Dalam menjalani hidup, umat manusia membutuhkan petunjuk (syariah) untuk mencapai kebahagiaan, kesuksesan, dan arah yang jelas yang mana petunjuk itu dapat dipercaya sebagai rambu-rambu dalam menapaki pelbagai problem hidup. Keterbatasan umat manusia dalam pelbagai aspek memaksakan mereka membutuhkan media yang dianggapnya ampuh dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ditemui dalam perjalanan hidup mereka. Sudah barang tentu petunjuk dan media itu sudah teruji kebenaran dan keampuhannya dalam menuntun mereka pada tujuannya.

Namun demikian, belakangan banyak cendekian Muslim dalam mencerna keilmuan Islam seringkali “kebarat-baratan” khususnya dalam dikursus interpretasi al-Quran. Mereka mengangagap bahwa al-Quran bersifat fleksibel yang siapapun bisa dengan mudah menafsirinya seusuai selera. Hingga akhirnya al-Quran tidak mengenal sifat qhat’i, dan semua penafsirannya bersifat relatif karena teks al-Quran besifat zhanni seluruhnya. Paham relatifisme penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Sebab tidak semua hal bersifat relatif dan multitafsir.

Secara metodologis, sebuah berita dijamin kebenarannya dan dapat dipertanggung-jawabkan akuratannya bila bermula dari tiga hal berikut: Pertama, sebuah informasi yang diwahyukan oleh Allah kepada seorang utusan melalui Malaikat Jibril. Bagian pertama ini terbagi menjadi dua, yaitu informasi yang sudah mutawatir yang meliputi al-Quran dan hadis nabi yang populer di kalangan ulama, dan sebuah informasi yang disampaikan oleh seorang utusan yang diperkuat dengan sebuah mukjizat. Kedua, logika. Maksudnya, ketika ada berita kemudian logika akal membenarkan keberadaannya maka hasilnya dapat diterima yang tidak boleh satu kalangan pun menyangkal, seperti kesimpulan sepuluh lebih banyak dari lima. Ketiga, panca indra dan hasil analisa, seperti ada bau misik menunjukkan adanya parfum misik. Tiga langkah ini merupakan sumber data yang hasilnya diyakini sebagai sebuah kebenaran yang tidak ada celah paham relativisme. Oleh karena itu, Allah menegaskan dengan firman-Nya berikut artinya: “Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. al-Isra’ [17]: 81)

Setelah itu, sebuah kesimpulan yang bermula dari tiga langkah di atas juga meniscayakan hasilnya sebagai sebuah kebenaran pula. Sebab sebenarnya sebuah kesimpulan yang bermula dari tiga langkah ini merupakan bagian dari tiga sumber itu, baik dalam bentuk interpretasi atau cuplikan pemahaman, asal dengan cara yang tepat dan tidak ada unsur manipulasi. Berikut beberapa contohnya:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

Artinya: “(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [01]: 07)

Dalam ayat ini Allah  menjelaskan orang Mukmin yang meminta kepada-Nya agar ditujukkan pada jalan yang diberi nikmat tanpa penjelasan, bagaimana dan seperti apa ciri-ciri orang yang mendapatkan nikmat itu. Akan tetapi, pada surah an-Nisa’ Allah menjelaskannya. Ayat itu adalah:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ (69) ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (70)

Artinya: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (69) Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (70)” (QS. an-Nisa’[04]: 69-70)

Sedangkan contoh penafsiran yang bermula dari hadis adalah:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’am [06]: 153) Selanjutnya, Rasululallah memberikan sebuah perumpaan bahwa sebuah kebenaran tidak bisa dikatakan relatif dalam ungkapan beliau berikut:

Dari Shahabat Jabir beliau berkata: “Sewaktu kita bersama Nabi, Nabi menggaris beberapa garis; dua garis ke sisi kanan dan dua garis ke sisi kiri, setelah itu Nabi meletakan tangannya di sisi tengah kemudian beliau berkata: “Ini adalah sabilu Allah” kemudian Nabi membacakan sebuah ayat: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya”” (HR. Abu Dawud)

Kiranya, dari paparan di atas nampak jelas bahwa corak penafsiran kaum liberal; relativisme penafsiran tidak dapat dibenarkan, sebab para ulama cukup ketat di dalam memberi persyaratan dalam tafsir dan menafsiri al-Quran agar tidak semua orang yang tidak mumpuni dalam bidang interpretasi al-Quran bisa seenaknya menafsirinya, tentu hal ini dilakukan agar sakralitas dan kemurnian al-Quran dapat terus kekal terjaga tanpa ternodai oleh kaum-kaum nyeleneh seperti saat ini.

Oleh karena itu, untuk menjaga kesakralan al-Quran ini, ulama merumuskan beberapa syarat bagi orang yang hendak menafsirinya. Di antara syarat itu adalah: Pertama, penafsir harus berideologi yang benar. Syarat ini diharuskan karena untuk menghindari paham-paham yang menyimpang, seperti kelompok Muktazilah, Wahabi, Liberal dan sebagainya.

Kedua, tulus. Artinya, penafsir sebelum menafsiri sebuah ayat harus membuang jauh kepentingan-kepentingan selain untuk memahami al-Quran dengan benar. Jika orang yang hendak menginterpretasi al-Quran ternyata hanya untuk menjustifi kasi pendapatnya sendiri seperti penafsir kekinian maka besar kemungkinan hasil tafsirannya akan berseberangan dengan tuntunan Islam jika tidak mau dikatakan ditolak.

Ketiga, penafsir harus memiliki pemahaman agama yang benar yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah. Demikian ini karena al-Quran merupakan kalamullah yang tidak bisa ditafsiri dengan serampangan. Orang yang hendak menafsirinya harus memahami hal terkait dengan al-Quran, baik yang berkaitan dengan bahasa, ulumul-quran, sastra arab, hadis nabi, usul fikh, ragam qiraah, fi kih dan yang lain. Karenanya, seseorang yang tidak berbekal beberapa hal tadi tidak diperkanankan menafsiri al-Quran.

Akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa penafsiran al-Quran tidak semudah seperti yang dikatakan oleh kaum Liberal, namun juga tidak menafi kan adanya seginlitir orang yang masih mampu menafsirinya, namun tentunya harus memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan ulama di atas.

Sanusi Baisuni/sidogiri

Baca juga: Relativisme Kebenaran?

Spread the love