Imam Syafii adalah seorang Imam dengan reputasi yang tak diragukan lagi. Beliau menjadi pendiri Mazhab Syafiiyah dan sekaligus peletak pertama dasar-dasar ilmu Ushul Fikih sehingga seluruh ulama ahli fikih di dunia dapat dianggap berutang budi kepadanya. Dalam hal akidah, Imam Syafii adalah salah satu tokoh yang dijadikan rujukan oleh manhaj akidah Ahlusunah wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah). Namun, ada banyak pernyataan beliau yang jelas-jelas menolak ilmu kalam dan bahkan memerintahkan agar orang yang menyelami ilmu kalam dipukul dengan pelepah kurna lalu diarak.

Di sisi lain, sejarah menegaskan bahwa tokoh-tokoh besar dari mazhab Syafiiyah, seperti al-Baihaqi, Imam al-Haramain, al-Ghazali, dan lain-lain, justru adalah para pakar ilmu kalam. Benarkah anggapan sebagian orang bahwa Imam Syafii menolak Ilmu Kalam secara mutlak sedangkan para pengikutnya tidak patuh pada beliau? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus tahu bagaimana sebenarnya konteks larangan Imam Syafi’i tersebut sehingga bisa menilai secara komprehensif.

Baca juga: Ketika Kafir Di Ubah Menjadi Non-Muslim

Ibnu Khaldun (808 H), ulama besar, sosiolog sekaligus sejarawan muslim terkemuka yang disegani di dunia Timur dan Barat, menjelaskan perkembangan Ilmu Kalam dalam kitab Tarîkh-nya yang fenomenal tersebut. Beliau bercerita bahwa para ulama di era salaf, dari kalangan shahabat dan tabi’in, menetapkan sifat ketuhanan dan kesempurnaan pada Allah dan men-tafwîdh seluruh hal yang seolah menunjukkan kekurangan, semisal kesan-kesan jismiyah.

Kemudian datanglah Muktazilah yang menetapkan sifat-sifat Allah semata sebagai kesan dalam hati saja, bukan sebagai sifat dari Dzat Allah sendiri. Mereka menjadikan manusia sebagai pencipta perbuatan mereka sendiri tanpa ada kaitannya dengan takdir. Tokoh-tokoh Muktazilah bermunculan mulai Ma’bad al-Juhani yang semasa dengan Abdullah bin Umar, Washil bin Atha’ murid Hasan al-Bashri yang hidup di era Abdul Malik bin Marwan, juga ada Abu Hudzail al-‘Allaf yang menjadi guru besar Muktazilah dan kemudian muncul Ibrahim an-Naddham yang sangat terpengaruh filsafat hingga sepenuhnya menafikan adanya sifat Tuhan dan membangun pondasi mazhab Muktazilah.

Setelah itu muncullah al-Jahizh, al-Ka’bi, dan al-Jubba’i. Metode mereka itulah yang dikenal dengan ilmu kalam sebab menimbulkan perdebatan atau sebab pokok akidahnya adalah menolak sifat Kalamullah. Karena itulah, Imam Syafii kemudian berkata: “Mereka seharusnya dipukul dengan pelepah kurma lalu diarak”. Para ulama meneliti asal muasal metode para ahli kalam itu kemudian menolaknya, hingga muncullah Abu Hasan al-Asy’ari yang mendebat mereka dan menguatkan pendapat ulama salaf Ahlussunnah dengan argumen kalamiyah dan menetapkan sifat-sifat Allah. (Ibnu Khaldun, Târîkh Ibnu Khaldûn, juz 1, halaman 602-604).

Baca juga: Menggugat Paham Relativisme Tafsir Al-Quran

Dari paparan Ibnu Khaldun di atas, kita tahu bahwa ilmu kalam yang berkembang di era Imam Syafii adalah ilmu kalam yang dikembangkan oleh Muktazilah yang terpengaruh oleh ajaran filsafat Yunani. Inilah yang ditolak keras oleh Imam Syafii dan para ulama salaf sebab menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Pemaparan Ibnu Khaldun ini sejalan dengan keterangan ulama di era sebelumnya. Imam al-Baihaqi (458 H) misalnya, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Asakir (571 H), menjelaskan secara lebih mendetail hingga ke tokoh Ahli Kalam yang berhubungan langsung dengan Imam Syafii:

“Hafsh al-Fard datang menemui Imam Syafii, kemudian Imam berkata pada kami: ‘Seorang hamba yang menemui Allah dengan membawa dosa sebesar Gunung Thamah masih lebih baik daripada meyakini adanya huruf (bagi kalamullah) yang diyakini lelaki ini dan kawan-kawannya’. Hafsh al-Fard berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk”. (Ibnu Asakir, Tabyînu Kidzbil-Muftarî, halaman 341)

Baca juga: Benarkah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Mantan Ulama Mu’tazilah?

Dari riwayat Imam Baihaqi di atas semakin jelas bahwa konteks Kalam yang ditentang keras oleh Imam Syafii adalah kalangan Muktazilah yang berpendapat bahwa Kalamullah adalah suara dan merupakan makhluk, bukan sifat Allah. Imam Ibnu Asakir kemudian bertanya-tanya bagaimana mungkin Imam Syafii mengharamkan ilmu kalam secara mutlak sedangkan beliau sendiri justru memakai ilmu kalam untuk mendebat para ahli kalam yang menyimpang seperti Muktazilah dan lain-lain itu, misalnya seperti mendebat Hafsh dalam hal bertambah tidaknya Iman, mendebat pengingkar ru’yah (melihat Allah di akhirat) dan mendebat penganut Murji’ah. Bahkan, kemahiran Imam Syafii dalam ilmu kalam diakui sendiri oleh beliau, sebagaimana ditulis oleh Imam Ibnu Asakir berikut ini:

“Aku membaca kitabnya Abu Nu’aim yang berkisah dari Shahib bin ‘Abbad bahwasanya dia menulis di kitabnya beserta sanadnya dari Ishaq, bahwa Ishaq berkata “Ayahku berkata: Suatu hari Imam Syafii berbicara kepada sebagian Ahli Fikih. Beliau mengurai hingga rinci, memverifikasi hingga detail, menuntut, dan mempersempit argumen lawan. Lalu aku berkata: ‘Wahai Abu Abdillah (asy-Syafii), ini adalah gaya ahli kalam bukan gaya ahli halal dan haram (ulama fikih). Ia menjawab: Saya sudah menguasai itu dulu (kalam) sebelum yang ini (fikih)”. (Ibnu Asakir, Tabyînu Kidzbil-Muftarî, halaman 341-342)

Karena fakta itulah, maka seperti ditegaskan oleh Imam Ibu Hajar al-Haitami as-Syafi i (974 H), anggapan bahwa ilmu kalam adalah bidah dengan alasan bahwa hal itu tak dipikirkan oleh kalangan Salaf dan menyebabkan perdebatan dan kerancuan adalah anggapan yang tertolak. Bahkan Ibnu Hajar memastikan bahwa ulama salaf mengetahui hal itu, di antaranya adalah Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dari kalangan shahabat. Dari kalangan Tabiin dan setelahnya ada Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ibnu Hurmuz, Imam Malik, dan Imam Syafii. Bahkan menurutnya, Imam Malik sudah mengarang risalah Ilmu Kalam sebelum Imam Syafii dilahirkan. Ilmu Kalam kemudian dinisbatkan pada Imam al-Asy’ari tak lain hanyalah karena beliau menjelaskan metode-metode orang-orang sebelumnya dan mengurai dalil-dalilnya. Tak ada yang baru kecuali hanya istilahnya saja dan ini terjadi dalam semua cabang ilmu pengetahuan. Yang dicela oleh ulama Salaf seperti Imam Syafii yang lain-lain adalah kalam yang berkembang di kalangan Muktazilah, Qadariyah, dan ahli bidah lainnya. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyah, 147-148)

Dengan ini menjadi jelas bahwa sebenarnya Imam Syafii atau ulama salaf tak pernah mencela ilmu kalam secara mutlak. Yang mereka cela adalah ilmu kalam yang menyimpang dari Ahlussunah, bukan yang malah menguatkan keyakinan Ahlussunnah seperti yang dilakukan Asy’ariyah-Maturidiyah. Bahkan, kitab ilmu kalam karya Imam Abu Hanifah (150 H) yang berjudul al-Fiqhul-Akbar sampai kepada kita di masa ini dan beredar luas. Ini bukti bahwa ilmu kalam ala Ahlussunnah telah dikenal luas di era Salaf. Wallahu a’lam.

Abdul Wahab Ahmad/sidogiri

Spread the love