Bahkan, untuk sebuah pemainan sekalipun, masih harus ada hakim garis. Masih ada offiside, kartu kuning dan kartu merahnya. Apa lagi hal-hal yang sangat serius. Hanya orang gila yang tidak pernah memikirkan tentang ketentuan dan batasan-batasan.

Kita adalah makhluk yang ‘maha terbatas’. Antonim “Yang Maha Bebas dan Maha Tak Terbatas’’.

Kita Bebas bergerak di dalam batas, di dalam batasan, dan di dalam keterbatasan. Jadi, bebas itu sebenarnya batas. Tak ada kebebasan yang tanpa adanya batasan, dan tak ada batasan tanpa adanya kebebasan. Batasan dibuat Ketika kebebasan hendak diberikan. Kebebasan diberikan karena di situ sudah ada batasan.

Maka, Kebebasan itu sebenarnya tidak ada. Kalaupun ada, hanyalah eufemisme dari kata batasan. Karena itulah kita tidak hanya sepakat mengenai adanya kebebasan. Yang lebih mendasar lagi, kita sepakat mengenai adanya batasan. Kalupun terjadi ketidaksepakatan, itu hanyalah soal ketentuan dan kriteria, bukan soal ada dan tiada. Sudah maklum, setiap otoritas, juga setiap komunitas, memiliki pandangannnya sendiri-sendiri soal kriteria.

Keterbatsan membuat belajar-bahkan terpaksa-menerima kenyataan. Batasan membuat kita belajar atau terpaksa menerima ketentuan.

Barangkali, peradaban manusia ini tidak akan bisa terbangun tanpa ada keterpaksaan ini. Terpaksa untuk mencukupi diri. Terpaksa untuk melindungi diri. Terpaksa untuk menahan diri. Terpaksa untuk memperbaiki diri. Maka, bersyukurlah bila kita termasuk di dalam jajaran orang-orang yang terpaksa seperti ini.

Kehebatan itu dimulai dari keterpaksaan untuk melatih diri sebagaimana kesalehan, juga dimulai dari keterpaksaan untuk membiasakan hal-hal yang baik. Dari terpaksa menjadi terbiasa. Dari terbiasa menjadi jiwa.

Karena itulah, merupakan suatu keberuntungan yang besar, jika ada orang, barang, atau keadaan yang membuat kita terpaksa untuk berkembang. Kita perlu menyadari, bahwa sebagian yang sangat besar dari manusia, belum maqam-nya untuk menjadi baik dan benar atas dasar kesadaran sendiri. Maqam kita mula-mula harus dipaksa atau terpaksa menjadi baik.

Saya punya seorang teman. Dia punya analisis yang unik. Katanya:orang-orang munafik itu tentu saja sangat buruk. Nerakanya di lapis paling bawah. Di bagian kerak. Pun demikian, jika kita berkenan melihatnya dari sudut pandang yang lain, maka boleh jadi, munculnya orang -orang munafik itu justru merupakan pertanda bagi sekelilingnya.

Mengapa? Alur ceritanya begini. Orang munafik itu pura-pura beriman karena terpaksa. Mereka takut atau malu untuk terang-terangan kafir. Hal itu menunjukkan bahwa keimanan masyarakat sekitarnya sedang kuat. Menjadi mayoritas yang militan. Sehingga, muncullah orang segelintir orang berijiwa buruk yang takut, tidak percaya diri atau malu untuk menunjukkan keburukannya.

Baca juga: “Khayalan…”

Zaman terbaik di dunia ini adalah geng keburukan memilih tiarap kerena malu atau takut. Maka, tentu saja, zaman ini menjadi buruk ketika keburukan sudah menjadi kebanggaan, mendapat aplaus dan menjadi pertunjukan kolosal yang di elu-elukan. Sedangkan yang baik harus bersembunyi karena takut atau tidak percaya diri.

Karena itulah parade putih hijau itu penting. Berjejal-jejal di sepanjang jalan. Bening dan sejuk. Ternyata, sehelai sarung hijau yang sederhana itu bisa menjadi syiar. Mengangkat kepercayaan diri akan identitas kaum santri untuk tampil. Bukan di panggung pertunjukan dan tampilan, tapi di panggung perjuangan dalam mengibarkan bendera-bendara kebaikan.

MAS DWY SADOELLAH

Spread the love