ini dariku. ”Lalu guru tersebut memberikan kitabnya atau memijamkannya untuk disalin. Menyampaikan riwayat yang didapat dari praktik ini diperbolehkan. Adapun menyampaikan riwayat melalui praktik al-munâwalah yang tanpa ada perintah meriwayatkan dari guru, semisal gurunya hanya berkata, “Ini kitab yang pernah aku riwayatkan. ”Menurut qaul shahîh tidak diperbolehkan.
Kelima, al-kitâbah, yaitu seorang guru menuliskan riwayat yang pernah dia dengar untuk muridnya. Mengenai hukum menyampaikan riwayatnya, baik ketika memberikan tulisan itu gurunya sekaligus mengijazahkan atau tidak, seorang murid tetap diperbolehkan untuk menyampaikan riwayat tersebut. Keenam, al-i’lâm, yaitu seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa beliau pernah mendengar suatu riwayat. Hukum meriwayatkannya masih terdapat khilâf di kalangan ulama. Ketujuh, al-washiyyah, yaitu seorang guru berwasiat kepada muridnya ketika akan meninggal atau akan bepergian mengenai kitab yang pernah beliau riwayatkan. Menyampaikan riwayat melalui metode al-washiyyah ini tidak diperbolehkan. Sedangkan metode terakhir adalah al-wijâdah, yakni seorang murid menemukan beberapa tulisan riwayat yang pernah didengar oleh gurunya, meskipun dia belum pernah mendengar langsung atau mendapat ijazah dari gurunya, asalkan dia tahu bahwa tulisan tersebut memang milik gurunya.
|BACA JUGA: SATU WARID TIGA ANUGERAH
Metode al-wijâdah ini bisa dibilang hanya bermodal menemukan kitab dari gurunya tanpa pernah mendengar langsung atau mendapatkan ijazah. Meskipun dianggap munqathi’ (terputus), tetapi dalam metode tersebut masih ada kekuatan dan dianggap sebagai sanad. Jika dipraktikkan dalam kehidupan sekarang, membeli kitab seorang ulama yang itu jelas karya beliau juga termasuk metode al-wijâdah, sehingga seseorang yang memiliki kitab tersebut boleh mengutip pendapat pengarangnya.
Setelah membahas beberapa metode dalam mendapatkan riwayat, lalu apakah boleh mengajarkan suatu ilmu yang sanadnya belum dimiliki? Sebelum membahas hal ini, perlu diperjelas kembali, metode sanad bagaimanakah yang dimaksud. Jika yang dimaksud adalah metode al-ijâzah atau yang lain, maka mengajarkan kitab yang pernah dibeli tanpa pernah mendapatkan ijazah dari pengarangnya itu tidak diperbolehkan. Sedangkan kalau metode yang digunakan adalah al-wijâdah, maka mengajarkan kitab yang belum pernah dipelajari secara langsung dari guru ke guru tetap diperbolehkan.
Menyebarkan ilmu, kalau hanya dibatasi dengan metode as-samâ’, alqirâ’ah ‘alasy-syaikh, atau al-ijâzah, justru bisa menjadikan ilmu-ilmu agama banyak terbengkalai, sebab tidak ada orang yang memiliki sanad semua kitab. Ambil contoh seseorang mau mengkaji kitab tafsir at-tahrîr wat-tanwîr, tentu orang-orang yang pernah belajar langsung kepada pengarangnya atau yang memiliki sanad kepada pengarangnya sangat sedikit. Jika dalam mengajar harus mendapatkan sanad terlebih dahulu melalui metode-metode tadi, maka keilmuan-keilmuan yang ada tidak akan tersebar secara luas. Dengan demikian, kalau untuk mengajarkan kepada orang lain, memang yang lebih utama adalah memiliki ijâzah, tetapi jika tidak memiliki ijazah bisa menggunakan sistem sanad al-wijâdah. Hanya saja, jika diterapkan dalam periwayatan hadis, mengajar dengan metode ini menjadikan sanadnya munqathi’, yakni sanad hadisnya tidak bisa bersambung dengan perawi sebelumnya.
Dalam mengajarkan suatu ilmu, justru yang paling utama adalah mendapatkan izin dari seorang guru. Mengaca pada ulama zaman dahulu, Imam Malik bin Anas sebelum memberikan fatwa, beliau masih meminta izin kepada empat puluh ulama Madinah. Ketika ulama-ulama tersebut mengizinkan, barulah Imam Malik berani berfatwa. Jika diterapkan dalam kehidupan saat ini, semisal ada masyarakat yang meminta diajari kitab Tafsir ath-Thabari, padahal dia sendiri belum pernah mengaji kitab tersebut, maka meminta izin kepada ulama setempat, apakah diperbolehkan untuk mengajar atau tidak. Poin pentingnya adalah adanya kepercayaan dari ulama lain mengenai diperbolehkannya mengajar, bukan sekadar bisa membaca lalu langsung mengajar.
Dengan demikian, jika bukan dalam masalah Hadis dan al-Quran, mengajarkan ilmu yang belum dimiliki sanadnya secara as-samâ’ boleh-boleh saja, karena mencari sanad yang sama’i sangat sulit.
*Ditranskip dari wawancara langsung dan rangkuman pembahasan kitab alMukhtas al-Lathîf karya KH. Afifuddin Dimyathi





