MENYAKSIKAN tragedi kemanusiaan yang sangat tidak manusiawi di Gaza, selalu ada pertanyaan besar: mengapa para pejuang Hamas dan Hizbullah sangat berani melawan Zionis, padahal kekuatan yang mereka miliki tidaklah seberapa? Apakah karena mereka tidak tahu akibatnya? Apakah karena mereka merasa memiliki kekuatan yang bisa menandingi Israel? Apakah karena mereka tidak sayang kepada anak, keluarga, dan orang-orang yang mereka cintai? Tentu saja mereka tahu akibatnya. Namun demikian, mereka tetap berjuang melawan Israel, tidak peduli apa pun risikonya dan apa pun taruhannya, karena bagi mereka berbagai risiko itu tidaklah seberapa di hadapan apa yang sedang mereka perjuangkan.
“Terlalu memikirkan risiko akan membuat seseorang kehilangan keberanian.” (Dawuh Sayidina Ali bin Abi Thalib, dikutip oleh Ibnu Abdi Rabbih dalam al-Iqd al-Farîd).
Perjuangan Hamas yang penuh keberanian itu sangat persis dengan apa yang digambarkan dalam sajak Kusyajim, seorang pujangga yang hidup di Ramlah Palestina pada Abad Keempat Hijriah, lebih dari seribu tahun yang lalu. Ia menyatakan, “Kewajibanku adalah berjuang, bukan menang!”
Pertanyaan kita yang kedua: mengapa negara-negara Islam di sekeliling Palestina yang notabene memiliki kekuatan berlipat-lipat dibanding Hamas dan Hizbullah justru tidak memiliki keberanian sedikit pun melawan Israel? Husnuzan kita, mereka marah, tapi takut dengan akibat yang terjadi jika turut campur secara langsung. Risiko militer di depan mata, juga risiko ekonomi, risiko politik, dan risiko-risiko lain dianggap sangat berbahaya. Terlibat langsung secara militer dianggap akan memperburuk keadaan dan cenderung menjadi misi bunuh diri, karena di belakang Israel terdapat Amerika Serikat dan Inggris.
Jika benar bahwa kemungkinan inilah yang terjadi, maka kita perlu kembali kepada pertanyaan awal: apakah Hamas dan Hizbullah tidak mengalami risiko yang sama!? Tentu mereka mengalaminya, bahkan risiko mereka berada pada level yang sangat tinggi. Risiko yang harus mereka tanggung jauh lebih parah dan lebih pasti. Namun demikian, mereka tetap berani berhadapan langsung dengan Israel. Boleh jadi karena mereka yang merasakan penjajahan tersebut secara langsung, sementara negara-negara Islam yang lain hanya melihatnya dari tempat yang jauh. Secara psikologis, sebesar apa pun penderitaan yang dialami oleh orang lain tetaplah tidak seberapa dibandingkan sekecil apa pun penderitaan yang kita alami sendiri.
Itu artinya kita masih menganggap Muslim Gaza sebagai orang lain, dan masalah mereka sebagai masalah orang lain. Mungkin karena itulah, kita sudah merasa cukup hanya dengan cara bersimpati, meskipun tanpa aksi apa-apa.
Kepentingan duniawi telah membuat kita semua menjadi kurang peduli, penakut, dan lemah. Persis seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad: “Tak lama lagi, berbagai bangsa akan memperebutkan kalian (umat Islam) seperti memperebutkan makanan di mangkok.” Ada yang bertanya, “Apakah karena kami waktu itu berjumlah sedikit?” Beliau menjawab, “Justru jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun tak ubahnya buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian, dan akan melemparkan Wahn (sifat lemah) ke dalam hati kalian.” Lalu, ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Wahn itu?” Beliau menjawab: “Menyenangi kepentingan duniawi dan takut terhadap kematian.” (HR Abu Dawud)
Nubuat hadis tersebut seratus persen terbukti. Bahwa umat Islam akan menjadi mangsa yang diperebutkan oleh berbagai bangsa, hal itu sudah benar-benar terjadi selama berabad-abad. Di masa kolonialisme, kita menjadi mangsa Prancis, Italia, Portugis, Belanda-Spanyol, Inggris, Uni Soviet, Yugoslavia, Jepang, China, dan bangsa-bangsa lain.
Meskipun pada akhirnya merdeka secara teritorial, akan tetapi negara-negara Islam masih terjajah di berbagai aspek. Kehilangan kemandirian, kehilangan wibawa, kehilangan keberanian, bahkan walau pun hanya sekadar untuk berkata tegas dan keras. Hal itu sangat tampak pada zaman kita saat ini. Israel dengan seenak perutnya menginjak-injak Palestina tanpa perasaan takut sedikit pun justru di tengah-tengah berbagai negara Islam yang mengelilinginya. Kita benar-benar seperti buih yang tak memiliki arti apa-apa, kecuali sekadar busa-busa yang terserak: muncul, hilang, dan terombang-ambing ke sana ke mari.
Kita, negara-negara Islam, benar-benar berada dalam titik nadir hilangnya kewibawaan dan harga diri. Semua itu gara-gara kerapuhan ukhuwah, kegilaan terhadap kepentingan politik, ekonomi, jabatan, dan semacamnya. Kita dihantui ketakutan yang berlebihan terhadap penderitaan dan kesengsaraan. Terlalu lama berada di dalam zona nyaman membuat kita kehilangan nyali, bahkan hati.
Setiap orang Islam yang ‘waras’, pastilah sangat marah dan sangat muak dengan Israel. Hanya saja sifat wahn telah menyandera jiwa kita, sehingga tidak berani berbuat apa-apa, kecuali sekadar rasa simpati atau berderma sekadarnya. Kita hanya bisa melakukan pembelaan dan keberpihakan minimal, dalam aksi yang tak memiliki risiko apa-apa bagi kita.
Namun demikian, setidaknya hal itu sudah menunjukkan pembelaan kepada sesama Muslim dan keberpihakan terhadap kebenaran. Hal itu merupakan tanda utama keimanan, meskipun hanya level adh’aful-imân. Masing-masing lumayan dibandingkan orang yang mengaku sebagai Muslim, tapi tidak peduli bahkan nyinyir terhadap apa yang dialami oleh Palestina. Orang seperti ini sangat patut dipertanyakan keimanannya. Dalam al-Quran, sangat banyak dijelaskan tentang sikap orang-orang munafik. Salah satunya, mereka cenderung nyinyir terhadap orang-orang Islam yang sedang berjuang.
“Al-Muslim akhul-Muslim. La yazhlimu walâ yakhdzulu” (HR Muslim). Seorang Muslim sejati pantang bersikap masa bodoh terhadap sesama Muslim yang sedang dizalimi, apalagi jika yang menzalimi adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, marilah berbuat sebisa kita! Jika kita bisa memakai tangan, jangan hanya mencukupkan diri dengan lidah. Jika kita bisa memakai lidah, jangan hanya mencukupkan diri dengan hati. Allah menghargai apa yang telah kita usahakan, bukan apa yang telah kita capai. Konon, ketika Nabi Ibrahim hendak dibakar, ada seekor semut membawa setitik air, berusaha memadamkan api. Burung gagak yang melihat aksi tersebut nyinyir gak ketulungan. “Apalah guna setitik air untuk memadamkan kobaran api!?” ejeknya. Semut menyahut dengan lantang, “Setidaknya aku sudah menunjukkan pembelaan kepada beliau dan melakukan sesuatu yang aku bisa untuknya.”
Ahmad Dairobi/sidogiri