لَا تَتَعَدَّ نِيَةُ هِمَّتِكَ إِلَى غَيْرِهِ، فَالْكَرِيْمُ لَاتَتَخَطَّاهُ الآمَالُ
“Jangan biarkan niat dan cita-citamu melampaui selain Dia, karena Sang Maha Mulia tidak pantas dilintasi oleh sekadar angan-angan.”
Apabila kalam hikmah ini dikomparasikan dengan kalam hikmah sebelumnya, maka kalam hikmah ini tak ubahnya sebuah natîjah. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, apabila kita mengetahui bahwa Allah wajib wujud serta tidak ada sekutu bagi-Nya, bahwa Allah wujud dengan diri-Nya sendiri sejak zaman azali (wujud yang tidak ada awalnya), dan bahwa Allah akan selalu dalam kondisi demikian sampai kapanpun, maka kita akan yakin bahwa wujud atau keberadaan makhluk, semesta dan segala sesuatu selain Allah bukanlah wujud yang sesungguhnya. Akan tetapi, wujud makhluk hanyalah wujud sementara yang diberikan oleh Allah dan dibatasi dengan awal dan akhir. Dengan dekimian, kita akan meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah tidak memiliki daya dan kekuatan, manfaat dan bahaya. Bagaimana mungkin makhluk dapat memiliki semua itu, sedangkan mereka sendiri saja tidak dapat memiliki wujud sesungguhnya yang merupakan sumber dari segala keistimewaan.
Apabila keyakinan semacam itu telah tertancap kuat dalam hati seseorang, maka berarti ia telah menyerap makna Tauhid yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia, yaitu makna sesungguhnya yang terkandung dalam kalimat Tauhid “Lâilâha illallâhu”.
Lalu bagaimana langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh seseorang yang telah menyerap makna Tauhid tersebut?
Tentu saja, salah satu langkah yang harus ditempuhnya adalah dengan melaksanakan yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kalam hikmah di atas “Jangan biarkan niat dan cita-citamu melampaui selain Dia, karena Sang Maha Mulia tidak pantas dilintasi oleh sekadar anganangan”.
Apabila kita telah meyakini bahwa wujud Allah tidak disertai dengan suatu apapun, qudrat-Nya tidak disertai dengan qudrat yang lain, kemuliaan-Nya tidak disertai dengan kemuliaan yang lain, kekayaan-Nya tidak disertai dengan kekayaan yang lain dan seterusnya, dan juga kita telah meyakini bahwa wujud segala sesuatu berasal dari anugerah yang diberikan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka kepada siapa lagi harapan-harapan kita harus digantungkan?!
Tentu saja kepada Sang Pemilik segala sifat kemahasempurnaan tersebut. Karena itulah, jangan biarkan niat dan cita-citamu melampaui selain Sang Maha Mulia, seperti apapun bentuk niat dan cita-cita itu dan dari manapun berasal. Apabila dirimu memiliki harapan mendapatkan rizki maka gantungkanlah hatimu dan angkatlah tanganmu meminta kepada Allah Sang Pemilik Semesta raya, Sang Pemilik langit dan bumi. Apabila dirimu memiliki harapan menikmati kesehatan maka menghadaplah kepada Allah yang sebagaimana disampaikan oleh Nabi Ibrahim “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS: Asy-Syu’ara, 80) Dan apabila dirimu memiliki harapan agar hidup tenang, bahagia dan aman maka memohonlah kepada Allah yang telah berfirman (artinya) “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS: An-Nahl, 97)
Namun, apakah makna Tauhid tersebut tidak bertentangan dengan keharusan manusia untuk menjalani kehidupan mereka dengan melalui sebab atau perantara yang bermacam-macam?
Tentu saja tidak, karena sebagaimana yang disebutkan dalam kalam hikmah di atas, bahwa yang dituntut agar tidak melampaui Allah adalah hal-hal yang berkaitan dengan hati seperti niat dan harapan. Sedangkan menjalani kehidupan sebagaimana wajarnya, yaitu minum saat ingin menghilangkan haus, makan saat ingin menghilangkan lapar, dan bekerja saat ingin mendapatkan rezeki, semua itu sama sakali tidak bertentangan, bahkan termasuk bagian dari Tauhid dan melaksanakan perintah Allah. Sebab, Allah juga memberlakukan hukum sabab musabbab di dunia yang kemudian dikenal dengan “sunnatullah”.
Termasuk dari bagian “sunnatullah” adalah munculnya para utusan Allah. Sebagaimana Allah menurunkan hujan sebagai sebab hidupnya tumbuhtumbuhan, menjadikan makanan sebagai sebab rasa kenyang, air sebagai sebab rasa segar, dan obat sebagai sebab dari kesembuhan, maka Dia juga mengutus para Nabi dan Rasul sebagai sebab rahmat dari-Nya terhadap seuruh hamba-Nya. Allah berfirman (artinya) “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS: Al-Anbiya’, 107)
Oleh karena itu juga, jika kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menjadikan obat sebagai perantara (tawasul) menghasilkan kesembuhan, makanan dan minuman sebagai perantara menghasilkan rasa kenyang dan rasa segar, maka tentu kita juga boleh menjadikan Nabi dan Rasul sebagai parantara (tawasul) untuk mendapatkan rahmat, ampunan dan segala yang kita harapkan dari Allah. Allah berfirman (artinya) “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS: An-Nisa’, 64)
Ali Wafa Yasin/sidogiri