Penghancuran dan Tuduhan terhadap Amr bin al-Ash
Dalam perkembangan selanjutnya, naskah dan manuskrip koleksi Perpustakaan Aleksandria dilaporkan musnah begitu saja. Pelaku utamanya tetap menjadi misteri yang sulit terungkap. Runtuhnya peradaban Romawi Barat maupun Timur (Bizantium) tidak meninggalkan cerita mengenai runtuhnya perpustakaan legendaris di Aleksandria.
Ketika Islam muncul sebagai kekuatan politik terbesar di dunia, setidaknya sejak masa Dinasti Umayah, literasi Islam masih disibukkan dengan membangun akar keilmuan dan memperkokoh pondasi ilmu-ilmu keislaman. Pada masa Abbasiyah, meskipun karya filsuf dan saintis Yunani diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Arab, belum banyak ilmuwan Muslim yang tertarik dengan sejarah politik peradaban Helenistik, apalagi menelusuri jejak Perpustakaan Aleksandria.
Hingga Perang Salib I (1096-1270) berkecamuk, seorang kepala uskup Persia dari Gereja Ortodoks Syria bernama Gregorius Bar Hebraeus (dalam literatur Arab dikenal dengan nama Ibnul Ibari atau Abul Faraj al-Malathyi) menyusun buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul “Tarikhu Muktasharid-Duwal” (Sejarah Ringkas Dinasti-Dinasti). Dalam buku itu, ia menuduh bahwa penghancuran Perpustakaan Aleksandria dan pemusnahan koleksinya dilakukan oleh panglima Amr bin al-Ash as-Sahmi dalam ekspedisi penaklukan ke Mesir, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab.
Bar Hebraeus bercerita bahwa setelah penaklukan Aleksandria, Amr dimintai tolong oleh Johannes Philoponus, seorang filsuf neoplatonisme yang dikisahkan dekat dengan Amr bin al-Ash, untuk menyelamatkan koleksi-koleksi perpustakaan. Merasa bahwa urusan itu bukan wewenangnya, Amr meminta saran Khalifah Umar di Madinah.
“Andaikan karya orang Yunani itu sejalan dengan al-Quran, untuk apa dipelihara? Terlebih jika semua itu tidak sejalan dengan al-Quran, maka itu berbahaya dan harus dimusnahkan,” ujar Khalifah Umar.
Pasukan Islam lantas dikerahkan untuk menghimpun naskah-naskah itu. Naskah-naskah itu pun ditumpuk hingga menggunung. Amr membagikan naskah tersebut kepada 4.000 tempat pemandian air panas di seluruh penginapan di sepanjang pelabuhan Aleksandria untuk dijadikan bahan bakar.
Konon, masih menurut versi Bar Hebraeus, Philoponus—yang dalam sejarah juga dikenal sebagai Johannes Grammaticus, atau Yohanna an-Nahwi dalam tradisi filsafat Islam—mengomentari pembakaran tersebut, “Begitu banyaknya manuskrip itu, hingga penginapan-penginapan tersebut bisa menggunakannya sebagai suluh selama 6 bulan setiap harinya tanpa henti.”
Setidaknya hingga abad ke-17, banyak kalangan di Barat percaya cerita sejarah versi Bar Hebraeus di atas. Menurut Baez, orientalis Inggris, Edward Pococke (1604-1691) adalah penulis Barat yang paling berperan menyebarkan kisah tersebut. Salah satunya bisa dilihat dalam buku terjemahan Pococke atas karya Bar Hebraeus, “Spesiem Historiae Arabum,” terbitan tahun 1649.
“Riwayat” versi Bar Hebraeus ini baru dicurigai sebagai kebohongan setelah sejarawan Edward Gibbon (1737-1794) membongkar kejanggalan-kejanggalannya. Dalam Decline Fall of the Roman Empire Ed. IX (Jatuhnya Kekaisaran Romawi Jilid ke-9), Gibbon menyebut isu pembakaran jutaan manuskrip tua Perpustakaan Alexandria itu tak lebih sebagai strategi politik kubu Kristen Barat untuk menjelek-jelekan kubu Arab Islam. Gibbon menjulukinya “tipu-tipu murahan ala Perang Salib”.
Usai Gibbon, cendekiawan-cendekiawan Barat yang lain turut membantah fitnah sejarah versi Bar Hebraeus. Nama-nama sejarawan ternama seperti M.J.J. Marcel, Gustave Le Bon, L.B. Sedillot, Stanley Lanepoole, Alfred J. Butler, Le Fort, dan yang terbaru, penulis Jerman, Sigrid Hunke (w. 1999) menjadi saksi bahwa apa yang ditulis Bar Hebraeus mengenai pembakaran Perpustakaan Aleksandria adalah kisah yang tidak bisa dipercaya sama sekali.
Alih-alih menyalahkan pasukan Arab Islam, filsuf dan psikolog Prancis Gustave Le Bon (1841-1931) justru menyebut musnahnya Perpustakaan Alexandria adalah akibat ulah pasukan Julius Caesar (110-44 SM) saat penyerangan ke Mesir. “Bencana-bencana yang menimpa Perpustakaan Alexandria disebabkan api yang berkobar tanpa sengaja pada saat Caesar mempertahankan dirinya.”
Sementara itu, filsuf Prancis lainnya dari abad ke-19, Le Fort, saat memberikan ceramah di Paris, malah menyebut pasukan Kristen Barat-lah yang menjadi penyebab hancurnya manuskrip-manuskrip tua itu. Soal itu langsung dibantah oleh Uskup Orleans, Monseigneur Dupanloup (1802-1878) yang balik menuduh Le Fort sebagai pemalsu data sejarah. Sikap fanatik dan—mungkin ditambah minimnya literasi—mendorong sang uskup untuk tetap membela Bar Hebraeus secara membabi buta.
Hakikatnya, menurut Gibbon, saat pasukan Arab Islam memasuki Alexandria, perpustakaan itu sesungguhnya sudah lama musnah. “Sungguh memalukan dosa yang dibuat sendiri oleh dunia Barat hendak dikambinghitamkan kepada orang-orang Arab,” ujarnya.
Selain menggali informasi sebab-musabab musnahnya Perpustakaan Alexandria, para cendekiawan Barat itu juga menelisik kebohongan Bar Hebraeus mengenai sosok Johannes Philoponus. Menurut Le Bon, kendati tokoh Johannes Philoponus memang ada, namun ia hidup di era sebelumnya. Dikatakan sejarawan Prancis itu, Philoponus hidup sekitar tahun 490-570. Dia hidup di masa kekuasaan Kaisar Justinianus (518-565 M), dan meninggal menjelang kelahiran Baginda Rasulullah, jauh sebelum penaklukan Mesir oleh Amr bin al-Ash yang terjadi pada tahun belasan Hijriyah.
“Bagaimana bisa seorang tokoh yang sudah lama berada dalam perut bumi dikatakan ‘bersahabat baik dengan Jenderal Amr bin al-Ash di Alexandria’ pasca penaklukan bandar itu pada 641 M?” ujar Le Bon seperti termaktub dalam La Civilisation des Arabes (Peradaban Orang-Orang Arab).
Bar Hebraeus hidup pada abad ke-13 Masehi. Ia hidup pada periode 1226-1286. Lahir di Malatya, di kawasan Anatolia, Turki. Dia kemudian diundang Patriark Ignatius III di Antiokia dan menjadi uskup di sana. Tidak lama kemudian, dia ditunjuk menjadi kepala uskup Persia wilayah Mesopotamia (Irak). Selain sebagai teolog Kristen, ia dikenal pula sebagai pakar filsafat, sastra, sejarah, dan kedokteran.
Bar Hebraeus hidup enam abad setelah penaklukan Mesir oleh Amr bin al-Ash. Anehnya, dia tidak menyebutkan sama sekali dari mana sumber cerita mengenai pembakaran buku Perpustakaan Agung Aleksandria. Padahal, dua pakar sejarah Koptik (Mesir) yang masa hidupnya lebih dekat, yaitu Eutychius (877-940) dengan bukunya Annales dan el-Makin dengan karyanya History of The Saracens, sama sekali tidak menyinggung riwayat pembakaran buku versi Bar Hebraeus.
Moh. Yasir/sidogiri