Dimensi kewalian merupakan pembahasan yang tidak setiap orang mampu menjangkaunya. Sebab akan banyak ditemui lorong-lorong misterius di dalamnya. Lebih-lebih pada manusia modern, mayoritas akan memilih hal logis daripada ‘katanya’ yang kasat mata.
Dalam pembahasan wali sendiri, akan banyak dijumpai hal-hal di luar kebiasaan. Seseorang yang memiliki tingkat keimanan dangkal, sangat mungkin akan menolak apa yang dilakukan oleh seorang waliyullah. Penyebabnya ringan, mereka tidak sama dengan kebanyakan manusia.
Itulah yang terjadi di zaman Rasulullah. Ketika Quraisy Makkah mendapatkan informasi Isra dan Mikraj, sontak logika mereka menolak. Bagaimana mungkin manusia yang bernama Muhammad bisa menempuh perjalanan panjang hanya dalam sekejap masa. Bukankah kebiasaan mereka mendatangi Masjidil-Aqsha dalam tempo sebulanan? Lalu manusia mana yang bisa melakukannya hanya dalam waktu semalam. Terlebih ditambah cerita langit tujuh, lalu Sidratul-Muntaha.
Baca Juga: Antara Hamba Allah Dan Hamba Cahaya
Maka banyak ulama yang tertarik membahas dunia ‘wali’ ini. Selain karena pembahasannya pasti tidak lazim, sejatinya kita yang ‘awam’ pun perlu tahu dunia wali meski sebatas dzahir. Dengan harapan, kita bisa mengenal ciri-ciri hamba pilihan Allah tersebut. setidaknya, kita akan hati-hati untuk tidak membenci para wali. Sebab ketika seseorang menyakiti hati seorang wali, maka Allah akan senantiasa membencinya.
Kitab Bughyatul-Adzkiya fil-bahtsi an Karamatil-Auliya merupakan refrensi tepat guna mendalami dunia wali. Dalam kitab tersebut dijelaskan beberapa definisi wali. Di antaranya Abu ‘Ala Al-Jauzani yang menjelaskan bahwa seorang wali adalah orang yang lupa diri dan senantiasa menyaksikan kehadiran Allah. Allah menganugerahinya cahaya kewalian, sehingga tidak ada satu pun ketetapan darinya kecuali bersamaan dengan ridha Allah.
Dalam penjelasan yang lain, dikatakan bahwa seorang wali adalah angin yang dihembuskan oleh Allah di muka bumi. Tercium oleh para shiddiqin, hingga harumnya merasuk ke setiap celah hati mereka. Lalu mereka mencintai wali tersebut dan bertambahlah keimanannya kepada Allah.
Pun, kitab dengan ketebalan 75 halaman dan 66 sub judul ini tidak melewatkan penjelasan tentang orang yang tidak mempercayai karamah wali. Mereka adalah kaum rasionalis yang hanya berdalih dengan akal.
Sebaliknya, ada pula golongan yang berlebihan menanggapi kewalian. Sampai menobatkan mereka sebagai nabi. Karena antara karamah dengan mukjizat memang sama. Sama-sama melawan arus kelaziman. Bedanya, karamah untuk auliya’, mukjizat untuk anbiya’
Baca Juga: Agar Lebih Dekat Dengan Allah
Dalam kitab ini juga dijelaskan, bahwa sengaja memperlihatkan karamah adalah sebuah kehinaan. Karena dengan melakukan hal itu, sama halnya dengan memberikan kepercayaan kepada orang, bahwa ia mampu mengubah gunung menjadi emas, atau lautan menjadi darah. Artinya, sesuatu yang tidak masuk akal jika diperlihatkan pada manusia, hanya akan membuat keresahan di antara mereka.
Adapun dalil adanya karamah yang dimiliki oleh seorang wali adalah ayat al-Quran surah Yunus ayat 62-64 yang artinya: “Ingatlah wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.”
Selanjutnya, kitab yang dikarang oleh salah satu ulama besar asal Indonesia ini diselingi beberapa keterangan yang menarik. Di antaranya adalah kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh para shahabat Rasulullah. Seperti Sayidina Utsman, Sayidina Ali, Sayidina Abbas dan Ibnu Umar.
Dari beberapa penjelasan kitab ini, tentu akan memberi secercah cahaya kewalian kepada kita yang masih gelapgulita dalam memahaminya. Dengan membaca dan memahaminya, akan membantu kita untuk lebih hati-hati lagi dalam menyikapi waliyullah. Khusunya di zaman global ini, di mana para ulama (yang bisa jadi mereka adalah para waliyullah) dicaci dan dimaki oleh banyak manusia.
Dede Febiyan H