Membincangkan peran ibu dalam keluarga tidak akan pernah usai, karena dari rahimnyalah generasi manusia terus tumbuh. Lahir satu generasi dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya, terus berkembang sepanjang zaman. Sulit dibayangkan jika peran itu mandek dan tidak berjalan normal. Peran manusia di muka bumi tentu akan hilang dan sejarah peradaban manusia tidak akan terasa hingga saat ini.
Pada saat anak masih kecil, orang tua, terlebih ibu menjadi rebutan, seolah hanya miliknya; tidak boleh dimiliki orang lain termasuk saudaranya. Kata “Ibuku, Ibuku” sering menjadi terdengar dan bahkan saling tarik antara anak, meski terkadang sekadar bercanda. Sang kakak, kadang menggoda adiknya, sambil memegang sang ibu dan sang adik pun merengek dan bahkan menangis hebat. Artinya, rebutan ibu menjadi topik hangat saat masih kecil.
Namun kemudian, suasana itu semakin redup, saat sang anak sudah dewasa. Rebutan ibu tidak lagi hangat, bahkan cenderung memanas. Anak-anak semuanya menjauh, ketika sudah hadir di sisi pasangan keluarga, baik suami atau istri, serta anak-anak. Kata “Ibu saya” nampaknya sulit terdengar. Terkadang, saling menjauh dan saling memasrahkan ibu ke saudara lain. Alasan utamanya, ‘sibuk’.
Meski tidak bisa disimpulkan secara umum, kehangatan rebutan ibu saat masih kecil itu sudah dingin ketika anak sudah dewasa. Kesibukan masing-masing, terkadang melahirkan jarak dengan orang tua yang telah membesarkan. Bisa jadi satu rumah, tetapi justru sang ibu sibuk mengasuh anak-anaknya atau bahkan mencuci pakaian anaknya, meski mereka sudah dewasa. Kasarnya, menjadi pembantu.
Baca juga: Kemuliaan Allah Di Atas Segala-galanya
Hal itu bisa mungkin karena ada rasa bahwa dirinya sudah mampu. Mampu bertahan hidup, tanpa bantuan orang tua, padahal itu tak seberapa dengan kemampuan orang tua merawatnya hingga dewasa. Atau bisa mungkin merasa sudah sukses, padahal itu tak seberapa dibanding kesuksesan orang tua merawatnya. Sebuah pepatah mengatakan, “Satu orang ibu, mampu merawat 10 anaknya, tapi 10 anak belum tentu mampu merawat satu ibu”.
Inilah yang kemudian kita dapati banyak perintah Allah dalam al-Quran untuk berbuat baik kepada orang tua. Bukan dalam satu atau dua surah, melainkan ada beberapa dalam surah Al-Quran. Seolah mememberi gambaran, akan ada banyak anak yang tidak peduli pada orang tua dan bahkan durhaka kepada mereka.
Ambil contoh bahwa peran ibu mendapat tempat yang paling mulia. Rasulullah saat ditanya oleh shahabat, siapa yang paling didahulukan untuk dihormati, kata “Ibumu” menjadi jawaban Rasulullah hingga tiga kali, kemudian “Ayahmu”. Sebuah gambaran, betapa kedudukan ibu berada di tiga tingkat di atas ayah.
Dalam al-Quran, perjuangan seorang ibu dan perannya saat hamil dan melahirkan digambarkan sebagai perjuangan hebat. Dalam surah Luqman [14] disebutkan yang artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (Q.S. Luqman: 14).
kemudian, ada kisah yang sering dikutip terkait dengan hubungan anak dan ibu. Seorang saleh ahli ibadah Bani Israel, Diyab namanya. Diyab pemuda salih dan waktunya hanya dilalui dengan ibadah. Hingga suatu ketika, ibunya datang dan memanggilnya saat ia beribadah. Meski ada keraguan di hatinya, ia tidak menghentikan ibadahnya. Terus saja ia lakukan hal itu pada kesempatan berikutnya. Pada akhirnya, sang ibu berdoa agar Diyab diberi peringatan.
Baca juga: Keuntungan Asi Bagi Ibu Menyusui.
Kelanjutan kisah, Diyab terkena fitnah. Seorang perempuan lacur hamil dan mengaku telah dihamili Diyab. Sekampung heboh dan menggeruduk Diyab. Diyab diseret. Meski kemudian, fitnah itu usai setelah anak perempuan lacur yang baru lahir itu berbicara bahwa ayahnya adalah penggembala domba. Anak ini, kemudian dicatat sebagai salah satu bayi ajaib yang bisa berbicara saat masih bayi, selain Nabi Isa.
Pada setiap negara pasti memiliki kisah tindakan durhaka seorang anak pada ibu yang kemudian mendapat balasan dari Allah. Di Indonesia, kisah populer adalah Malin Kundang, seorang anak yang dikutuk oleh ibuhnya menjadi batu. Terlepas itu mitos atau legenda, cerita itu memberi gambaran kedurhakaan seorang anak pada ibu itu ada dan bagaimana kedahsyatan sebuah doa ibu terhadap anaknya.
Ibu adalah kunci surga.
Artinya, terdapat banyak catatan anak sukses karena berbakti kepada kedua orang tua, terlebih ibu, dan celaka karena durhaka mengisi ruang dongeng kita. Melihat banyak uraian agama dan kisah nyata tersebut, kadang kita bingung dan tercengang. Apakah semuanya merupakan ulangan yang tidak dibutuhkan lagi, mengingat hal ini sudah dikenal umum; atau merupakan uraian yang sangat dibutuhkan mengingat masih ada saja berita seorang anak yang mengabaikan orang tuanya.
Untuk itu, selagi orang tua masih ada, kita harus terus berusaha untuk membuat orang tua selalu bahagia. Kalau bisa, kita tetap berebut sesama saudara yang lain untuk membahagiakan mereka, karena orang tua adalah paling berharga dalam hidup, melebihi harta warisan. Jangan sampai, rebutan ibu dan ayah semasa kecil kita hilangkan. Sebab, seorang anak bisa saja dengan mudah mengabaikan orang tuanya, tetapi hingga kiamat tiba, orang tua tidak akan pernah mengabaikan anaknya, terutama ibu.
Akhiran, ada pesan dari Rasulullah:
رغم أنفه، رغم أنفه، رغم أنفه ، قالوا: يا رسول الله، من؟ قال: من أدرك والديه عند الكبر، أو أحدهما فدخل النار
“Celaka orang itu, celaka orang itu, celaka orang itu”. Shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa dia?” Rasulullah bersabda, “Orang yang mendapati dua orang tuanya masih hidup saat sudah besar, atau salah satunya, tapi dia masuk neraka.”
Hadis ini sangat membuat merinding saat peluang surga di hadapan kita diabaikan. Semoga kita semua bisa membahagiakan dua orang tua kita. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri