مِنْ عَلَامَةِ النَّجْحِ فِي النِّهَايَاتِ الرُّجُوعُ إِلَى اللهِ فِي الْبِدَاياَتِ
“Di antara tanda keberhasilan di akhir laga kembali kepada Allah di awal mula.”
Dalam kehidupan seharihari kita senantiasa berdoa kepada Allah agar dijadikan husnu-l khâtimah. Karena dijadikan husnul-khâtimah memberi D Rubrik Ngaji Hikam diasuh oleh: KH. Hasbulloh Mun’im Kholili Pembina Pengajian IASS (Ikatan Alumni Santri Sidogiri) arti bahwa seseorang kembali kepada Allah dalam keadaan diampuni, dimulyakan dan diberi beraneka ragam anugerah. Bagaimanapun, isi doa itu baik. Dan keyakinan kita tentang pemahaman husnul-khâtimah itu benar. Hanya, banyak dari kalangan awam yang menganggap bahwa keadaan husnul-khâtimah adalah suatu keadaan yang terputus dari keadaan sebelumnya. Tak memiliki keterkaitan dengan perilaku sebelumnya. Seolaholah merupakan episode tersendiri. Nah, pemahaman inilah yang hendak diluruskan oleh Ibnu Athaillah dalam hikmah kali ini.
Pola pikir seseorang biasanya meyakini bahwa anggapan baik dan buruk itu sangat bergantung pada keadaan akhir. Tak peduli awalnya, yang penting bagaimana pungkasannya. Oleh sebab itu, pemahaman seperti ini cenderung membawa empunya berpikir jangka pendek. Ia tak mempermasalahkan masa muda dihabiskan untuk foya-foya, hurahura, bahkan sering digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mereka tak ambil pusing dengan hal itu, karena yang terpenting adalah keadaan akhir, bahkan detik akhir dari kehidupannya.
Keadaan ini kian parah di saat tipikal orang dengan pemahaman seperti ini keliru dalam berdalil. Misalnya, ia terpaku dengan pemaparan penggalan hadis shahih riwayat Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidz dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas’ud yang artinya; “Demi Dzat yang aku berada di dalam kekuasannya, sesungguhnya salah satu dari kalian beramal dengan amal ahli surga hingga tiada jarak antara ia dengan surga melainkan sehasta, namun catatan amal menggariskan ia sebagai ahli neraka lalu ia berbuat dengan amal mereka sehingga akhirnya masuk neraka. Dan sesungguhnya salah satu dari kalian beramal dengan amal ahli neraka, sehingga tidak ada jarak yang memisah antara dia dengan neraka kecuali satu hasta, namun catatan amal menggariskan ia golongan ahli surga lalu ia beramal dengan amal mereka dan masuk surga.” Dari sini mereka beranggapan bahwa semua telah digariskan oleh Allah, tidak perlu kita terlalu ambisi dalam amal, toh semuanya sudah dibukukan.
Jika hadis ini dipahami keliru maka akan memberi pemahaman bahwa Allah menyia-nyiakan ibadah hamba-Nya yang taat. Tentu pemahaman seperti ini bertentangan dengan kandungan beberapa ayat al-Quran semisal QS. Al-Kahfi (18: 30), QS. Al-Baqarah (2: 143) dan QS. Ali Imrân (3: 95) yang menyiratkan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seorang hamba.
Memahami hadis Rasulullah di atas perlu diadakan kajian perbandingan sekiranya didapati benang merah antara hadis tersebut dengan ayat-ayat di atas. jika ditelusuri dalam literatur hadis Nabi, maka akan didapati hadis lain dengan isi yang hampir sama dan justru memberi pemahaman yang padu dengan kandungan Al-Quran. Bahwa dalam riwayat Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi berkenaan hadis di atas yang berbunyi; “Sesungguhnya salah satu dari kalian beramal dengan amal ahli surga hingga tiada jarak antara ia dengan surga melainkan sehasta, namun catatan amal menggariskan ia sebagai ahli neraka lalu ia berbuat dengan amal mereka sehingga akhirnya masuk neraka.” Ada tambahan kata “atas apa yang tampak pada manusia”. Dari dua riwayat ini kemudian muncul pemahaman utuh tentang hadis di atas dan tidak lagi terkesan menyalahi kandungan ayat alQuran. Mengingat apa yang dikerjakan hamba, baik berupa amal baik maupun sebaliknya hanya sebagaimana yang tampak pada pandangan manusia, bukan pada hakikat keadaannya. Dan Allah Mahatahu pada hakikat yang terjadi.
Jika dijabarkan lebih detail lagi, gambarannya seperti ini: Baros adalah pemuda yang cukup rajin menghadiri shalat berjamaah di masjid. Ia tak pernah meninggalkan majelis ilmu dan mejelis zikir. Dengan semua itu, ia berhasil membentuk persepsi masyarakat bahwa ia adalah pemuda baik dan saleh. Namun, tiada yang tahu bahwa ia menyimpan kebusukan di hatinya. Ia senantiasa riya’, bangga dan takabur dengan aktivitas kesehariannya. Ia menjadikan semua itu untuk menggaet perhatian masyarakat luas. Maka pada titik ini ia secara zahir sedang melakukan amal ahli surga, atas apa yang tampak pada manusia. Namun hakikat sebenarnya tidak demikian. padahal Rasulullah bersabda dalam hadis Riwayat Muslim dari Abi Hurairah yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasad dan bentuk (lahir) kalian, melainkan Allah melihat hati kalian.” Maka akhir kehidupan Baros sesuai dengan kenyataan yang telah Allah ketahui, meski tidak seperti keadaan lahir yang tampak di pandangan manusia.
Di sisi lain, misalkan Baros selalu melakukan kejelekan. Ia diliputi oleh keharaman. Alhasil secara lahir, sangat tampak di mata manusia bahwa ia termasuk ahli neraka. Namun siapa tahu akan rahasia yang selalu terbesit dalam benak Baros setiap kali ia menyudahi kejelekannya. Tak ada yang tahu bahwa setiap ia pulang dan kembali ke rumah, di kala pekat malam ia bersimpuh, mengadu, menangisi keadaan dirinya yang bejat dan amoral. Kesyahduan malam selalu ia habiskan dengan derai air mata, yang lambat laun keadaan ini justru membuatnya dekat kepada Allah. Hal itu juga bagian dari skenario Allah untuk membuka pintu taubat baginya. Barang kali tidak satupun dari tetangganya yang mengetahui hal ini. Yang tampak bagi mereka, Baros adalah tipe tetangga yang memalukan yang begitu gemar menebar keburukan. Hingga mungkin mereka risih atas keberadaannya. Namun tidak di mata Allah. sekali lagi, di sini Baros tampak di mata lemah manusia sebagai sosok culas dan pecundang namun Allah tahu atas rahasia hati yang justru mengantarnya mengetuk pintu surga.
Baca Juga; https://sidogirimedia.com/category/kajian/ngaji-hikam/
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan, bahwa kembali pada Allah di awal mula tidak melulu diwujudkan dalam bentuk ketaatan dan ibadah dzahir saja. Termasuk hal penting dari penerapan kembali kepada Allah sejak awal mula adalah banyak mengadu, banyak mengungsi dan banyak berserah diri kepada Alllah. Hal itu bisa diwujudkna dengan berdoa dan memanfaatkan waktu-waktu sekiranya tak banyak manusia tahu. Ingat, amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling samar, paling tersembunyi dan paling privasi antara hamba dan Tuhannya. Inilah hakikat dari hikmah Ibnu Athaillah kali ini. Wallâhu a’lam.